Home - Mengurai Tinta Merah

Mengurai Tinta Merah

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh : M. Faksi Fahlevi*

Di Babad Tanah Jawi, kita mengenal istilah raja, pangeran dan pujangga, yang ke semuanya adalah penyair, dan puisinya akan menjadi tanda bahwa ia adalah pendekar.  Adapun puisinya penuh dengan ajaran moral kemanusian.

Negeri kita adalah negeri puisi, alangkah baiknya di situasi hari ini kita mempercayakan pada penyair untuk membantu kita mengambarkan “kondisi”. Suatu kondisi yang digunakan manusia untuk menyandarkan pilihan obyek mereka, dan cara mereka mempertemukan tuntutan fantasi mereka dengan kenyataan. Para pujangga mempunyai kualitas-kualitas tertentu yang memungkinkan mereka menyelesaikan tugas tersebut. Mereka terikat kuat dengan kondisi pencapain intelektual dan kesenangan akan keindahan.

Sebab, negeri kita terlalu lama dijajah oleh dua bangsa, Eropa dan Timur Tengah. Hal itu bisa dilihat dari karakter dari Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa. Apakah Pancasila Soekarno yang modernis yang paling benar atau Piagam Jakarta yang di perebutkan oleh para kalangan Islam, seperti Habib berjubah putih itu.

Oleh karenanya, mari kita hayati, seperti penyair menulis puisi, dengan hati yang paling dalam. Walaupun terkadang ia mampu murka, sebab bukan karena ia tidak punyak naluri, melainkan sebab air dan tanah kesayanganya dirusak oleh negeri lainnya. Bahkan penyair di situasi seperti dulu telah mengenal tuhannya dengan alam dan prinsip kesukuan yang bermoral ketuhanan yang sangat tinggi. Bahwa ia menunjukkan sebagai peradaban tertinggi dunia dan modernisasi lebih awal dibandingkan Yunani dan timur di abad tengah. Kenapa kita harus berkiblat kepada mereka?

Agar diskusi kita lebih cair dan argumentatif, saya akan mengajak kepada saudara saya di UISU Medan, Ibnu Arsib Ritonga dalam tulisan “Islam Bukanlah Kolonial” (Lpmarena.com, 10 November 2016) untuk menyelam sambil berpikir atas pengertian apa itu kolonialisme. Dan kenapa saya mengganggap Islam juga adalah bagian dari  bangsa kolonial di Indonesia.

Mengurai makna kolonial

Tanpa harus mengurangi rasa hormat saya, marilah kita belajar kembali untuk memahami apa itu  “kolonialisme”?  Mari kita lacak dari pengertian kamus handalan kita (KBBI) yang menjadi landasan setiap orang untuk bertutur sapa. Bahwasanya, kolonialisme adalah “paham tentangt penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu”, baik ekspansi wilayah, maupun ideologisasi.

Kita sadari bahwa Islam adalah tidak hanya pengertian yang diajarkan di dalam ilmu fiqih sebagaimana Ibnu Arsib Ritonga jelaskan, bahwa pengertian Islam: seperti selamat, patuh (semata kepada Allah SWT), sejahtera, dan damai, tidak ada sifat menjajah.” Tapi Islam sebagai ideologi pasti punya kerangka epistimologi yang bertujuan. Tujuan itu yang saya sebut penjajahan.

Apa tujuan itu? Yakni cara pandang Islam yang berlandaskan kepada Al-Quran dan hadis nabi, sebagi prinsip atau pengangan untuk menjadi manusia yang bermoral yang terus disebarkan oleh pemeluknya ke penjuru dunia. Terutama di daerah yang moralitas kemanusianya lemah. Oleh sebabnya kenapa nabi diturunkan di Arab dan tidak di Nusantara.

Setelah Arab mampu ditaklukkan oleh Muhammad dan membuat masyarakat Arab lebih beradab, Islam mulai melakukan wilayah ekspansi teologi sesuai dengan ajaran yang telah di wahyukan Tuhan. Ke daerah yang secara teritorial masih masuk kawasan Timur Tengah. Kita ketahui bersama bahwa Timur Tengah secara keseluruhan adalah peradaban yang sama dengan Arab. “manusia yang angkuh dan tidak punya budi pengerti yang manusiawi.”

Oleh karenaya, kenapa Tuhan tidak mengutus para rasul dan nabi ke nusantara, karena Tuhan sudah tahu. Jika Nusantara adalah peradaban estetis, dan peradaban moral tertinggi. bahkan Nusantara sendiri adalah manifestasi dari ujud sempurna Tuhan itu sendiri. Semisal dalam gambaran sungai-sungai mengalir dan gunung-gunug berapi, banyak memberikan kesejahteraan untuk rakyatnya. Jika meminjam bahasa kawan Opik (Ku Yin) bahwa Nunsantara tidak mengenal kata miskin yang diadopsi dari bahasa Arab. Ada pula istilah “tidak adil” yang seperti diimpor dari ilmu hukum barat. Kita selalu punya kata-kata autentik sendiri, semisal “harmoni”.

Inilah yang saya sebut Islam sebagai kolonial, dari negara asalanya Arab mengungsi dan merebut wilayah di Nusantara. Caranya dengan menguasai kata dan ideologi. Kita sadari dengan nurani, adanya Islam di Nusantara adalah penyebab ajaran moral yang autentik hilang, estetika hidup bagaimana merawat alam dengan sesajen hilang begitu saja. Bagaimana Anda bisa mengangap ini adalah perubahan yang lebih baik dengan ajaran Islam?

Setiap ritual dianggap kafir dan menyekutukan Tuhan. Apakah Anda sadari, apa yang terjadi hari ini? Hutan kita dilibas oleh para korporasi asing barat, pasir kita dieksloitasi untuk dijadikan bangunan tinggi hingga menyebabkan abrasi? Apa yang salah dari perilaku nenek moyang kita, hingga menyebabkan Anda malu dan gengsi untuk mengkuinya sebagai peradaban yang besar? Bukannya ritualitas pada alam adalah bentuk yang autentik, kecintaan pada Tuhannya? Marih kita pikir sekali lagi.

Satu kesimpulan kecil bahwa Islam adalah penjajah sektor informal yang tidak masuk dalam sektor struktur negara modern seperti barat, dengan sistem kapitalismenya dan sosialismenya. Seharusnya kita anti semuanya. Kita adalah Nusantra dan kekuatan politik Asia Tenggara dengan kekuatan moral dan politik dunia.

Kembali kepada maksud tulisan saya yang pertama. Menjadi bagian dari gerakan keduanya, baik di tingkatan mahasiswa, sama halnya dengan menjadi penjajah di tanah negeri sendiri. Kita butuh konsepsi politik yang bisa membuat kita kembali menjadi masyarakat Nusantara, yang hal itu adalah otentitas Indonesia baru anti kolonial. Yaitu, menuju masyarakat harmoni, “berbudi pengerti dan saling mengerti” (Babad Tanah Jawi).

Sebagai penutup, tujuan Islam hanya untuk penyempurnakan akhlak bagi bangsa yang tidak beradab dan peradaban manusia yang tidak bermoral. Saya berpendapat, menjadi bermoral tidak harus menjadi Islam, walaupuan saya adalah Islam, tapi saya ragu dengan ajaran kemanusianya dan kecintaan pada alamnya. Sebagaimana keraguan Al-Gazali di saat belajar ilmu kalam pada Tuhannya.[]

*Penulis aktif di Lembaga Kajian Filsafat Sosial (LeKFiS).