Oleh: Afin Nur Fariha*
Kemenangan Rakyat Surabaya dalam pertempuran melawan Inggris pada tanggal 10 November 71 tahun lalu, telah mendatangkan sebuah konsekuensi logis bagi rakyat Indonesia untuk mengkultuskan hari kemenangan itu sebagai Hari Pahlawan.
Berbagai perayaan seperti upacara bendera, jalan santai, penyematan gelar pahlawan yang terus diperbarui , hingga penaburan bunga di makam dan laut lepas, menjadi rutinitas yang harus ada pada hari ini. Namun, perayaan tersebut telah bergeser menjadi sesuatu yang tidak sakral lagi, bahkan lebih dekat sebagai ruang atas berbagai golongan, untuk menunjukkan eksistensinya.
Bahwa kodrat semesta terhadap kehidupan selalu berjalan dinamis, setiap kehidupan akan terus tumbuh, kemudian di ujung riwayatnya akan binasa atau gugur. Kodrat itu berlaku pula pada manusia. Manusia lahir ke bumi, hingga dalam rentan waktu tertentu, tibalah saatnya untuk bersemayam di bawah tanah. Di antara kelahiran dan kematian itulah kebudayaan meng-ada-kan dirinya, karena kebudayaan adalah hidup dan hidup perlu dimaknai. Maka biarlah para pahlawan yang telah gugur itu melanjutkan perjuangannya di alam kubur, sedang kita yang masih bisa mengendalikan raga di kerak bumi ini, hendaklah mencipta langkah bersama untuk memformulasikan wacana perlawanan, atas kebudayaan konsumtif yang ternyata telah mengakar.
Bahwa para pahlawan merupakan sosok yang perlu dihormati dan dikenang akan tiada artinya, tanpa sebuah dedikasi nyata untuk melanjutkan perjuangan itu. Jargon “Merdeka atau mati” yang dikumandangkan setiap langkah dalam melawan tentara Inggris, menyiratkan sebuah idealisme yang tinggi untuk memperjuangkan Tanah Air dari cengkraman pendudukan bangsa asing.
Lalu akankah kita terus mengikuti idealisasi masa lalu yang dikonstruk dengan imaji gagah, berani, agung, dan menarik sebagai pembumian atas citra-citra nasionalisme fisik? Akankah kita tidak kunjung bangkit dari ilusi kepahlawanan masa lalu itu? Hingga akhirnya peringatan Hari Pahlawan, membawa sebuah keriduan untuk memunculkan sosok pahlawan sejati, sosok pahlawan konkrit masa kini yang bersedia mendedikasikan dirinya melawan belenggu ketidakmerdekaan hari ini.
Citra nasionalisme fisik yang terus bergulir hingga saat ini telah menidurkan kesadaran massa, bahwa ada sesuatu yang lebih hakiki dari pada itu. Sesuatu yang harus dihadapi saat ini, yaitu perjuangan menegakkan keadilan sosial yang akan membawa pada kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Namun, mengaca dari salah satu thesis Marx, bahwa kesadaran sosial dipengaruhi oleh lingkungan sosial, maka untuk menumbuhkan kesadaran sosial akan keadilan tersebut, mulanya harus memperbaiki keadaan sosialnya, agar sukses menciptakan budaya yang harmonis, demi tegaknya keadilan sosial.
Membangun subjektifitas pahlawan masa kini yang sadar akan kenyataan sekarang adalah salah satu alternatif dalam memperbaiki keadaan sosial untuk mencapai budaya keadilan sosial. Sebuah identitas baru untuk pahlawan sejati yang kontekstual. Identitas kepahlawanan yang berani menciptakan sesuatu yang baru, pahlawan yang menjadi pencipta, bukan konsumen atau pengikut belaka. Pahlawan yang berani menciptakan suatu produk yang lebih berkemanusiaan dan bermaslahat, serta berani menolak tunduk dari takbir konsumerisme yang melanda di setiap lini kehidupan. Bahkan kehidupan keagamaan, pendidikan, budaya dan pemikiran pun telah tersusupi oleh ruh kapitalisme. Dengan lahirnya para pahlawan sejati yang punya jiwa pencipta terhadap sesuatu yang lebih berkemanusiaan, entah dalam bentuk materi, praksis, dan pemikitan, maka besar harapan kita dapat melaksanakan counter hegemoni terhadap kapitalis, seperti pembacaan Gramsci.
Bukan dengan membabi-buta saya berpropaganda melawan kapitalisme, tetapi ada sesuatu yang mutlak tidak memihak pada keadilan sosial di dalam aturan main kapitalisme, seperti logika pencurian nilai lebih hingga kerja yang mengalienasi, yang hal ini sangat merugikan pihak yang tidak memiliki modal, kecuali tubuh dan tenanganya. Ironinya pihak yang tidak memiliki modal, secara kuantitas jauh lebih banyak dari pada pihak pemodal. Meski di satu sisi, hal ini memudahkan perjuangan untuk melakukan perubahan. Namun, kesadaran yang kabur telah menutupi kuasa perubahan itu. Tapi jiwa pahlawan sejati, tentu tidak akan menyerah dengan keadaan tersebut.
Lalu, untuk mengkokohkan gerak identifikasi pahlawan kontekstual yang berjiwa pencipta, kiranya perlu sebuah keberpihakan perjuangan yang jelas. Sudah tentu keberpihakan yang kita pilih adalah kepada subjek yang termarginalkan, baik dari ranah pendidikan, ekonomi, budaya atau pemikiran. Adapun pemikiran barat yang tertuklik di atas, hanyalah pisau analisa untuk membantu membaca kenyataan saat ini, sedang arah dan perjuangan kita sebagai bangsa matiritim, yang pada hakikatnya selaras dan guyup rukun tetap tidak boleh lepas dari ruh kesejatian bangsa Indonesia.
Teruslah bergerak kawan-kawanku yang sadar akan kondisi gelap saat ini. Kita bisa bergandengan bersama untuk membuka tabir kegelapan ini. Genggam sebuah optimisme untuk terus melantangkan suara, meski kerap dianggap agen anomali dan rusuh, namun tidak akan menyurutkan esensi semangat pembebasan. Hingga suatu saat, idealisme keselarasan dan kemanusiaan yang kita teriakkan, menjadi sebuah bunga kesadaran massa.
Akhirnya, saya ingin mengucapkan bahwa pahlawan masa lalu untuk saat ini hanyalah ilusi. Pahlawan sejati adalah mereka yang tidak putus asa memperjuangkan nasibnya dengan hati yang hidup, di tengah cengkeraman kapitalis. Pahlawan sejati adalah mereka yang selalu di sisi kita untuk setia menyuarakan fitrah nurani rakyat.[]
*Penulis mahasiswi Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga.