Home - Jakarta Unfair: Penggusuran Matikan Penghidupan Warga

Jakarta Unfair: Penggusuran Matikan Penghidupan Warga

by lpm_arena

Lpmarena.com, Film “Jakarta Unfair” merupakan film yang disutradarai oleh Dhuha Ramadani. Bercerita tentang nasib warga pasca penggusuran yang terjadi di titik-titik pinggiran kota Jakarta. Beberapa titik meliputi warga Bukit Duri Jakarta Selatan, warga Kampung Akuarium Pasar Ikan Jakarta Utara, warga Kalijodo, warga bantaran SUngai Ciliwung, dan lain-lain. Dari data yang ditayangkan, di tahun 2015 ada 113 lokasi yang digusur, dan di tahun 2016 target lokasi mencapai 325 titik.

“Mereka digambarkan seperti tikus, dikejar-kejar, diusir. Proses mindahin manusia gak gampang. Proses pembangunan tak memperlihatkan aspek antropologi,” kata Bachtiar Dwi Kurniawan, selaku sekretaris majelis pemberdayaan masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menjadi pemateri dalam acara Nobar Film Jakarta Unfair yang diadakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sleman, yang bekerja sama dengan Social Movement Institute (SMI). Acara dilaksanakan di Balai Posyandu Ambar Melati II, Ambarukmo, Gowok, Sabtu (03/12).

Film produksi Watch Doc tersebut, selain memperlihatkan penggusuran, juga menceritakan relokasi yang dilakukan Pemkot Jakarta ke rumah susun. Memang secara ketertataan memenuhi, tapi secara ekonomi tidak. Pasalnya, pemindahan relokasi ke rumah susun tidak diimbangi dengan pemindahan pendapatan. Di lokasi yang baru, warga korban penggusuran harus menyiasati sulitnya mencari makan sehari-hari. Belum lagi biaya rumah susun yang tak sesuai dengan pemasukan warga yang digusur. Alhasil, banyak dari warga yang telat membayar dan terancam diusir jika tidak segera dilunasi.

Bachtiar mengatakan pembangunan mental dan jiwa dari masyarakat Indonesia lebih penting, daripada pembagunan fisik. Membangun etos, jiwa, karakter, mental merupakan proses panjang yang mestinya dilakukan pemerintah. “Prioritas pembangunan Jokowi beda dengan revolusi mental, presiden malah bangun fisik,” ujar Bachtiar merujuk pada amanat yang disampaikan lagu Indonesia Raya dalam lirik ‘bangunlah jiwanya, bangunlah badannya’. Ia melanjutkan, ada kerangka makro yang dijadikan prinsip dalam membangun. Pertama keadilan, kedua berkelanjutan, dan ketiga berwawasan lingkungan.

Meski titik episentrum masalah ada di Jakarta, ketika diobrolkan di Jogjakarta tak lantas kehilangan kontekstualnya. Jakarta dan Jogja memang berbeda, Di Jogja ada upaya kritik ber-genre sejenis, seperti Festival Seni Mencari Haryadi dan Jogja Ora Didol. “Film itu mengajak Anda berperan,” kata Bachtiar

Reporter dan Redaktur: Isma Swastiningrum