Home - Siapa Aku Ini dalam Kenyataan?

Siapa Aku Ini dalam Kenyataan?

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh : Muhammad Faksi F.*

Surat balik buat  Franz Fanon. Soal: “Kata,’tentang sifat kolonialisme, dan antikolonialitas…..’”

Surat telah saya terima Tuan Fanon. Saya sangat terharu  membaca pengalaman yang sangat menyenagkan itu. Kata-katanya yang bisa bicara tentang kenikmatan sekaligus kenyerian tubuh sosial yang saya terima hari ini. Atas kondisi politik identitas, yang menyebabkan akal sehat saya larut pada ketakukan. Kadang kebencian, kadang pula bermaksud mengantungkan diri pada akar pohon  beringin yang besar, karena kekakuan.

Terima kasih pula saya katakan pada Tuan Himadeep Muppidi, yang telah mengantarkan surat itu, ke dalam halaman pikiran saya. Serta mengajak berdialog tentang Tuan Fanon lebih dalam, hingga setiap kalimat-kalimat Fanon membuat kita mempunyai pendapat yang sama. Tenggelam dalam teksnya, hingga saya melingkari dan menggarisbawahi, melingkari lagi dan menggarisbawahi lagi, satu paragraf demi satu prgaraf, tetapi enggan untuk pergi beranjak jauh sebab kelokannya. Tuan Muppidi, aku mencuri ide-idenya pula, sebagaimana kau lakukan, menyalin ke dalam catatan harian dengan rapi, lembut, dan penuh kasih.

Tuan Fanon dalam surat itu, memberikan pemahaman panjang lebar terkait “pandangan utama studi politik internasional”. Sehingga membuat saya tercengang dan tersipu malu. Sebab selama ini saya hanya tersesat, tidak paham tentang: “siapa aku dalam kenyataan?”. Sebagaimana judul dalam surat ini, setiap kalimat pertanyaan, mengikat pertanyaan  yang lain.  Siapa pemilik politik kita. Siapa peran ganda dalam perubahan sosial kita, kenapa harus ada Islam sebagai paham teologi, dan barat sebagai sistem demokrasinya?

Setelah saya membacanya, saya terasa terbangun dari tidur yang pulas. Hingga kata dalam setiap pertanyaan ini saya suguhkan di beberapa tulisan kecil, maupun di berbagai tempat diskusi. Dengan penuh harap yang dalam, mendapatkan sebuah jawaban yang sangat memuaskan. Disadari, ini sebuah keresahan yang sungguh sangat menyiksa dan membuat saya menderita. Dari tuan pula, derita ini saya sedikit menemukan obat,mengenai pandanganya terkait The Wretched of The Earth. Membacanya saya seperti menyalahkan audio tentang kinerja memikat yang telah direnkam, sekaligus memberikan panggung yang kukuh dibangun, tegas dipertahankan.

Dari tulisan tersebut saya  bisa mempelajari bahwa materialitas telah memenjara saya dari kehidupan yang lebih humanistik. Sehingga saya memberikan sikap tegas melihat studi politik nasional (Indonesia), bahwa saya manusia yang baru dilahirkan dengan pengetahuan yang kosong tanpa kehadiran identitas manapun, menuju sikap anti kolonialis.

Sebagaimana Tuan Fanon katakan, kolonialisme adalah penyangkalan terstruktur dan sistematis atas banyak manusia dari banyak bangsa. Namun demikian,  kolonialisme berbeda dalam hal “negasi sistematis terhadap yang lain”. Melainkan kolonialisme adalah atribut politik yang anti kemanusian sampai kapanpun. Secara sistematis ia akan memelintir dan menghancurkan makna sosial mereka, kepekaan sosial mereka, dan identitas mereka. Oleh karenanya saya menerima kontribusi tuan terhadap pemikiran global pascakolonial adalah pada penantanganya, penolakanya, keberanianya untuk berkata “Tidak!”

Tuan Fanon, jika boleh saya katakan dan bercerita atas pandangan tuan akan kolonialisme. Bahwa bangsa kami “Nusantara” adalah peradaban besar, peradaban yang penuh estetika, dan kemajuan dalam bidang ekonomi yang lebih maju dibanding negeri Tuan. Namun Tuan, ada dua peradaban besar yang menggoncang negeri kami, ada dua arus yang menggilas negeri kami secara tidak manusiawi, hingga menyebabkan negeri ini berkabut gelap. Yaitu, peradaban barat dan timur. Hingga wacana NKRI kami tidak murni dari pribumi. Oleh karena itu saya tak akan berhenti berharap, kabut  gelap cepat terurai dengan semangat “anti kolonial, dari ideologi yang tidak lahir dari bumi pertiwi.”

Saya sepakat dengan Tuan Fanon. Jika kolonialisme tidak hanya mampu memutilasi belbagai sudut dari bangsa terjajah, tapi juga menyisakan luka tak berbekas, yaitu  segala macam traumatis. Sebagaimana tuan menceritakan tentara  Amerika di Irak, yang pulang dengan segala macam gangguan mental dan bahkan banyak yang bunuh diri. Bangsa kami juga seperti demikian, salah satunya bermental budak, siap mati dari ideologi yang dibawa bangsa kolonial.

Sebagaimana barat itu, maka kemudian kekerasan mereka adalah jenis  yang berbeda yang didukung oleh reason, dengan dalil mempromosikan demokrasi, mendorong hak asasi manusia, pembangunan berkelanjutan, menyelamatkan perempuan, atau yang lain. Sebagaimana yang dikatakan Mehta, “Imperium dan liberalisme modern tidak hanya berjalan seiring, tetapi keintiman ini dan keterlibatan antara keduanyalah yang membuat penghinaan kolonialisme tidak tidak terlihat dalam liberalisme modern.”

Nyata adanya memang Tuan, dan saya rasakan di negeri kami. Jika dunia kolonial sebagaimana Tuan tulis, adalah “dunia kotak-kotak”. Sebuah dunia Manichaean, yang dihuni oleh spesies berbeda. Dalam dunia ini, pihak penjajah dan pihak yang terjajah hidup dan berhadapan satu sama lain dalam cara yang paling ekslusif. Akan tetapi, hidup yang didefinisikan dengan baik, hanya untuk salah satu spesies. Hanya satu dari mereka, yakni spesies yang berkuasa. Sedangkan penduduk pribumi adalah dipahami sebagai spesies sisa. Yang dibangun dengan sistem konstitusi.

Pengakuan dan penolakan kuat tuan atas kolonialisme membuat saya sadar diri atas pernyataan saya di atas: “siapa aku dalam kenyataan”. Bahwa konsep kolonialisme bukan sebagai reason, akan tetapi sebagai penstrukturan dari sebuah tatanan dunia yang spesifik. Sebuah penataan kekerasan yang harus ditolak oleh semua cara yang mungkin. Sebab kolonialisme bukan mesin yang mampu berpikir, tubuh yang dikaruniai akal. Melainkan kolonialisme adalah kekerasan telanjang dan hanya menyerah ketika dihadapkan pada kekerasan yang lebih besar. Ya, saya sadar jika saya adalah filsafat oposisi dari kolonialisme hari ini.[]

*Penulis pecinta Sapi Sonok dan kesenian saronin.

Ilustrasi: quotesgram.com/frantz-fanon-quotes/