Home BERITA Peluncuran Majalah Ekspresi: Cabut Regulasi Pertanahan Rasis

Peluncuran Majalah Ekspresi: Cabut Regulasi Pertanahan Rasis

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com, Undang-undang pertanahan di Yogyakarta mengandung rasisme dan semakin menguat setelah diberlakukannya undang-undang keistimewaan Yogyakarta (UUK) nomor 13 tahun 2012. Hal itu dipaparkan Pemimpin Redaksi Analisis Utama, A.S. Rimbawana dalam diskusi Launching Majalah ke XXIX lemabaga pers mahasiswa (LPM) Ekspresi “Diakriminasi rasial Petanahan Yogya” di Foodcourt Fakultas MIPA UNY, Yogyakarta pada Minggu (27/11). Dalam diskusi hadir pula Kus Sri Antoro dari Jogja Darurat Agraria, dan advokat muda Tihara Sito Sekar Vetri.

Rimba memulai diskusi tersebut dengan memaparkan Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 yang menyatakan bahwa warga non-pribumi tidak memiliki hak atas tanah, sehingga hak paling jauh yang dimiliki hanyalah hak guna bangunan. Padahal pada tahun 1984, Gubernur HB IX telah memberlakukan Perda DIY No 3 Tahun 1984, yang berarti memberlakukan seluruh Undang-Undang Pokok Agraria di Yogyakarta dan dengan itu menggeser semua undang-undang pertanahan di DIY. Termasuk undang-undang yang diterapkan 1918 dan 1925. Namun sejak tahun 2000 terdapat upaya menghidupkan kembali instruksi kepala daerah tahun 1975. “Sampai tahun 2012 UUK muncul semakin memberikan legalitas, semakin membuat instruksi ini semakin menguat,” terang Rimba.

Kus Sri Atmoro menuturkan dalam membicarakan rasisme di DIY, perlu merunut kembali pada konteks historis masa kolonialisme. Sebab dari sana kita tahu yang melatarbelakangi keistimewaan yang hari ini diagung-agungkan. Pada masa itu kolonial mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan agama dan etnis. Penandaan dicantumkan dalam akte kelahiran dengan kode 1920 untuk pribumi muslim, 1933 pribumi nasrani, 1917 untuk etnis Timur dan Timur Jauh termasuk Jepang, Tionghoa, India, serta Arab, dan 1845 untuk peranakan Indo-Eropa. “2917 atau 1845 itu kemudian tidak boleh memiliki hak milik atas tanah di DIY,” ungkap aktivis sosial tersebut.

Sementara, dikaji dari aspek hukum pemberlakuan instruksi tersebut pada hari ini memiliki banyak masalah. Tihara yang juga mengangkat tesis tentang persoalan tanah di DIY menerangkan bahwa  tidak ada lagi warga pribumi atau non pribumi. Hal itu mendasar pada UUKewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006. “Yang ada orang Indonesia asli dan orang bangsa lain yang menjadi WNI,” kata dia menjelaskan.

Selain itu, pemberlakuan intruksi 1975 sudah dikategorikan diskriminasi. Hal ini berdasarkan UU No 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, di mana diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Intruksi tersebut juga bertentangan dengan beberapa regulasi, antara lain: pasal 27 ayat 1 UUD 1945, pasal 28 b ayat 1, pasal 28 h ayat 4, pasal 26 UU Nomor 12 Tahun 2005, UU PA, pengesahan konvensi internasiona tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi pasal 2 tentang warga negara dan etnis, dan UU No 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis. Tihara juga menuturkan bahwa Komnas HAM sudah merekomendasikan Gubernur supaya mencabut surat Intruksi tersebut. Namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut.

Di sisi lain, Kus merasa khawatir keturunan Sultan HB X tidak boleh memiliki tanah di DIY jika Intruksi Kepala Daerah Tahun 1975 tersebut ditegakkan. Karena dalam silsilahnya Sultan juga keturunan Tionghoa. Namun Kus menilai itu tdak perlu menjadi isu yang viral karena tidak penting. Menurutnya yang penting adalah pencabutan surat intruksi yang mendiskriminasi tersebut serta hapus diskriminasi etnis dan sosial. Karena diskriminasi tidak akan selesai ketika etnis Tionghoa dan lainnya mmiliki hak atas tanah. “Tapi ketika hak atas tanah itu diberikan pada mereka yang lebih berhak.”

Reporter: Syakirun Ni’am

Redaktur: Lugas Subarkah