Oleh: Ibnu Arsib Ritonga*
Sebelumnya perlu kiranya saya jelaskan bahwa maksud dari tulisan atau pembahasan ini adalah suatu tanggapan atau juga reaksi positif atas karya (buku saku) yang ditulis oleh Qosim Nursheha Dzulhadi, yang berjudul “Jejak Sophisme Dalam Leberalisasi Pemikiran di Indonesia”. Buku itu adalah buku saku, akan tetapi walaupun buku saku, pembahasannya sangat memuaskan untuk dinikmati. Diterangkan dengan jelas dan dengan bahasa yang mudah dipahami membuat kita lebih cepat mengerti tentang apa yang disajikan dalam tulisan.
Selain dari karya itu, pengajar Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah-Medan ini, melahirkan juga tulisan dari tangannya yang dingin itu dengan judul “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia” yang diterbitkan pada tahun 2012 di Jakarta oleh penerbit Cakrawala Publishing. Karya ini pun tidak kalah nikmatnya dengan karya-karyanya yang lain. Secara langsung atau tidak langsung, baik teori, pembahasan dalam tulisan singkat ini pun dan masih jauh dari kesempurnaan dipengaruhi oleh karya-karya beliau.
Postmodernisme Protes Terhadap Modernisme
Modernisme dan postmodernisme merupakan paham dari peradaban barat yang menjadi identitas peradaban barat masa kini. Menurut Lyotard, postmodernisme merupakan bagian dari dunia modern (a part of the modern). Sehingga dipahami, postmodernisme bukan modernisme. Postmodernime adalah suatu gaya (style), seni atau gerakan, arsitektur dan sebagainya. Ada juga pendapat lain yang mengatakan, postmodernisme adalah lawan dari atau protes terhadap keadaan modernisme.
Kapankah postmodernisme datang? Perlu diketahui bahwa cikal-bakal dari postmodernisme ini adalah dari doktrinnya Nietzsche atau Heidegger yang melahirkan pernyataan (statement), “God is dead (Tuhan telah mati)”. Doktrin-doktrin dari postmodernisme ini juga tidak mengakui adanya kebenaran. Seiring dengan perkembangannya, baik dari modernisme menuju postmodernisme lahirlah “tiga bersaudara” sebagai aliran filsafat atau paham yang dianut yang mempangaruhi kehidupan manusia atau keadaan sosial dalam sehari-hari. Tiga bersaudara itu adalah relativisme, skeptisisme, dan nihilisme. Tujuan dari tiga bersaudara ini adalah ingin meniadakan kebenaran, baik itu kebenaran Tuhan maupun kebenaran wahyu.
Tiga Bersaudara Dari Postmodernisme
Relativisme
Relativisme adalah suatu paham tentang menolak adanya kebenaran yang universal (universal truths). Dalam relativisme kognitif misalnya, tidak ada kebenaran, yang ada adalah penafsiran. Menurut Gellner, postmodernisme sangat menyukai relativisme karena tidak menyukai gagasan tentang keunikan, multi-bentuk, batiniah, dan subjektif.
Doktrin relativisme ini mengajarkan bahwa tidak nilai yang memiliki kelebihan dari nilai-nilai yang lain. Semua nilai sama, tidak ada yang mutlak (absolute). Agama tidak lagi berhak mengklaim (membenarkan) mempunyai kebenaran absolut, ia hanya dipahami sama dengan persepsi manusia sendiri.
Skeptisisme
Secara bahasa (Inggris), skepticism artinya adalah keragu-raguan, kesanksian atau ketidakpercayaan. Sikap ini sebetulnya, bukanlah sikap yang baru dalam kajian filsafat yang baru. Di abad ke-5 SM, pemikiran ini sudah ada di masa pra Socrates seperti di zaman para filosof Eleatic. Kelompok filosof perubahan Ephesian, Heraclitus, dan Xenophanes, yang meragukan apakah manusia dapat membedakan pengetahuan yang benar dengan pengetahuan yang salah. Sikap skeptisme ini pun merambah ke masa Socrates dan kaum sophis hingga sekarang.
Dalam paham skeptisisme ini, semua diragukan. Bahkan dia ragu dalam keraguannya. Yang ada adalah pendapat dari nalar, bukan ketetapan yang sudah menjadi kesepakatan yang mutlak. Sifatnya selalu meragukan semuanya. Jika sesuatu dikatakan tidak ada, maka tidak ada lah dia. Tuhan dan wahyu Tuhan pun diragukan oleh penganut paham ini. Pemahaman ini pun trend di zaman sekarang, mungkin dengan sedikit formulasi atau bungkus yang baru. Yang pada intinya, meniadakan kebenaran.
Nihilisme
Paham ini juga meniadakan suatu kebenaran. Hal ini dilakukan dengan mereduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dengan nilai absolut oleh agama dan masyarakat. Menurut Heidegger (1889-1979), nihilisme adalah suatu proses di mana pada akhirnya tidak ada lagi kebenaran yang tersisa. “Nabi” yang terkenal dalam nihilisme ini adalah Nietzsche. Dengan lontarannya yang provokatif, seperti “Kalau kita sanggup menolak kesalahan, kita harus sanggup juga menolak kebenaran” dan “God is dead (Tuhan telah mati)”.
Ingin Membunuh Tuhan
Tuhan adalah kebenaran mutlak (absolute) adanya, wahyu yang diturunkan-Nya juga benar adanya. Tiga bersaudara tadi (relativisme, skeptisisme dan nihilisme) menyerang kebenaran yang ada, menggugat agama yang mengklaim adanya kebenaran. Kelompok yang menganut paham-paham ini tidak mengakui adanya suatu kebenaran dan ingin meniadakannya. Niat ingin membunuh Tuhan dan menggugat agama ditunjukkan dari sikapnya berbuat dan berargumentasi dalam karya tulisnya dilakukan oleh meraka yang berpahamkan tiga bersaudara itu.
Tokoh-tokohnya pun sering mengeluarkan kata-kata provokatif dan kontradiktif dengan paham yang percaya dengan kebenaran. Aliran yang tiga ini pun menjadi trend bagi kelompok-kelompok intelektual yang ada di permukaan bumi ini. Kata-kata “God is dead” dari Nietzsche dan “agama adalah candu” dari Karl Marx menjadi kebanggaan bagi penganutnya. Kebanggaan yang tidak menghasil nilai-nilai yang berujung pada kebaikan.[]
*Penulis adalah mahasiswa UISU Medan.