Home - Generasi Mlempem Tunggal Putri Indonesia

Generasi Mlempem Tunggal Putri Indonesia

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Muhammad Sukron Fitriansyah*

Dunia bulutangkis Indonesia sempat berada di puncak kejayaan. Nama-nama seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, Alan Budikusuma hingga Taufik Hidayat banyak menorehkan tinta emas di kancah bulutangkis dunia. Melalui prestasinya mereka berhasil mencuri perhatian dunia. Di antara nama-nama tersebut turut bersinar nama Susi Susanti. Bagi pecinta bulutangkis tahun 90-an tentu tidak asing mendengar nama Susi Susanti. Penyabet medali emas Olimpiade Barcelona 1992 tersebut membuktikan bahwa wanita juga mampu berprestasi.

Istri dari Alan Budikusuma ini menjadi ikon bulutangkis Indonesia, terutama di sektor tunggal putri. Hal tersebut tidak lepas dari segudang prestasi yang telah ditorehkan oleh Susi selama membela panji merah putih. Beberapa prestasi bergengsi yang pernah diraih Susi adalah medali emas Olimpiade Barcelona, medali perunggu Olimpiade Atlanta, juara All England serta sederet prestasi lainnya. Hingga Susi gantung raket belum ada tunggal putri Indonesia yang mampu menyamai atau bahkan melampaui prestasinya.

Baru di tahun 2008, nama Maria Kristin sempat mencuri perhatian. Berhasil membawa pulang medali perunggu pada perhelatan akbar Olimpiade Beijing 2008, atlet bernama lengkap Maria Kristin Yulianti ini menjadi satu-satunya atlet bulutangkis di sektor tunggal putri yang berhasil menyabet medali. Walau hanya medali perunggu, prestasi tersebut patut diapresiasi. Berkat kerja kerasnya, wanita kelahiran Tuban ini berhasil mengakhiri oase juara di sektor tunggal putri yang terakhir diraih Susi Susanti dan Mia Audina tahun 1996.

Namun, prestasi di sektor tunggal putri Indonesia sekarang justru merosot. Nama-nama seperti Maria Febe Kusumastuti, Adriyanti Firdasari, Lindaweni Fanetri, dan Bellaetrix Manuputty tidak mampu berbuat banyak. Tunggal putri Indonesia tersebut hanya mampu mempersembahkan gelar setingkat Sea Games, Grand Prix dan Super Series. Di tingkat Asia saja tunggal putri Indonesia sangat sulit untuk bersaing.

Adriyanti Firdasari, menjadi wakil Indonesia pada sektor tunggal putri Olimpiade London 2012. Atlet yang pernah menduduki ranking 15 dunia ini gagal mempersembahkan medali untuk Indonesia. Firdasari dipaksa menyerah oleh tunggal putri Cina, Wang Xin dipartai perempat final. Kala itu, Firdasari harus mengakui keunggulan lawannya dua set langsung 15-21 dan 8-21 dalam durasi 27 menit. Di penghujung tahun 2015 Firdasari memutuskan untuk gantung raket.

Setali tiga uang dengan Firdasari, Lindaweni Fanetri yang terpilih mewakili Indonesia tidak bisa berbicara banyak di ajang Olimpiade Rio beberapa waktu lalu. Menjadi satu-satunya wakil Indonesia di tunggal putri, Lindaweni harus angkat koper lebih awal. Pasalnya atlet jelita kelahiran Jakarta ini kalah bersaing di grup J. Di pertandingan pertama Lindaweni justru takluk di tangan atlet non unggulan asal Vietnam, Vu Thi Trang. Akhirnya di pertandingan pamungkas dikandaskan dengan mudah oleh wakil Jepang, Nozomi Okuhara.

Prestasi terakhir yang diperoleh Lindaweni adalah meraih medali perunggu Kejuaraan Dunia BWF 2015 di Jakarta. Di semifinal Lindaweni harus takluk ditangan atlet India, Saina Nehwal.

Nasib malang justru menimpa Bellaetrix Manuputty. Atlet yang akan genap berusia 28 tahun pada bulan oktober ini, harus berkutat dengan cedera. Saat tampil di Piala Sudirman bulan Mei tahun lalu, Bella terpaksa menjalani operasi untuk memulihkan cedera lututnya.

Catatan gemilang Bella di ajang bulutangkis tercipta saat ia berhasil membawa pulang medali emas SEA Games 2013 di Myanmar. Setelah mengalami cedera nama Bella seakan tenggelam dari dunia bulutangkis nasional.

Tunggal putri Indonesia terus berguguran di setiap ajang bulutangkis. Hasil yang ditargetkan pun lepas begitu saja. Selaku induk bulutangkis nasional, Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) seharusnya jeli melihat kegagalan demi kegagalan yang dialami srikandi-srikandinya. Kegagalan tersebut menjadi tamparan keras bagi PBSI yang selama ini belum berhasil melahirkan atlet tangguh seperti Susi Susanti.

Jika kita melihat atlet Indonesia yang bermain di turnamen-turnamen besar seperti Olimpiade maupun Kejuaran Dunia BWF, ialah atlet-atlet senior berusia diatas 25 tahun. Hal tersebut lumrah terjadi di negara manapun. Sebab secara peringkat atlet senior lebih unggul daripada atlet junior. Berdasarkan regulasi Badminton World Federation (BWF), sebuah negara bisa mengirimkan dua atlet tunggal di Olimpiade jika kedua atlet berhasil menembus peringkat 16 besar dunia.

Sangat tidak mungkin bagi tunggal putri muda Indonesia berada diperingkat 16 besar. Sebab mereka kurang mendapatkan jam terbang. Untuk menaikan peringkat atlet yang diperlukan adalah dengan mengikut sertakan atlet tersebut dalam berbagai ajang bulutangkis nasioanal maupun internasional. Dengan begitu akan menambah jam terbang bermain dan melatih mental atlet tersebut. Namun, intruksi seperti diatas jarang kita temui di Indonesia. Indonesia lebih mempercayakan kepada atlet-atlet senior yang menurut mereka unggul dalam segala aspek.

Regenerasi sejatinya perlu untuk dilakukan di sektor manapun, tak terkecuali tunggal putri Indonesia. Usia muda sebenarnya bukan penghalang seorang atlet untuk menorehkan prestasi. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Susi Susanti yang berhasil menyabet medali emas Olimpiade Barcelona di usia 21 tahun.

Tunggal putri terus mendapat sorotan di tengah kehausan akan gelar juara. Jika terus bergantung pada pemain senior, Indonesia bakal sulit untuk bersaing dengan negara lain. Tunggal putri dari negara yang sebelumnya tidak diperhitungkan seperti Thailand, India, Spanyol dan Vietnam sekarang mulai menaikan level atlet-atletnya. Ditambah dengan lagi dengan musuh bebuyutan China yang bulutangkisnya semakin merangsek  ke level tertinggi.

Jika Indonesia tidak segera berbenah memperbaiki sektor tunggal putri yang semakin kedodoran, sulit rasanya melihat tunggal putri kita berdiri di podium tertinggi. Tak ayal Indonesia akan kehilangan taji di sektor tunggal putri.[]

*Penulis mahasiswa PGSD Penjaskes Universitas Negeri Yogyakarta.