Home - Reforma Agraria dan Watak Primitif Kekuasaan

Reforma Agraria dan Watak Primitif Kekuasaan

by lpm_arena

Oleh: M. Mahrus Fauzi*

Dalam suatu ilustrasi, presiden Soekarno menyatakan bahwa rakyat yang berdaulat adalah rakyat yang menjadi hakim (penentu) nasib bangsanya. Para pengambil kebijakan punya ketundudukan kepada kepentingan rakyat. Dalam ilustrasi lain, presiden Soekarno menjelaskan bahwa bangsa yang berdaulat sebagai bangsa ditandai oleh eksistensi pemerintah yang stabil. Pemerintah yang stabil adalah pemerintah yang dapat bekerja dengan tenang dan teguh, tidak menjamin kepentingan modal asing, tetapi sebaliknya menjamin kepentingan sandang pangan rakyatnya (Piet H. Khaidir: 2006).

Apa yang menjadi pesan founding father di atas rupanya tidak sampai menggugah kesadaran pemerintah hari ini, kebijakannya seringkali menyimpang dari kepentingan rakyat. Hal ini menunjukan secara tegas bahwa eksistensi pemerintah tidak stabil, dan indikasinya jelas bahwa rakyat tidak memiliki proporsi kedaulatan atas nasib bangsanya.

Hari-hari ini di bagian pelosok Indonesia kaum petani dibuat gelisah oleh sebuah kebijakan yang menjerat kepentingan sandang pangan rakyat. Misalnya, penggusuran dan penghancuran lahan dan perumahan petani di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Penggusuran lahan dan penghancuran rumah petani itu didasari oleh keinginan PT Langkat Nusantara Kepong (LNK) yang 60% sahamnya dimiliki oleh korporasi asing asal Malaysia.

Upaya penggusuran dan penghancuran dilakukan dengan mengerahkan ratusan bahkan ribuan personel keamanan negara, mulai dari Polsek, Polres, Brimob Polda Sumatera Utara, TNI, dan Pamswakarsa. Sayangnya, pada saat Anda membaca tulisan ini, petani di Mekar Jaya telah kehilangan tanahnya, 200 hektar lahan petani sudah diratakan dengan tanah, rumah-rumahnya dihancurkan, petani trauma dan kehilangan mata pencahariannya. Tidak hanya itu, beberapa warga juga menjadi korban penganiayaan hingga mengalami luka serius yang dilakukan oleh oknum keamanan.

Kejadian serupa juga dialami oleh warga masyarakat Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka. Mega proyek Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) atas nama agenda pembangunan pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah Majalengka ini dikuatkan dengan dikeluarkannya Perpres No. 30/2015 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum (infrastruktur), serta PP No. 3/2016 tentang Percepatan Proyek Pelaksanaan Strategi Nasional.

Desa Sukamulya adalah satu dari 11 desa yang masih menolak melepaskan tanahnya, sedangkan 10 desa lainnya sudah diratakan tanpa proses yang jelas, dan saat ini masyarakatnya dibiarkan terlantar. Hal tersebut yang mendasari kesepakatan warga Desa Sukamulya untuk tidak melepaskan tanahnya sebelum ada sosialisasi terbuka dengan pemerintah terkait rencana proyek pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Namun, kenyataannya pemerintah hendak memaksakan hasratnya atas nama pembangunan dan kepentingan umum demi menjalankan proyek BIJB. Kurang lebih 2000 aparat gabungan yang berasal dari Polda Jabar, Polres Majalengka, TNI Kodam III Siliwangi, Satpol PP Jabar, dikerahkan untuk menghajar mundur warga yang keras kepala. Pendekatan militeristik dan tindakan intimidasi kerap dilakukan aparatur keamanan yang sarat dengan pelanggaran-pelanggaran hak dasar warga atas tanah dan penghidupannya.

Watak primitif kekuasaan

Tindakan barbar aparat keamanan negara di sejumlah tempat, baik di Langkat maupun Majalengka dan beberapa tempat lainnya yang sudah dan sedang terjadi konflik khusunya alih fungsi lahan dan pembebasan tahan tampak menjadi bodyguard garang penguasa sekaligus korporasi, pengembang, dan pihak-pihak yang berkepentingan. Pentungan dan gas airmata merupakan simbol demokrasi responsif terhadap aspirasi rakyat yang hendak mempertahankan kepemilikan atas tanahnya.

Keputusan negara seolah-olah absolut dan tidak memiliki tempat negosiasi yang damai dengan masyarakat setempat. Peristiwa yang lazim dijumpai di era Orde Baru. Cara pandang kekuasaan milteristik khas Orde Baru yang terbiasa main pukul dan tebas rata dan tidak mengenal dialog menunjukan pemerintah hari ini mewakili watak primitif kekuasaan masa itu. Hal tersebut tercemin bagaimana aparatnya melakuan kontrol dan tindakan represif yang sarat dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat. Tindakan umum dan lazim mereka terapkan lainnya adalah menyangsikan maksud tulus rakyat, dan meyakini jika rakyat diberi kesempatan negosiasi atau dialog akan menghambat hasrat dan tujuannya. Aturan dan tertib hukum kemudian diciptakan untuk memenuhi tujuan yang tampak baik di luar, tetapi sesungguhnya, menyimpan maksud yang menyimpang dari kepentingan rakyat.

Apa yang terjadi di Desa Mekarjaya dan Sukamulya pekan ini dan daerah lain yang terjadi konflik serupa dapat menjadi bukti reforma agraria dan basis pembangunan infrastruktur hanya mewakili semangat busuk kekuasaan. Pengaruh dan tebaran nilai-nilai kejam Orde Baru masih dianut oleh manusia yang hidup di era reformasi ini, salah satu yang menjadi pengikutnya adalah penguasa daerah, yang kini mirip seperti seorang baron, tuan tanah yang punya kesukaan menyiksa petani dan menguasai tanahnya (Faqihudin Abdul Qadir: 2006).

Gejala semacam ini sedang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, penyiksaan atas kepentingan publik menjadi basis pembenaran kontrol dan tindakan represif aparatur keamaan yang arogan, yang tak segan-segan memukuli warga dan menangkap kemudian mengkriminalisasikannya. Tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan Prinsip-prinsip dan Petunjuk Dasar tentang Penggusuran dan Pemindahlokasian dengan Basis Pembangunan yang dirilis Persirikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan diratifikasi oleh Indonesia. Dalam aturan ini ditegaskan agar negara wajib memelihara dan menjaga hak-hak warga negara yang digusur demi kepentingan pembangunan. Termasuk hak mendapatkan informasi dan pemahaman terkait rencana proyek pembangunan yang akan dikerjakan (Andre Barahamin: Geotimes, 18 November 2016).

Pekerjaan bermartabat para petani ini yang kini disingkirkan gara-gara ambisi sesat pembangunan. Pembangunan yang diburu dengan hasrat menggusur sejumlah lahan pertanian telah membangun citra kebijakan yang tidak butuh eksistensi kaum petani. Kaum petani yang notabene rakyat kecil kini bukan hanya tak memiliki akses tapi kemampuan dasarnya dikikis karena tak diberi ruang untuk bergerak. Semacam ada kontradiksi akut antara keinginan pemerintah dengan mendorong swasembada pangan, tapi di sisi lain lahan petani justru dirampas lewat kebijakan infrastruktur pembangunan.

Peristiwa demi peristiwa di negeri ini meyuguhkan sebuah realitas mikro bagaimana nasib rakyat kecil yang terlantar. Bidang utama kehidupannya dirampas dan dijarah, sebagaimana yang sempat disampaikan Pramoedya A. Toer ”orang yang tidak pernah mencangkul tanah, justru paling rakus menjarah tanah, dan merampas hak orang lain”. Begitulah fakta yang terjadi di lapangan. Keadaan saat ini menunjukan bagaimana sistem politik demokrasi kita masih memelihara kultur oportunisme yang mempercepat lahirnya situasi politik anarkis. Para aktor politik generasi ini lebih menyerah dengan tradisi busuk kekuasaan yang menyukai upeti, suap, dan represi. Kapitalisme kroni yang dipertahankan oleh rezim sebelumnya kemudian dimapankan oleh sistem politik yang memerlukan saluran uang besar. Sejumlah politisi mulai memainkan aturan, mulai dari kebijakan pembangunan hingga kepemilikan tanah yang tidak mendasar. Apalagi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Peristiwa di Mekarjaya, Sukamulya dan sejumlah tempat lainnya merekam dengan memikat bagaimana kekuasaan lebih memilih memuaskan nafsu kepentingannya ketimbang peduli dengan kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan apa yang disampaikan Marx bahwa “negara, hanya perpanjangan kepentingan para komite”.

Fakta kesenjangan telah terpampang jelas di beberapa daerah, lahan produktif petani di jarah dan dirampas oleh para pemilik kuasa sekaligus kroni-kroninya, yang lebih memperhatinkan lagi aparat kepolisian dan pansus lainnya yang seyogyanya mengayomi masyarakat justru ikut andil merampas, menjarah, memukul, menangkap, dan memenjarakan para petani. Sesungguhnya pemerintah saat ini telah mengusik ketenangan hidup rakyat, kebijakannya yang tidak bervisi kerakyatan dan tidak sesuai dengan hati nurani rakyat.

Dalam konteks nasionalisme Indonesia, sebagaimana kita asumsikan sebagai manifestasi keadilan dan kesejahteraan Indonesia demokratik masih jauh dari harapan, karena elite, komite dan pengambil kebijakan masih nyaman dan aman melalui jalan pelanggaran-pelanggaran. Realita ini menunjukan vis a vis konsepsi bangsa demokratis dan berkeadilan sosial penuh dengan topeng kepura-puraan.

Egaliterianisme, keadilan, kreativitas, kedaulatan bangsa, kehormatan dan martabat manusia, secara budaya dan politik-ekonomi di pasung oleh budaya feodalisme dan militerisme. Profesionalisme aparat keamanan negara tereliminasi oleh kepentingan. Supremasi hukum, keadilan hukum, dikebiri hanya untuk memenangkan kepentingan elite dan penguasa, yang pada proses praksisnya disandarkan pada kontrol represif dan tindakan kekerasan.

Gaung reformasi yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan rakyat tampak masih mewakili watak primitif kekuasaan masa Orde Baru. Badik penguasa menikam mencabik-cabik harapan rakyat. Sehingga banyak masyarakat yang mengalami depresi tidak kuat melawan dan pasrah dengan ketidakpastian nasibnya.

Demokrasi ekonomi-politik pembebasan dan berkeadilan sosial

Tulisan ini bukan hendak menolak agenda pembangunan pemerintah. Namun, lebih kepada upaya penyadaran baik kepada rakyat maupun eksistensi pemerintah itu sendiri, seperti apa yang disampaikan Bung Karno pada bagian awal tulisan ini. Bahwa rakyat yang berdaulat adalah rakyat yang menjadi penentu nasib bangsanya, dan para pemangku kekuasaan sekaligus pengambil kebijakan punya ketundukan kepada kepentingan rakyat. Seperti itulah pengejewantahan demokrasi yang diharapkan bapak pendiri bangsa ini.

Selanjutnya Bung Karno menjelaskan bahwa sebagai bangsa yang berdaulat sebagai bangsa, maka harus ditandai oleh eksistensi pemerintahan yang stabil. Pengejwantahan pemerintah yang stabil mungkin; adalah pemerintah yang bebas dari Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN), yang bekerja dengan tenang dan teguh, tidak menjamin kepentingan modal asing, tidak menyuburkan kapitalisme, imperialisme, dan feodalisme, tetapi sebaliknya menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, menjamin kepentingan sandang pangan rakyat.

Konsepsi dan praksis keadilan tersebut dalam sejarah bangsa-bangsa cukup mempengaruhi integritas masyarakat untuk bersikap nasionalistik tanpa pemberontakan baik individual maupun sosial (Piet H. Khaidir : 2006)

Sebelum menjelaskan konsepsi demokrasi ekonomi-politik, maka baiknya kita analisis kembali Indeks Pembangunan Manusia (IPM), di Indonesia, khususnya mengenai kesejateraan rakyat. Misalnya konflik agraria yang marak terjadi akibat penggusuran paksa pemerintah. Citra pembangunan diorientasikan untuk merampok hak tanah rakyat, sehingga keadilan ekonomi menjadi tak tentu arah terhadap kehidupan kaum tani. Tidak hanya itu, efek sosial dan budaya akan terdampak dan menjadi problem yang serius dan berdampak lebih buruk lagi terhadap masyarakat terutama masyarakat kecil dan kaum tani.

Pembangunan dengan orientasi pasar tidak bisa dirasakan oleh kaum miskin, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya menguntungkan segelintir orang. Jurang pemisah melesat semakin lebar pasca reformasi, ketimpangan yang merajalela ini kemudian diprediksi tak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan. Namun, memperbesar adanya potensi konflik di masyarakat. Pembangunan yang kian banal dan meminggirkan, membuat negara turut andil dalam upaya pemiskinan struktural para petani (Randyka Wijaya: Qureta 26 November 2016).

Hal ini merupakan problem pembangunan yang tidak berorientasi pada kemajuan dan keadilan bangsa Indonesia, atau menurut Presiden Soekarno, hal itu merupakan pembangunan yang tidak berkehendak untuk memajukan kedaulatan rakyat dan tidak mewujudkan kemandirian bangsa (Manifesto Politik RI, Pidato Presiden Soekarno, 17 Agustus 1959).

Amartya Sen (Development as freedom: 1999) mengatakan, bahwa negara yang demokratis secara ekonomi-politik ditandai oleh kebebasan (freedom). Menurutnya, proses yang harus dicapai agar tercipta bangsa yang demokratis tersebut adalah dengan pembangunan yang membebaskan (Development as freedom). Ilustrasi Amartya ini didasarkan pada kegagalan negara-negara dunia ketiga yang lebih menitikberatkan pada orientasi pertumbuhan dan pendapatan ekonomi (growth and income).

Ada lima “instrumental” perspektif pembangunan yang berbasiskan pada kebebasan atau yang membebaskan, yaitu: (1) Political Freedom, (2) Economic Fasilities, (3) Social Opportunities, (4) Transparency Guarantees, dan (5) Protective Security. Lima “instrumental” prespektif tersebut menjadi prasyarat sekaligus indikator development as freedom (pembangunn yang bercitra dan mendorong masyarakat untuk kreatif membangun diri dan ranah sosial, ekonomi, politik). Ketika lima perspektif di atas telah tertanam di kancah publik, dus terbangun kondisi membebaskan bagi publik, maka sesungguhnya telah tercipta suatu suasana dan kesempatan bagi publik untuk mengembangkan masing-masing personal yang menjadi anggota publik tersebut (Piet H. Khaidir : 2006).

Dalam konsepsi demokrasi ekonomi politik pembebasan dan keadilan sosial, maka entry point-nya adalah mendapat kesempatan sekaligus fasilitas untuk meraih hakikat diri secara individu dan sosial sebagai warga negara. Selanjutnya mengetahui orientasi pembangunan yang hendak dijalankan, apakah sebagai pembangunan yang membebaskan atau justu tidak membebaskan. Sebab, tidak bisa disebut membebaskan, jika pembangunan itu masih menyisakan ketidakpastian dan kemiskinan sebagai tirani dengan menyuburkan deprivasi sosial yang sistematis terhadap kesempatan ekonomi yang dimiliki kaum tani, miskin papa, dan rakyat kecil lainnya.

Lima “instrumental” di atas secara tegas dan terbuka menyatakan bahwa bangsa demokratis dan berkeadilan sosial serta dipenuhi oleh cita rasa nasionalisme diindikasikan dengan persamaan hak politik, persamaan kesempatan memperoleh akses sosial-ekonomi, persamaan di hadapan hukum, persamaan dalam memperoleh perlindungan dan keamanan. Kalau tercipta situasi sistematis dari seluruh kebijakan diatas, maka basis kontruksi nasionalisme Indonesia akan mengarah kepada Indonesia yang demokraisi, berkeadilan, dan berkesejahteraan.

Sudah saatnya pemerintah menempatkan petani sebagai subyek pembangunan di tempat ditempat yang lebih layak. Petani harus dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan atas tanahnya. Jasa kaum tani bagi negara ini tak perlu di tanyakan lagi. Negara ini berdaulat dan meraih kemerdekaan salah satunya karena gerakan petani. Oleh sebab itu apa yang ditegaskan Amartya Sen bahwa petani juga berhak mendapatkan kesempatan dan fasilitias untuk meraih hakikat kehidupannya. Bukannya malah dipinggirkan atas nama pembangunan dan penguasaan tanah korporasi.[]

*Penulis mahasiswa jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.