Home - Papua: Yang Berdaya dalam Ratapan

Papua: Yang Berdaya dalam Ratapan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Dosa kolektif, ini impresi yang ada di benak saya ketika berbicara tentang cacat-cacat kemanusiaan. Di suatu tempat, orang-orang dibunuh, orang-orang dibantai, orang-orang ditembak, orang-orang disiksa tanpa dia tahu dosanya apa. Kekuasaan, ideologi, kekayaan bin keserakahan, selalu menjadi biang keladi atau justru kambing hitam.  Semisal, di masa Orde Baru, militer melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang mengancam kuasa Soeharto. Dalam kasus ’65 ribuan orang dibantai untuk berdirinya satu idelogi tertentu. Lalu hingga sekarang, kekayaan alam Papua mengakibatkan malapetaka untuk rakyat Papua sendiri. Rapot merah HAM tersebut adalah dosa kemanusiaan. Jika kita mengaku sama-sama manusia, itu adalah dosa kita. Dus masalah universal kita bersama.

remahili8Tak khayal, di sudut luka kemanusiaan, ia melahirkan suatu ratapan. Dalam Bahasa Sentani, Papua, ratapan diungkapkan sebagai remahili (dari asal riemahili). Tradisi remahili biasa dilakukan orang Sentani ketika ada handai taulan atau keluarga yang meninggal. Orang yang ditinggal pergi meratap dengan cara yang khas. Ada yang bersenandung, menyanyi , bahkan sambil menari hanya untuk menggambarkan kesedihan saat ditinggal seseorang yang dicintai. Sebagai ungkapan komplikasi: kenapa kamu pergi?

Nilai-nilai kemanusiaan dalam ratapan inilah yang coba digali oleh dua perupa Papua, Ignasius Dicky Takndare dan Albertho Wanma dalam pameran seni rupa bertajuk REMAHILI. Dicky dan Bertho merupakan mahasiswa jurusan Seni Rupa Murni ISI Yogyakarta angkatan 2006 dan 2012. Pemeran yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta/BBY dari tanggal 15-23 Oktober 2016, menghadirkan sekitar 17 karya yang terdiri dari lukisan dan karya-karya instalasi. Hanya saja, pameran ini tidak secara spesifik berbicara tentang ratapan. Namun,  Dicky dan Bertho memberi makna baru bukan ratapan secara individu, melainkan mengenai ratapan keadaan sosial yang ada di Papua.

Dicky, ketika saya wawancara pada Senin (17/10) di BBY, mengaku isu-isu yang ia sampaikan bukanlah isu-isu politik seperti yang tengah berkembang di Papua saat ini, tetapi isu yang ingin ia dan Bertho sampaikan adalah isu tentang budaya dan manusia. “Tentang masalah HAM PAPUA  telah banyak data. Kamu harus tahu masalah Papua sebelum menulis. Cari masalah antara Papua dengan pribumi dan Papua kami rakyat,” begitu pesan Dicky mengingatkan saya.

HAM menjadi masalah serius di Papua. Kompleksitas masalah itu Dicky dan Bertho rangkum dalam lukisan berjudul DOM #4, DOM #2, Tanpa Nama, The Silent Voice, Meangge Phuyakha Tears, Silent Target 2, Besokhate, Romamun, dan Na Ko Mar. Lukisan-lukisan ini menggambarkan orang-orang Papua yang dikawat wajahnya, dijahit bibirnya, dipenjara otaknya, dijadikan target sasaran perluru, hingga ditinggal mati di jalan. Bahwa ketika ada orang yang dibunuh, tidak peduli dia tentara atau orang biasa ia adalah manusia yang memiliki hak asasi untuk hidup.

Kondisi HAM di atas tak lepas dari betapa kayanya Papua. Bertho coba menggambarkan itu dalam karya berjudul Romamun. Secara keseluruhan Romamun membentuk peluru. Karya ini dibuat dari tiga elemen, yakni batu, kayu, dan tembaga yang menggambarkan betapa kayanya Papua. Romamun sendiri berarti segala sesuatu yang menancam. Misal, Papua memiliki kekayaan berupa  emas, tembaga, sumber daya alam yang melambangkan kekayaan alam. Buat orang Papua, hasil ini justru ancaman (romamun) buat Papua.

remahili7Lalu, pengorbanan demi pengorbanan tercipta demi membela tanah kelahiran. Dicky seolah memberi jawaban dalam karya instalasi berjudul  “Papua Yaswar Au” yang berarti “Papua aku mencintaimu”. Karya ini menggambarkan seorang anak Papua yang disalib. Sepintas orang mengartikan, karya ini ingin berbicara tentang ketuhanan, ternyata salah. Dicky ingin menjelaskan seharusnya anak Papua harus berani berbicara, berani mati, berani berkorban untuk Papua, seperti yang digambarkan oleh orang yang disalib tersebut. Dalam semiotika orang Romawi orang yang dihukum kemudian disalib, di atas salib akan diberi tulisan alasan kenapa dia disalib. Dalam instalasi ini, orang tersebut disalib karena ia sangat mencintai Papua! Salib sebagai simbol keberanian perlawanan sekaligus simbol cinta tentang betapa besarnya cinta seseorang untuk sesuatu yang ia perjuangkan, hingga dirinya bersedia disalib. Siapakah yang menyalib? Pemerintah mungkin bisa memberi jawaban.

remahili4Dua perupa ini mengkritik pula Papua yang memiliki banyak suku, saat ini mulai kehilangan ke-PAPUA-annya. Banyak orang yang secara tampilan Papua, tapi apakah benar dia itu orang Papua? Semisal dalam karya berjudul Ana ye Ana, Rum Mamun, dan Koboro-Koboro Yae. Dalam lukisan Ana ye Ana yang singkatnya berarti  ibu oh ibu digambarkan seorang ibu dari Suku Dani, salah satu suku yang berasal dari daerah pegununggan Papua. Ibu tersebut dikepalanya tersampir tas plastik putih produksi salah satu mart terkenal sebagai ganti dari noken (tas tradisional Papua). Secara garis besar, Ana ye Ana berbicara mengenai tragedi, cinta, dan harapan.

Ana ye Ana menggambarkan seorang ibu dengan wajah berharap dan tangan seperti orang berdoa. Jika diperhatikan dengan saksama, jari-jari kiri dari tangan ibu tersebut telah putus. Suku Dani memiliki tradisi remahili yang unik, ketika ada orang yang sangat dicintai meninggal, maka orang yang ditinggal mati akan memutus jari tangannya sebagai simbol cinta. Fenomena sekarang, kadang ketika masalah (semisal) kematian datang, orang tak hanya cukup melawan dengan kesedihan, bahkan juga dengan kekerasan.

Di Ana ye Ana, Dicky juga menyampaikan tentang bagaimana kantong plastik bisa menggantikan noken. Masyarakat yang dulunya merajut noken  kini dengan mudahnya tergantikan dengan budaya cepat saji. Kondisi ini semakin tidak terkontrol tak hanya soal plastik saja, untuk kasus yang lebih luas, tradisi telah tergantikan oleh modernisasi. Kasus di Jawa semisal, Tari Gambyong mulai tergusur dengan Tari Korea Pop.

remahili3Orang butuh sesuatu yang sakral untuk menenangkan dirinya, tapi sekarang terganti dengan hal-hal profan. Yang paling menggejala ialah menjadi budak selfie! Seolah, dimanapun selfie menjadi ibadah wajib yang kemudian dibukukan dalam stellar, instagram, fesbuk, dan twitter. Dicky mengkritik keras ibadah selfie ini dalam karya instalasi berjudul Look Inside You. Ada sebuah peti mati yang berisi bunga-bunga dan di tengahnya ada patung Papua yang sedang selfie dengan ponselnya menggunakan tongsis. “Banyak orang selfie, tapi tidak berefleksi terhadap dirinya sendiri,” tutur Dicky. Kebiasaan sering selfie Dicky kaitkan dengan segelintir orang Papua yang tidak begitu sadar dengan daerahnya. Selfie hanya semacam simbol.

Refleksi mendalam turut disumbangkan pula dalam instalasi berjudul Sebelum Terlambat. Digambarkan ada banyak botol-botol miras yang terjajar, di dalamnya ada patung-patung orang Papua. Menurut Dicky, instalasi ini sebenarnya belum selesai. Seharusnya ada infus yang dipasang di atas botol-botol miras tersebut, tetes-tetes infus itu turun tetes per tetes dan menenggelamkan patung. Miras mennggambarkan, sesuatu yang merusak, ia akan membunuh kita pelan-pelan.

“Di atasnya ada infus yang itu jatuh pelan-pelan, air mulai penuh dan penuh. Jadi sebenarnya pesan singkat. Totem itu penggambaran diri sendiri, saya, kamu atau keluaraga. Ketika dia jatuh pelan-pelan, dia akan mati. Seperti orang minum,” ujar Dicky.

Lalu, pendidikan menjadi salah satu jalur memperbaiki kondisi yang ada. Lewat karya “Sampai Lidah Dasi” yang disimbolkan dengan tiga pancuran air, yang dari tiga itu, dua menyimpan buku-buku atau pengetahuan-pengetahuan, Remahili seperti mengajak kita pada sebuah jalan aliran pengetahuan bagi rakyat Papua.

Poskrip

Kegelisahan akan Papua seharusnya menjadi kegelisahan orang Indonesia dimanapun dia tinggal. Kondisi Papua yang saat ini sangat tertutup dari media memunculkan banyak berita dan opini yang tidak bertanggung jawab dan menganalisanya dengan sudut pandang yang serampangan. Remahili menjadi satu alternatif yang elegan. Orang bisa memberi makna simbol dalam pameran tidak sekedar pada tataran fungsinya saja, tapi juga sebagai penyampai pesan yang esensisial, Papua adalah kita.

Judul Pameran REMAHILIPerupa  Ignasius Dicky Takndare dan Albertho Wanma │Tempat Penayangan Bentara Budaya Yogyakarta │ Penayangan 15-23 Oktober 2016 │ Jam Buka 13.00-21.00 WIB

Isma Swastiningrum, penulis saat SMP jatuh cinta dengan Papua setelah menonton film berjudul “Denias, Sendandung Di Atas Awan”. Film itu amat sangat memukul dirinya, hingga menciptakan mimpi yang mengganggu alam bawah sadar dia: ingin menjadi guru di pedalaman.