Home - Pesantren Sebagai Ranah Dakwah Kritis

Pesantren Sebagai Ranah Dakwah Kritis

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com, Islamic of Southeast Asian Islam (ISAIs) menggelar acara pemutaran dan diskusi film berjudul “Jalan Dakwah Pesantren” di Teatrikal Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Kamis (27/10). Film berdurasi 37 menit tersebut merupakan film dokumenter yang menceritakan tentang sejarah  dan potret kehidupan pesanrten dari banyak sisi.

Pesantren sudah ada sebelum merdeka. Dalam sejarahnya, kyai dan santri ikut membesarkan NKRI. Konsep ini sebagai dampak dari resolusi jihad yang ditawarkan Kyai Hasyim Asyari. Bahwa setiap orang itu harus berangkat mengusir penjajah, memberi semangat patriotisme yang luar biasa lewat basis struktural yang ada.

Latar belakang film, seperti yang dijelaskan Hamzah Zahal selaku produser film, berawal dari Hari Santri.  Presiden Jokowi mengajukan sepuluh pesantren terpenting dalam memperebutkan kemerdekaan dan mengusir kolonial. Lalu Hamzah tertarik membuat film tersebut. “Ingin memunculkan pengembangan Islam secara langsung. Selama ini saya kira belum banyak pesantren yang dimunculkan dalam citra visual yang rapi,” jelas Hamzah.

Hal ini diamini oleh Yuda Kurniawan, sutradara film. Selama sepuluh bulan, ia dan krunya menampilkan perwakilan dari sekitar 12 Pondok Pesantren yang ada di Jawa, di antaranya Pondok Pesantren (PP) Lasem, PP Krapyak, PP Kaliopak, PP Tambak Beras Jombang, dan lain-lainnya. “Saya secara pribadi sudah lama tertarik dengan pesantren. Awal mulai kita shooting 22 Oktober 2015. Terus jalan ke beberapa pesantren,” kata Yuda.

Di nusantara sendiri model pendidikan pra pesantren ada empat. Pertama, padepokan yang merupakan model pendidikan agama Kapitayan (penganut animisme/dinamisme). Kedua, dukuh, model pendidikan agama Hindu. Ketiga, asrama, model pendidikan agama Budha. Keempat, peguron, model pendidikan Kahayangan. Lalu, Sunan Ampel, ia membangun dukuh, tapi dukuh ini berbeda dengan dukuh orang Hindu.

Dalam dukuh ini, orang belajar kitab suci (sastra), orang yang mempelajarinya disebut sastri dan meluas menjadi cantrik (santri) dan munculah tempat bersantri yang disebut pesantren. Pesantren adalah komunitas kecil yang dipimpin oleh kyai. Pesantren menjadi lambang pendidikan yang muncul dari pergerakan dan sedikitnya tempat menempuh pendidikan.

Tiap pesantren mempunyai kekhasan sendiri, baik yang coraknya tradisional, salafi, formal, sampai yang modern. Basis pesantren selain mempelajari ilmu agama (tauhid, fiqih, hadis, nahwu, dan lain-lain), juga belajar keilmuan dasar. Nilai-nilai spiritual pesantren jadi perekat. Pesantren membangun rasa, tidak hanya rasio. Tidak hanya sekedar mencari ijazah, tapi juga keberkahan ilmu.

Dalam berkembangnya Islam juga walisongo menjadi pionir dalam pendidikan kepesantrenan.  Lewat peran mereka, hanya dalam waktu 50 tahun, mereka berhasil melakukan dakwah dan mengajak masyarakat Jawa khususnya untuk ber-Islam. Dalam sejarahnya pula, kyai dan wali, sangat bijak bagaimana menumbuhkan rasa bangga pada msayarakat di sauatu tempat. Ini ditunjukkan dalam pemberian nama pesantren yang diberi nama sesuai dengan nama desa. Ini dilakukan agar desa tersebut dikenal dan agar penduduk desa merasa bangga.

“Pesantren itu berbaur dengan masyarakat, karena berasal dari masyarakat. Basisnya masyarakat, kalau jauh dari masyarakat, maka bergeser dari tujuan awal,” kata Agus Moh. Najib, dekan Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga saat memberi sambutan.

Meski film ini dibuat dengan fotografis dan scene-scene yang indah, pembedah film Hairus Salim dari LKiS memberikan kritik. Pertama, film tidak fokus sebab banyak sudut pandang pesantren yang dipakai, dari hubugannya dengan kemerdekaan, sosial, budaya, dan lainnya. Kedua, pesantren yang ditampilakan semuanya dari Jawa, tidak ada yang dari Kalimantan, Sulawesi, dan tempat lain di luar Jawa. Ketiga, film belum merepresentasikan pesantren secara mendalam, sebab hanya beberapa orang saja yang merepresentasikan dirinya. “Tidak ada pengamat, alumni, santri yang ngomong, mungkin takut. 12 orang yang ngomong kyai semua, ya baik semua. Ngomongin representasi kata kuncinya adalah represifitas,” kata Hairus.

Reporter dan Redaktur: Isma Swastiningrum