Sudah sewajarnya di dalam kampus banyak orang yang membaca buku, berdiskusi, dan proses kreatif dalam berkesenian. Semua itu seharusnya menjadi hal yang biasa dan lumrah selayaknya disebut dengan ‘dunia kampus’. Tapi, akan menjadi aneh ketika hal itu semua malah tidak ada dalam dunia kampus. Kampus yang sepi dari hiruk pikuk diskusi, membaca buku, pentas seni, bahkan demo sekalipun menjadi salah satu tanda matinya ekologi intelektual kampus.
Apa yang saya sebut dengan matinya ekologi intrlektual kampus ini, bedasarkan pada perilaku mahasiswa yang belagak sibuk dengan segala aktivitasnya yang di sini tidak menunjang untuk menambah kemampuan intelektualnya. Beberapa bentuk yang disebutkan di atas tadi seperti membaca buku, diskusi, dan lain-lain, disadari atau tidak adalah bentuk laku kebudayaan, yang telah terbukti dapat menumbuhkan wacana akan pengetahuan. Maka wajar ketika kampus di hari ini tidak lagi banyak melakukan hal-hal tersebut, mejadi salah satu tanda kemunduran dalam sisi intelektual dunia kampus.
Kemunduran sisi intelektual kampus hari ini bisa kita lihat melalui dua sisi, pertama semakin jarangnya lulusan kampus yang memiliki spesisifikasi keilmuan yang secara matang dapat dipertangungjawabkan dalam lanjutan proses akademik, sehingga ia menjadi pakar dalam bidang keilmuan. Kemudian yang kedua adalah semakin jarangnya intelektual organik yang setelah memalui proses dunia kampus dapat menciptakan suatu perubahan di dalam masyrakat.
Padahal kalau kita gali lebih dalam, fasilitas kampus lebih maju. Gedung-gedung menjulang dengan berbagai fasilitas super lengkap. Mulai dari jaringan internet, ruang kampus yang nyaman dilengkapi AC, fasilitas video visual juga lengkap. Yang tidak kalah penting lagi perpustakaannya juga lengkap dengan ribuan judul buku. Pertanyan satu, kenapa matinya intelektual kampus bisa terjadi?
Hal ini bisa kita lihat dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, pembangunan kampus yang hanya bertumpu pada sektor fisik saja, menjadi salah instrumen yang mengakibatkan matinya gairah intelektual di dalam kampus. Padahal untuk menciptakan dinamika intelektual kampus berjalan, semestinya kondisi psikologis orang yang ada di dunia kampus menjadi penting untuk diperhatikan.
Yang dimaksud dengan pembangunan psikologi dalam dunia kampus adalah bagaimana mahasiswa yang menjadi objek, bisa terpantik secara kesadaran bahwa kampus adalah suatu wadah untuk berdialektika secara kreatif untuk menunjang wawasan intelektualnya. Hal inilah yang selama ini tidak diperhatikan oleh pihak kampus.
Memang beban berat untuk membangun kesadaran massa akan pentingnya dimensi pembelajaran tidak bisa kita limpahkan semuanya kepada pihak kampus. Pasalnya, kondisi yang sudah sedemikian rupa membelenggu kesadaran massa sehingga massa seolah tercrabut dari idealita kampus yang semestinya. Maka dari itu hal ini Bukan semata-mata dikarenakan kondisi internal di dalam kampus saja yang meliputi kurikulum dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak kampus. Tapi melihat kondisi yang seperti ini, banyak faktor eksternal, seperti halnya budaya kosmopolitan yang dipengaruhi pasar yang mengakibatkan kondisi semakin runyam.
Namun, yang perlu dingat juga bahwa sebagai pemangku kebijakan kampus, seharusnya juga memiliki tangung jawab besar dalam hal ini, dengan upaya semaksimal mungkin untuk membangun budaya berintelektual di dalam kampus. Tetapi kecenderungan sekarang, kampus mengebu-gebu untuk menjadikan kampus setara World Class University, hanya memberikan perhatikan pada standarisasi untuk menjadi kampus mendunia. Implementasinya tidak memepertimbangkan kondisi yang terjadi di tataran akar rumput, yaitu mahasiswa yang sekarang sedang mengalami penurunan secara kesadaran akan pentingnya wacana intelektual.
Selain itu kuatnya hegemoni kepentingan yang masuk di dalam dunia kampus, sehingga disadari ataupun tidak telah merasuk ketulang sum-sum orang yang ada didalamnya. Yang secara tidak lasngsung menyempitkan makna pendidikan ataupun intelektual. Hanya beroriaentasi pada (kerja), yang menjanjikan imaji-imaji kenikmatan. Yang tak ayal adalah belenggu untuk dirinya. Padahal, marwah pembebasan yang tertanam kuat dalam pendidikan sebenarnya menjadi spirit untuk mencapai perubahan.
Kemandekan ini bisa menjadi bencana jika tidak disikapi bersama melalui mekanisme yang dikonsep secara matang. Diperlukan suatu konsep yang jelas dan terukur untuk membangkitkan kampus menjadi wadah untuk berdialektika secara keilmuan lagi. Memang, hal ini tidaklah mudah, tapi bukan lantas diam dan menunggu bencana ketidak produktian wacana dalam kampus akan muncul.
Hal yang bisa dilakukan oleh birokrasi adalah mengkaji ulang kebijakan kampus yang membatasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan. Selain itu menciptakan sub hegemoni baru dalam kampus dengan mengkampanyekan kegiatan kegiatan keilmuan yang lebih inklusif, yang tidak hanya dilakukan diruang-ruang kelas maupun di ruang seminar. Sementara itu menumbuhkan budaya komunikasi secara aktif antara dosen dan mahasiswa, yang tidak hanya melalui ruang kelas juga perlu dilakukan. Agar gairah intelektual itu tidak tersekat aturan-aturan formal yang selama ini membatasi tumbuhnya budaya berintelektual dalam kampus.
Dari pada itu yang tidak kalah penting untuk dilakukan oleh semua elemen kampus termasuk mahasiswa adalah menciptakan ruang-ruang baru secara kreatif untuk membendung budaya formalistik yang diciptakan kampus saat ini. Dengan memasifkan kegiatan-kegiatan kajian keilmuan yang dilakukan di lingkungan kampus secara berkala dan konsisten. Hal ini bisa menjadi salah satu tawaran yang bisa dilakukan untuk membentuk budaya ekologi intelektual yang ada dalam kampus. Agar kampus tidak dipenuhi orang yang berjejal mencari jaringan wi–fi yang saat ini sudah kelewat batas. Karena ruang yang disediakan di luar kelas seperti taman-taman dan kantin juga sudah beralih fungsi menjadi ruang internet dan tidak digunakan secara bijak.
Yang lebih parah lagi kondisi ini juga telah masuk ke dalam ruang-ruang kelas, sehingga ketika dosen menerangkan, mahasiswanya malah sibuk membaca status dan itu menjengkelkan bagi orang-orang yang mengharapkan rauang kelas menjadi ruang yang kondusif untuk berdialektika secara keilmuan. Sehingga apa yang terjadi menjadi virus yang menjangkiti disemua lini yang ada di dalam kampus.
Begitulah kiranya kondisi yang kita hadapi saat ini. Pembacaan yang sama sekali tidak dalam ini mungkin bentuk akumulasi kegelisahan penulis saat melihat kondisi yang terjadi saat ini. Maka perlu kiranya untuk terus mencari formulasi yang kontekstual dalam membaca kondisi matinya budaya ekologi intelektual saat ini.[]
Doel Rohim, si pengembala kambing…