Oleh: M Faksi Fahlevi*
“Aku datang dari balik kabut hitam. Aku mengarungi samudera darah. Akulah pangeran kegelapan. Kan kuremas matahari di telapak tanganku. Kan kupecahkan wajah rembulan, pecah terbelah dengan KIDUNG PAMUNGKAS. Kan kubuat dunia berwarna merah…!!” (Syair berdarah Arya Dwipangga)
Semua bukan karena kebetulan, tak ada yang kebetulan, semua harus bermula dari kenyataan. Kita yang merasa hidup dan melihat kenyataan, punya tanggung jawab yang kuat melawan arus kehidupan, terutama melawan hantu. Ya, hantu, mereka orang-orang yang tidak punya kepastian orientasi, yang keberadaannya hanya digantungkan kepada kekuasaan politik absolut.
Di mana bentuk negaranya rumit untuk kita lihat oleh panca indra. Kecuali kita hanya bisa melihat petandanya semata, seperti orang-orang elite politik yang korup, dan menjual kekayaan buminya. Adapun gerakannya, ikut larut pada pengertian dan pembelaan pada ketidakpastian itu sendiri. Sepenting NKRI Harga Mati, sebab senior saya ada di dalamnya, saya harus mati membelanya.
Mungkin itu sedikit tentang gambaran filsafat gerakan, di mana situasi gerakan hari ini menghadapai situasi yang sangat rumit, yaitu ketidakrasionalan pada dirinya. Yang seharusnya filsafat gerakan akan selalu melawan kenyataan atas tirani yang menimpa dirinya. Atau diri yang “terdekonstruksi” yang “ternegasi”, serta diri yang akan menjadi bagian dari arus yang berlawanan, justru ia menjadi bagian wacana dominan. Padahal, ia adalah titik yang terus menjadi titik dari permulaan baru. Baginya, ia tidak punya alasan untuk tidak rasional dan meningkatkan motto gerakan yang berbasis kerakyatan, serta membangun wacana kritis melawan kebijkan kampus yang terus membungkam, dan memikat pikir mahasiswa yang cenderung bermental pedalaman, ketimbang kemaritiman.
Atau masih ada keragu-raguan di dalam sanubari kawan-kawan gerakan untuk menerobos kebodohan itu, sebab seniornya yang duduk di kursi jabatan? Hingga tak berani untuk melawan? Ragu-ragu adalah perbuatan setan yang harus kalian lawan. Tak baik sebagai gerakan tunduk pasrah begitu saja, pada dokrtin-doktrin, sebab doktrin adalah ideologi palsu seperti hantu, sebagaimana dikatan oleh syair berdarah Arya Dwipangga, bahwa “kepalsuan selalu menipu bumi yang lembut dan jujur”. Dan kejujuran bumi kita harus terus jaga dan pertahankan.
Untuk lepas dari kepalsuan itu dan mengembalikan dunia menjadi baru, konsepsi otoritas harus kita musnahkan dengan pedang rasionalitas. Dengan sikap yang tegas, kita anti otoritas dari idelogi kepalsuan hantu itu, “kita harus datang dari kabut merah terbang melintasi samudera darah”. Kita pecahkan kepala hantu itu.
Kita adalah bangsa yang anti kolonial, baik Islam, maupun kebarat-baratan. Falsafah kita adalah keharmonisan, sebagaimana konsep maritim yang ditawarkan oleh bangsa pribumi zaman dulu. Oleh sebab itu, kita tidak mengenal istilah hantu, selain kematian demi menjaga harga diri bangsa.
Jika Anda tidak bisa lagi berperang dengan pedang pengetahuan, saya beri saran untuk buka baju ganti kain kafan. Walaupun Anda memakai warna putih yang kata orang adalah suci, tetap saja Anda hantu yang menyeramkan, yang tak punya kaki untuk berjalan dan bergerak menuju keharmonisan.[]
*Penulis aktif di Lembaga Kajian Filsafat Sosial (LeKFiS).