Oleh Abdus Somad*
Kulonprogo merupakan salah satu wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terletak di sebelah utara samudra hindia. Awal mula lahirnya Kulonprogo tidak terlepas dari peristiwa penyerangan Raden Trunojoyo ke kerajaan Mataram yang kala itu dipimpin oleh Amangkurat I.
Peristiwa penyerangan itu terjadi sekitar tahun 1674, dengan kekelahan dikubu kerajaan Mataram. Amangkurat I pun melarikan diri dan meminta bantuan ke Belanda. Karena wilayah mataram yang kosong, maka dipimpinlah oleh Adipati Anom yang kala itu mendeklarasikan diirinya menjadi raja Mataram dengan gelar Amangkurat II. Tak lama berselang raja baru ini kemudian berhasil menundukan pemberontakan Tronojoyo melalui bantuan Bupati Ponorogo dengan pasukan khusunya para Warok. Keberhasilan penumpasan disambut dengan pemberian hadiah istimewa kepada Warok berupa lahan yang berada di sebalah barat kraton Mataram. Wilayah tersebut kemudian diberi nama Kulon Ponorogo lalu berubah menjadi Kulon Progo.
Seiring bergantinya kepemimpinan kerajaan Mataram, belum terusik secercak nasib Kulon Progo, hingga tida pada suatu masa lahirlah sebuah perjanjian Giyanti yang melibatkan VOC dan kerajaan Mataram pada tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut melahirkan beberapa kesepakatan yang diantaranya adalah pembagian wilayah mataram menjadi dua bagian yakni wilayah di sebelah timur dan wilayah sebelah barat. Hingga membuat kerajaan pecah menjadi dua bagian. Lebih jelasnya untuk wilayah Kali Opak-melintasi daerah Prambanan dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) yang berkedudukan di Surakarta, adapun untuk bagian wilayah di sebelah barat, wilayah pusta Kerajaan Mataram yang sesungguhnya itu diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta.
Jika kita menelisik lebih dalam akan Perjanjian Giyanti 1755 sebagai asal-usul Kasultanan dan Perjanjian Paku Alam-Rafles 1813 sebagai asal-usul Pakualaman sebenarnya tidak ada sama sekali yang menyebutkan bahwa Kraton itu adalah pemilik sah dari seluruh tanah di wilayah DIY. Kedua perjanjian tersebut justru menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta (1755-1945) dan Kadipaten Pakualaman (1813-1945) adalah Badan Hukum Swapraja Feodal, berada di bawah kedaulatan Pemerintah Kolonial, tunduk pada Hukum Kolonial (Rijksblad), dan sejak semula tidak pernah memiliki tanah, sehingga tida pernah ada mewariskan tanah
Lalu apa yang terjadi selanjutnya, pada tahun 1961 bekas tanah-tanah swapraja telah menjadi obyek Reforma Agraria (landreform) melalui PP No 224 /1961. Kemudian Pada 1984, melalui Keputusan Presiden 33/1984 tentang Pemberlakuan UUPA sepenuhnya di DIY diterbitkan karena desakan Sri Sultan HB IX (Kepala Daerah) dan DPRD, aturan ini pun mulai berlaku sejak 1 April 1984.
Selain itu, hal yang juga tidak bisa dilewatkan adalah adanya dinamika politik yang tercatat dalam serpihan sejarah ihkwal penerbitan Keputusan Presiden. Yakni diterbitkanya Perda DIY No 3 Tahun 1984. Melalui Kemendagri No 66/1984 dan Perda DIY No 3/1984 yang isinya menghapuskan Rijksblad-rijksblad yang jadi dasar hukum SG dan PAG. Bisa diartikan bahwa sejak 1984 secara resmi dan atau bisa dipastikan jika sudah tidak ada SG/PAG lagi di DIY. Bukti bahwa SG/PAG tidak berlaku kemudian diterbitkanya diterbitkan sertifikat hak milik dari tanah dari letter C/D/E yang pada tahun 1918 tak bersertifikat.
Namun apa yang terjadi saat ini? Di wilayah Kulonprogo hampir seluruhnya diklaim sebagai tanah SG dan PAG melalui produk Undang- Undang Kesitimewaanya nomor 13 tahun 2012 yang dilahirkan kembali sebagai sebuah upaya untuk menguasai tanah di seluruh DIY. Hal tersebut bisa dilihat dari pasal- pasal yang mempunyai kekuatan besar diantaranya ada pasal 5, 7, 32 dan 33 yang menyatakan jika semua tanah yang ada di DIY adalah milik Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman. Tidak sampai disitu, Sultan HB X juga pernah dengan tegas mengatakan jika di Jogja tidak ada tanah negara.
Hal inilah kemudian menjadi titik awal memunculkan konflik agraria dengan desas- desus polemik hak atas tanah yang kini diklaim oleh kasultanan dan Kadipaten Pakualaman melalui legitimasi UUK dengan symbol- symbol Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Groudn (PAG).
Jika memang dalih- dalih Sultan adalah tinjauan hisrotiakal “ sejarah kerajaan” maka harusnya tanah di kulonprogo itu bukan lagi milik Sultan atau Pakualaman. Itu punya kerajaan Mataram dan kerajaan Mataram pun sudah memberikan hadiah kepada Warok yang berjasa atas penuntasan Raden Trunojoyo. Warok tersebutlah yang menempati tanah- tanah pemberian Amangkurat II untuk dihuni. Diperkuat lagi dengan penghapusan SG dan PAG oleh HB IX. Sehingga tanah di atas tanah yang kini diduduki warga Kulonprogo sebenaranya tidak ada hubunganya dengan Sultan ground dan Pakualaman Ground.
Perlawanan Petani di Kulonprogo
Setelah kurang lebih 20 tahun berlalu, gerakan tani kembali bangkit sebagai actor yang memainkan peran penting dalam mengggerakkan sektor- sektor pertanian lokal. Para petani berada digaris terdepan untuk melakukan perlawanan terhadap rezim kapitalis-neoliberalis. Seperti halnya yang dilakukan oleh gerakan-gerakan petani di Brazil.
Upaya- upaya perlawanan terus mengelora, bak riak gelombang ombak yang berderu dari hari ke hari. tak pernah surut, apalagi behenti. Hal ini menjadi pertanda jika amuk gerakan petani memang menjadi penyulut semangat gerakan petani.
Kaum tani secara serentak melakukan moblisasi massa kemudian melakukan pendudukan atas tanah. Seperti yang dilakukan oleh MST kaum buruh tani yang tak bertanah, kemudian gerakan petani di Bolivia dan daerah sekitarnya yang berhasil menurukan penguasa bengis dan korup, bahkan mereka mampu melawan rezin perdangan bebas yang diciptakan oleh Negara Adidaya-Amerika dengan menciptakan pasar sendiri.
Sampai saat ini cara- cara yang dirasa masih efektif dari perjuangan petani ialah melakukan tindakan turun langsung ke jalan melalui aksi massa dan menyuarakan suara- suara yang diresahkan oleh petani. Banyak diantara mereka memlih jalan turun langsung ketimbang mengupayakan sistem electoral yang bagi petani tidak akan menyelesaiakn persoalan utama. Sebab tidak ada jalan lain, tipu-tipu muslihat kaum elit borjous sudah melekat diingata para petani. Adanya petani dibohongi terus dengan sistem pemerintahan yang katanya “ Demokratis”.
Ketika kaum tani sudah bergerak, maka jalan satu-satunya yang dapat merubah tatanan sosial-kultural bahkan nasib kaum tani adalah dengan turun ke jalan, melakukan blokade, menduduki pemerintahan, merebut lahan produksi dan kamapanye langsung isu- isu yang diperjuangkan.
Di wilayah Kulonprogo yang sebagian warganya merupakan petani, gelombang perlawanan sudah mulai diteriakkan untuk memperjuangkan hak atas petani sendiri. kenapa itu dilakukan? sebab ruang hidup petani sudah direbut oleh rezim penguasa yang sudah melahirkan kembali SG dan PAG.
Kelahiranya menjadi momok yang dapat menyengsarakan warga. Betapa tidak, misi besar dari kelahirannya ialah dengan mengkalaim seluruh tanah di DIY. Warga yang menempati tanah mereka sejak dari dulu harus diserahkan kepada sang Raja yang menjelma pemerintah. Tidak sampai disitu, warga kini mulai medapatkan represifitas yang tinggi dari pemerintahan yang fasisme. Mereka dipukul, ditendang, dirampas haknya bahkan ada yang sampai dipenjara.
Menurut catatan Pemda DIY tanah- tanah SG dan PAG yang berhasil diinventarisir pada 2014 lalu sebanyak 744 bidang, dengan rincian 166 bidang di Kota Jogja, 471 bidang di Bantul, 216 bidang di Kulonprogo, 54 bidang di Gunungkidul dan 137 bidang di Sleman.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada tahun 2013, setahun setelah UU disahkan DIY juga berhasil menginventarisasi 2.000 bidang di Gunungkidul, 1000 bidang di Bantul. Inventarisir tanah- tanah ini terus dilakukan oleh pemerintah sampai seluruh tanah berhasil dikuasai.
Proses penjarahan tanah besar- besaran yang dilakukan pihak kerajaan atas nama pemerintah ini kemudian menimbulkan keresahan rakyat. Ketengannya diusik, ketentramanya dibrangus, sumber kehidupanya dirampas.
Menyaksikan penderitaan yang kian hari, kian menyiksa warga Kulonprogo, mereka kemudian membentuk gerakan sosial yang berorientasi hak atas tanah dengan misi melawan penguasa yang merampas tanah-tanah rakyat dengan cara feodalistik-SG dan PAG.
Maka pada 1 april tahun 2006 warga pesisir dari 4 kecmatan dan 10 desa membentuk Paguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo (PPLP-KP) dengan misi menolak penambangan pasir besi yang dikelola oleh PT JMI yang kini sebagian sahamnya dikelola oleh keluarga Sultan HB X.
Perlawanan dengan cara aksi langsung kemudian diterapkan oleh gerakan petani di Kulonprogo, seperti menduduki kantor lurah, kantor Bupati sampai Kantor Gubernur, tidak berhenti disitu gerakan petani ini kemudian melakukan kampanye besar- besaran disepanjang jalan raya yang menjadi basis perjuangann serta tetap menananm walaupun lahan mereka akan digusur. Bagi warga PPLP-KP “ Menanam adalah Melawan”
Melihat reaksi petani yang kencang, Pemerintah kemudian mengkriminalisasi Tukijo salah satu warga PPLP-KP. Ia ditangkap dan dicebloskan ke dalam penjara dengan masa kurungan 3 tahun. Selain itu, rezim monarki-fasis ini juga melakukan intimidasi yang kian kuat, ada upaya paksa agar warga menyerahkan tanahnya. Namun hal tersebut tidak menyurutkan proses perjuangan petani untuk terus berjuang. Sampai detik ini, PPLP-KP terus melakukan perlawanan dengan misi mengembalikan hak yang sepenuhnya dimiliki oleh warga dan menolak penambangan pasir besir.
Tak hanya PPLP-KP, Wahana Tri Tunggal (WTT) yang juga merupakan gerakan petani yang lahir atas luapan-luapan kebengisan sang Raja juga melakukan perlawanannya. Misi utamannya jelas penolakan bandara internasional yang akan dibangun di atas lahan pertanian produktif warga seluas + 634,5 hektar.
Rakyat yang sudah sejak dulu menanam, kini harus menerima kenyataan jika saat ini ada bahaya besar melanda. Pembangunan bandara akan menggusur 2.87 5KK dengan populasi 11.501 jiwa di 6 desa. Tak hanya itu adanya bandara juga kan menghilangkan penghasilan pertanian sebabanyak 30 ton semangka, 50 ton cabai, 7, 5on jagung dan 2500 buah melon permusim tanam dalam hitungan satu hektar tanah warga.
Tentu saja WTT tidak diam, mereka dengan tegas menolak bandara, upaya penolakan tersebut dilakukan dengan menolak menjual tanah, menginventarisir tanah yang kini menjadi hak milik warga, sampai menempelkan selebaran-selebaran di setiap rumah warga WTT yang isinya kurang lebih menolak adanya bandara dan pastinya tetap menanam.
Akumulasi dari keresahan- keresahan rakyat itulah kemudian mengkontruksi pikiran warga untuk terus bertahan dan melawan. Hal inilah yang kemudian menciptakan landasan perjuangan gerakan petani di Kulonprogo sehingga mereka masih tetap konsisten berdiri di atas tanah mereka sendiri. Tak hanya itu WTT dan PPLP-KP juga merumuskan strategi dan taktik pelawanan yang kongrit untuk menolak SG dan PAG.
WTT dengan sikapnya tidak mengikuti semua agenda dari pemerintah yang berkaitan dangan Bandara serta membuat agenda perlawanan berupa perayaan hari perjuangan untuk menstimulus perjuangan warga WTT. Pun sama yang dilakukan oleh PPLP mereka coba menyuarakan suara-suara rakyat dengan membuat pamflet-pamflet perjuangan menolak SG dan PAG di pinggir-pinggir jalan dan membangun jaringan solidaritas kepada seluruh warga yang terdampak penggusuran oleh rezim penguasa.
Kesamaan misi untuk menolak SG dan PAG menjadikan gerakan petani di Kulonprogo solid. Ditambah lagi dengan solidaritas dari Akademisi,LSM, aktivis, dan kaum miskin kota membuat gerakan petani di Kulonprogo semakin merasakan kepercayaan untuk terus melakukan penolak SG dan PAG.
Hidup manusia memang tidak ada yang abadi, satu- satunya yang akan terus ada sampai keterunan yang akan datang hanyalah “Tanah”. Jika tanah kaum tani sudah dirampas, maka jangan salahkan ketika gelombang perlawanan muncul dengan jumlah yang besar.
Bait lagu Dialita dalam album dunia milik kita pada judul lagu salam harapan mengingatkan kita akan perjuangan WTT dan PPLP-KP yang gigih berjuang untuk merebut hak hidup mereka. rakyat pasti akan menang. Yakinlah!
Bagai gunung karang di tengah lautan
Tetap tegak didera gelombang
Lajulah laju p’rahu kita laju
Pasti ‘kan capai pantai cita
*Sekjen Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional