Amartya Sen adalah seorang ekonom sekaligus filsuf kontemporer saat ini. Pria kelahiran India pada tanggal 3 November 1933 silam ini menerima penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi atas karyanya dalam “Ekonomi Kesejahteraan” pada 1998. Hingga saat ini, Sen tercatat sebagai pengajar di Universitas Harvard. Dalam bukunya yang berjudul Identitas dan Kekerasan yang diterjemahkan oleh Arif Susanto, Sen sangat jernih dalam melihat kekerasan berbasis identitas.
Identitas sebagai akar konflik
Sumber utama konflik di dunia kontemporer ini sering kali dipicu oleh pra-anggapan bahwa orang bisa secara mutlak dikategorikan berdasarkan agama atau kebudayaannya saja. Penarikan identitas tunggal seperti itu menurut Sen adalah tindakan yang serampangan. Ilusi tersebut semakin mendapatkan bentuknya ketika dilegitimasi melalui tesis “Benturan Antar Peradaban”. Samuel P. Huntington mendapatkan kritik yang sangat tegas atas bukunya The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order. Ide dasar sistem kategorisasi tunggal menjadi latar belakang tesis tersebut. Kerancuan konsep, walaupun bukan semata niat jahat, dapat berperan besar dalam melahirkan kekacauan dan tindak tak beradab di sekitar kita. Agaknya pemikiran seperti ini semakin subur pasca peristiwa 9/11 di Amerika Serikat yang melahirkan Islamophobia.
Di dalam buku ini akan dijelaskan lebih jauh mengenai sejarah peradaban yang dengan bahasa paling sederhana memiliki sifat saling asah, saling asuh dan saling asih. Mengambil contoh tentang perjalanan demokrasi yang identik dengan barat, serta pertanyaan atas ke-khas-an nilai-nilai barat. Pada sub-bab matematika, sains, dan sejarah intelektual turut menguatkan sifat peradaban yang saling mengayomi dan membantahkan bahwa Islam melulu identik dengan kekejian. Dan betapa upaya membalikkan stereotip tersebut adalah sama kelirunya dengan pengecapan yang dangkal. Dari sini pemahaman mendasar tentang kemajemukan identitas akan menghalangi upaya memandang orang hanya dari agamanya.
Afiliasi majemuk identitas
Identifikasi diri dengan pihak lain bisa menjadi hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, pengamat sosial sering kali tidak mengakomodasi identitas secara jernih. Amartya Sen mengatakan bahwa secara khusus, ada dua macam reduksionisme yang tampak memenuhi kepustakaan analisa sosial dan ekonomi. Pertama, yaitu “pengabaian identitas”, yang menampik sama sekali pengaruh berbagi identitas apapun dengan orang lain. Kedua, “afiliasi tunggal” demi tujuan praktis, terkait hanya dengan kolektivitas saja, tak lebih dan tak kurang.
Mengenai identitas, Sen berpendapat, dunia bukan hanya kumpulan federasi atas agama-agama atau kebudayaan-kebudayaan. Walaupun tanpa sengaja, reduksionisme atas identitas-identitas lain yang dimiliki dan dihargai manusia, yakni kelas, jenis kelamin, profesi, bahasa, bidang kelimuan, moral, dan keyakinan politik bersifat konfrontatif. Amartya Sen mencontohkan dirinya, pada saat yang bersamaan ia bisa disebut sebagai seorang Asia, seorang warga negara India, seorang Bengali dengan leluhur Bangladesh, seorang yang tinggal di Amerika atau Inggris, seorang ekonom, seseorang yang mendalami filsafat, seorang penulis, seorang pakar sanskerta, seorang penganut teguh sekulerisme dan demokrasi, seorang lelaki, seorang feminis, seorang heteroseksual, seorang pembela hak-hak gay dan lesbian, seseorang yang gaya hidupnya non-religius, dari latar belakang Hindu, yang tidak berasal dari kasta Brahmana, dan yang tidak mempercayai kehidupan sesudah mati. Tidak satu pun di antaranya bisa disebut sebagai satu-satunya identitas atau kategori tunggal.
Contoh di atas meruntuhkan pandangan kuno bahwa “kita umat manusia semuanya sama” sekaligus memunculkan pandangan yang jauh lebih masuk akal yaitu bahwa kita semua “berbeda-beda dalam keberagaman”.
Multikulturalisme sebagai strategi penguatan sipil
Ikhtiar global dalam mengurai kekerasan yang utamanya adalah berbasis identitas ini salah satunya adalah dengan menugaskan pemuka-pemuka agama atau tokoh-tokoh masyarakat yang berkecenderungan ‘moderat’ untuk menyingkirkan paham-paham ekstrim dari internal mereka, dengan cara meredefinisi secara pas tuntutan-tuntutan atau ajaran-ajaran tersebut. Upaya mengatasi kekerasan semacam ini menjadi sangat rancu. Karena secara langsung atapun tidak, hal tersebut turut menyuburkan akan adanya identitas tunggal dan khas yang menghambat jalan lain perlawanan atas kekerasan berbasis identitas.
Perlu dipahami bahwasanya terdapat perbedaan antara multikulturalisme dengan monokulturalisme majemuk. Monokulturalisme majemuk pada prinsipnya adalah menghormati adanya perbedaan (keragaman) dan hidup berdampingan, tetapi tanpa bersinggungan. Tentu hal ini bertentangan dengan semangat multikulturalisme yang memiliki nilai penting pada perayaan atas berbagai keberagaman warisan budaya terlepas dari ‘pilihan’ apakah seseorang akan mempraktikkan suatu budaya tertentu bila diberi kesempatan menelisiknya lebih jauh.
Amartya Sen memiliki dua pendekatan berbeda dalam memandang multikulturalisme. Pendekatan pertama memandang bahwa menggencarkan multikulturalisme itu sudah dengan sendirinya merupakan nilai yang mesti dibela. Sementara pendekatan yang lain berfokus pada kebebasan dalam menalar dan mengambil keputusan.
Refleksi atas realitas di Indonesia
Membaca identitas dan kekerasan seperti membaca realitas sosial dan politik di Indonesia. Pembaca akan dengan sangat mudah merefleksikan nalarnya dengan kondisi bangsa kita. Pengalaman riil Amartya Sen dalam kebhinekaan terasa sangat dekat dengan bangsa ini. Pembaca akan menemukan latar belakang konflik yang bersumber atas identitas beserta resolusinya dengan merefleksikan kemajemukan seperti apa yang selama ini dipahami dan dijalani oleh masyarakat kita.
Buku ringan ini memiliki kekayaannya tersendiri yang bisa menambah daftar kepustakaan pembaca. Substansinya yang mudah dipahami dan dicerna akan menyenangkan untuk mahasiswa atapun dosen, bahkan politikus yang bergelut dengan kemajemukan rakyatnya sekalipun.
Judul Kekerasan dan Identitas │ Penulis Amartya Sen │ Penerjemah Arif Susanto │ Penerbit Marjin Kiri │ Tahun Terbit Februari 2016 │ Edisi Kedua │ Tebal Halaman XXII + 242 hal │ Ukuran Buku 14 x 20,3 cm │ ISBN 978-979-1260-54-1
Peresensi: Thonthowi Jauhari, kelahiran Tangerang, 14 Maret 1995. Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga. Dapat dihubungi via jauhari.thonthowi@yahoo.com.