Oleh: Maman Suratman*
Istilah logika pertama kali saya dapati ketika membaca buku-buku yang kaya akan ide dari manusia-manusia besar. Kalau tak salah, buku itu berjudul Pengantar Filsafat.
Seperti dapat dibaca, istilah ini merujuk pada salah satu gagasan yang diprakarsai oleh filsuf Yunani Klasik bernama Aristoteles. Sifatnya rasional, terlihat dari strukturnya yang sangat sistematis. Hal ini jika dibanding dengan gagasan-gagasan terdahulunya, seperti analitika Plato, atau dialektika-nya Socrates.
Secara kegunaan, logika memberi pemahaman dasar perihal tata-cara menemukan suatu kebenaran. Mulai dari hal-hal kecil, seperti definisi, pengertian, atau makna akan sesuatu, piranti pengetahuan ini juga mampu membawa pembelajarnya ke ranah pencarian eksistensi Tuhan. Sebagaimana sifatnya, semua pencarian itu akan diungkap terstruktur secara sistematis lagi rasional.
Sebagai cara atau alat bantu bagi manusia, istilah-istilah utama seperti “premis” dan “konklusi” merupakan kaidah dasar yang harus terbangun secara sinergis. Dalam logika, baik premis atau konklusi, keduanya harus saling mengisi. Bak sekeping uang logam yang masing-masing sisinya saling melengkapi satu sama lain.
Karena ini perihal kebenaran, lagi-lagi baik premis ataupun konklusi, mesti pula harus berwujud benar. Jangankan di antara keduanya, antar-premis saja pun harus begitu. Singkatnya, tak ada premis yang benar tanpa hasil konklusi yang benar. Demikian pula, tak ada konklusi yang benar tanpa dasar premis yang benar.
Seperti telah disebutkan di awal, perkembangan logika sebagai sebuah ilmu (logica scientica) berdasar pada analitika Plato. Piranti pengetahuan ini secara khusus meneliti berbagai argumentasi dengan berlandas pada proposisi yang benar.
Selain itu, cikal bakalnya juga berawal dari dialektika. Meski sama-sama meneliti argumentasi, berbeda dengan analitika atau pun logika, piranti ini hanya mampu berlandas pada proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Di sinilah awal mula munculnya silogisme sebagai pelengkap, sekaligus menjadi inti dari logika Aristoteles.
Ya, silogisme-lah yang menjadi penemuan murni dan terbesar Aristoteles dalam logika. Tak salah kiranya jika sosok filsuf yang marak digandrungi pelajar filsafat ini dicap sebagai Pelopor atau Bapak Logika.
Silogisme sebagai alat bantu
Dilihat dari kegunaan, silogisme dimaknai sebagai suatu bentuk dari cara memperoleh konklusi yang ditarik dari proposisi demi meraih kebenaran. Silogisme bukan semata untuk menyusun argumentasi dalam suatu perdebatan, melainkan juga sebagai metode dasar bagi pengembangan semua bidang ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh: semua manusia pasti mati (proposisi pertama sebagai premis); Socrates adalah manusia (proposisi kedua sebagai premis); maka Socrates pasti mati (proposisi ketiga sebagai konklusi).
Jika alat bantu ini kita gunakan dalam hal mempertanyakan apa yang sering orang anggap sebagai hal yang absolut (tidak bisa tidak; harus begitu; dan sebagainya), misalnya soal kesempurnaan agama (Islam), tentu akan kita dapati bahwa pandangan semacam itu ternyata ada kelirunya. Dengan berlandas pada silogisme, dengan mudah kita akan menilai diri bahwa kita telah lama dibohongi oleh mereka yang kita anggap sebagai ahli-ahli agama.
Benarkah agama (Islam) adalah ajaran moral yang paling sempurna? Baiklah. Kita mengikuti saja dulu pandangan itu. Anggaplah agama itu adalah ajaran moral yang sempurna. Karenanya, tentu tak ada kecacatan darinya. Semua mutlak. Tak ada yang kurang. Tidak bisa tidak. Paling tidak begitulah ciri-ciri sesuatu yang sempurna.
Saya sering mendengar di mana Nabi Muhammad pernah menyeru bahwa Islam turun secara meruang dan mewaktu. Artinya, dalam hal penerapannya, ajaran ini sangat dinamis. Tidak terpaku pada makna teks, melainkan menurut pada konteks di mana ajaran ini harus diberlakukan. Satu bukti bahwa ajaran Islam ini tidaklah sempurna sebagaimana ciri dari sesuatu yang sempurna yang telah kita uraikan di atas tadi.
Di sisi lain, pada aspek yang lebih kritis, tak ada hal yang paling jelas selain bahwa ajaran ini datang atau bersumber dari Nabi Muhammad. Meski sang nabi sendiri menganggap itu berasal dari wahyu-wahyu Tuhan, benar-tidaknya hanyalah dia sendiri yang lebih tahu. Manusia, yakni umat Islam (muslim), terkesan hanya memberi pembenaran atasnya berdasar keyakinan semata. Sebuah cara pembenaran yang sulit sekali kita nalar.
Lantas, dari dua soal di atas, masih mungkinkah kita mempertahankan bahwa ajaran yang kita anut adalah ajaran moral yang paling sempurna? Sempurna atas apa, saya tidak tahu. Yang jelas, masing-masing ajaran diklaim oleh para penganutnya sebagai ajaran yang sempurna.
Jika orang masih bersikukuh pada nilai kesempurnaan ajaran itu, di sinilah silogisme harus kita terapkan. Seperti kegunaannya, silogisme mesti kita pakai untuk membuktikan apakah agama (Islam) benar-benar merupakan ajaran moral yang sempurna. Inilah konklusi yang harus pula didukung dengan premis-premis yang benar.[]
*Penulis mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga.