oleh HABIBURROHMAN NAWAWI*
SEMUA BERMULA DARI SEBUAH TIUPAN, menghembus ke mana ia harus menghidupkan sesuatu. Tebing jurang, dasar laut, dan mungkin di ujung antariksa ia bersembunyi. Hingga setelah semua tidak menemukan atau terjawab, tiupan angin menciptakan pertanyaan baru: Kenapa ia mesti ada? Barangkali banyak sudah yang ingin membuktikan kejadian awal mula itu. Tapi seorang pria kurus, berkumis, dan jangkung itu hanya tengah siap menggendong seorang bayi. Ia tidak pernah mencoba mencari asal tiupan itu, karena ada dan tidaknya tiupan itu, bagi pria tersebut, tidak merubah permulaan kehidupan bagi anaknya yang meyiapkan tangis sejak ia terdiam sembilan bulan lamanya.
“Sunarto dik,”
“Yang lebih bagus to mas,”
“Eh jangan kira, nama Sunarto ini tidak dinisbatkan pada orang pandai dan berpengaruh,” ujarnya seperti pidato yang akan terdengar oleh bayinya, “kamu tahu kan dek, orang yang pertama memberi jendela kehidupan pulau ini? Sunarto dik, ia yang telah membawa kehidupan dalam kehidupan yang lebih baik dan maju!”
“Ya sudah lah mas, aku ikut.” Ibu berkata sedikit kesal, tapi kebahagiannya sekarang sedang tumpah ruah dengan si bayi mungil bernama SUNARTO.
JALAN RAYA YANG SEPI SEBELUM TENGAH MALAM, dan bebunyian hewan berirama kelam, sedang menemani siapa saja yang terjaga saat petang. Dan hal apalagi yang bisa diceritakan oleh para penjaga kampung saat malam hari. Main kartu atau catur itu jika ada temannya, batinku. Tapi lain dengan sosok Ayah yang Ibu ceritakan dengan kisah seorang penjaga.
“Dulu ada, seorang penjaga yang baik hati di desa ini,” Ibu memulai dongennya, “Ia begitu sigap dan perihatin dengan keadaan di lingkungannya. Hingga tiba malam begitu gelap, turunlah hujan lebat dan kilatan petir tiada henti. Dan saat seperti itu, maling…”Ibu memelankan suaranya sambil melihat anaknya yang ternyata sudah pulas. Ibu tahu aku tidak pernah tuntas mendengarkan dongeng, hingga tak perlu mengarang dongeng yang lain. Yang ibu tak tahu, sampai sekarang, hanyalah pendengaranku yang tajam.
Selanjutnya, pendongeng pun punya cara untuk merubah sedikit saja poin-poin dari cerita sebelumnya. Ibu memang tak pandai membuat dongeng, tapi ia tahu semua cerita tidak harus dituturkan melalui dongeng. Dan ia tak menemukan tema baru dari sebuah dongengnya, persis di saat ayahku pergi.
Ayahku ingin pergi mengarungi samudera, hanya untuk merubah nasib keluarganya. Ia merasa semua akan lebih mudah di luar sana, sambil menunjuk ke pulau yang kecil di tengah lautan. Ibuku hanya bisa mengangguk, meskipun ia tak mengerti mengapa di sana akan terasa lebih ringan hidupnya ketimbang di sini. Hampir tiga tahun sudah, Ayah menggoda Ibu untuk ikut serta pergi merantau, tapi Ibu akhirnya tetap menolak, dan akhirnya ia nekat untuk melakukan perjalanan menaiki perahu yang ia beli dari penjualan sapi satu-satunya warisan nenek-kakek.
Niatnya sudah tak terbendung lagi, Sunarto kecil hanya mampu memukul-mukul ayahnya pelan, ia rasa Ayah akan meninggalkan selama-lamanya. “Ayah hanya sebentar, To” katanya dalam tutur yang halus, dan hanya Ayah yang memangilku ‘To’ yang menjadi bagian akhir nama Sunarto. Ku ingat panggilan ini, ketika aku sudah mempunyai anak yang terakhir. “Berapa tahun lagi kamu akan menyusul bapak ke sana.” Seraya ia menunjukkan pulau dengan jari telunjuk seperti saat bersama Ibu kemarin sore.
Aku tahu cerita itu dari kisah Ibu kemarin malam. Mungkin nama tokoh dan tempat ceritanya dirubah, agar terdengar seperti baru jika disampaikan. Dan cerita “Pelaut yang Mempunyai Harapan di Seberang” adalah dongeng terakhir dari Ibu.
Aku terus memukul ayah tanpa henti, hingga akhirnya ia melempar senyum perpisahan dengan Ibu. Ia mencium pipiku sebelah kanan-kiri penuh harapan, kemudian menatapku pelan, dan berakhir dengan kecupan sangat lama pada bagian kepalaku. Terdengar lirih pesannya saat itu, “jaga pulaumu ya nak, untuk ayah nanti. ”Pesan itu hilang bersamaan dengan waktu yang berjalan tanpa menunggu semua kembali seperti sedia kala.
SEJAK 4 TAHUN KEBERANGKATANKU SELESAI, sudah saatnya, aku ingin mendapatkan jodoh atau pendamping seperti pemuda-pemuda desa lainnya.Tapi entah mengapa, Ibu, atau nenek dari cucuku nanti, tidak setuju dengan perjodohan sepeerti orang desa pada umumnya.
“Karena ayahmu telah mengajarkan hal itu Su,”
“Jadi itu, yang mengakibatkan aku diejek teman-teman,” jawabku asal karena ingin bercanda, “jadi ibu berharap aku tidak mempunyai jodoh….”
“Hush, siapa yang mengajarkan kau membantah ibumu sendiri! Hah? ” Tak disangka raut padam merah ibu kurasakan di awal usiaku beranjak remaja, “jangan kau sepelekan masa depan. Ia akan menjatuhkanmu ke dasar, paling dasarnya bumi, jika kau masih menganggap semua hal dengan sepele dan ringan. ”Aku hanya bisa menunduk sampai Ibu reda. Kemudian Ia menceritakan kembali kisah Ayah. Kali ini ia ungkap secara terang tanpa harus digubah menjadi sebuah dongeng. Sebelum ia bercerita, ada perkataan yang tekankan padaku “Carilah dan tentukan bagaimana kau hidup.”
“DIK, besok jika sudah datang waktunya kembalilah dengan raga, jiwa yang tetap milikku.”
“Doa restu mas,” Sulastri berkata lirih, malu di dengar orang tuanya yang melihat dari atas kapal penumpang, “kau tahu mana yang mesti dipertahankan to mas?” Penuh yakin ia berkata dan melangkahkan kaki menuju kapal yang akan mengatarkannya ke pulau lain.
“Jika ini baik, semua akan kembali dengan rasa yakin. Sampai jumpa dik.”
Ayah mengantarkanku menuju batas yang tidak pernah dapat terlihat oleh mata. Pesan kami hanya tersampaikan oleh angin dan bulan saat terang tanpa awan. Di situlah keyakinan berdiri menjaga sekian jarak tetap terhubung seperti Adam dan Hawa. Bedanya kita tidak merengek kesal karena kesalahan, melainkan kebahagian yang menunggu di waktu yang lain.
SUNARTO MENEPATI JANJI PADA ORANG TUANYA, dan Sulasmi sudah semakin dekat dengan dia sejak perkenalan tempo hari di pelabuhan K tempat kami berlabuh para perantau yang setia pada induk semangnya. Pulau G begitu indah di mata para pendatang, tapi menjadi biasa di antara masyarakat yang mendudukinya. Dan bapak kepala desa yang baru, berkata di forum Reboan.
“Setidaknya kita semua tahu kenapa para orang bule itu datang kemari,”
“Jangan-jangan mereka ingin menjual pulau kita pak,” gerutu perangkat desa yang lain.
“Hush, kayak bisa bahasa luar negeri saja kamu ini,” tangkas seketaris desa “mungkin tempat ini menyimpan keindahan yang mereka cari pak.” Seperti biasa kepala desa hanya diam mendengar para anggotanya membicarakan para pendatang.
“Ada pendapat lain?” Kepala desa membuka kembali, “kalau tidak, mungkin tawaran Pak Subali sebagai seketaris desa adalah ide cemerlang. Jadi desa akan mengirm sepuluh orang yang siap belajar apapun di luar sana,” demikianlah rapat desa R, dan kemudian ia berdiri melihat sebelah kanan, “Suparjo, kau kebagian untuk mendatanya.”
“Siap pak!” jawab Suparjo.
Seperti biasa, setiap rapat itu terdengar sayup-sayup di dapur kantor kepala desa. Termasuk Sunarto kecil yang tengah membantu ibunya menyediakan minuman bagi para penjaga desa yang baru. Dan tanpa memohon, saat mereka berdua membereskan piring dan gelas Pak Kepala Desa meminta izin kepada Ibu untuk juga mengirimku belajar di pulau lain.
“Sunarto bisa dikirim belajar bu?”
“Atas restunya, silahkan bu.” Ibu paling pandai berbicara sopan dengan orang lain, kecuali pada anaknya. Karena sekian lambat seorang anak, menambah kejengkelan terpendam pada seorang Ibu yang merasa telah mengandungnya.
“Pak,” Ibu mencoba tetap sopan, “soal perlintasan kereta api itu bagaimana ya?”
“Masya Allah, sepertinya program itu belum dapat segera diselesaikan sampai akhir tahun Bu” kepala desa merasakan kekecewaan Ibu ketika ia mengajakku segera masuk.
Mungkin karena tempat kantor desa berada di sebelah selatan. Jadi, peristiwa di utara lebih sering tertinggal penanganannya walaupun itu sangat penting. Contoh kecilnya perlintasan kereta pegat itu. Hal ini tidak ada karena rasa khawatir Ibu sebagai orang utara yang ketakutan anaknya akan menjadi korban selanjutnya.
PERLINTASAN REL KERETA API DI SEBELAH UTARA KAMPUNG MEMPUNYAI SISI CINTA, menurutku. Seperti penghubung perasaan yang tak putus, dan akan berujung pada sebuah akhir yang dramatis. Coba dengarkan kereta akanberhenti di salah satu stasiun, pasti kau dengar suara lelah itu terdengar dar dalam deru mesin kemudian mesin mati dan esok perjalanan di mulai lagi.Tapi karena cerita semua tidak dapat melihat sisi yang Sunarto rasakan.
Konon sudah lima sampai tujuh orang telah terbunuh di perlintasan itu, dan dari sekian orang itu telah memiliki calon pengantin yang menawan. Mungkin keinginan untuk segera hidup bahagia dengan keluarga hilang sudah ketika para pengendara menerobos perlintasan kereta api tersebut. Dan anehnya, semua kejadiannya hampir sama, ketika waktu masih sore, dan kereta seperti masih jauh jaraknya hingga para pengendara motor melintas begitu saja tanpa perlu menunggu lama.
Tapi lain ladang, lain belalang. Hubungan kita seperti perlintasan api yang terhubung menuju stasiun selanjutnya.
SEMUA ORANG PASTI MENGHADAPI PILIHAN YANG RUMIT dalam kehidupannya masing-masing. Begitu juga bu Sulasmi. Ia sebelum subuh sudah harus menyiapkan penjualannya di dapur. Jam menuju pukul empat pagi, beliau biasanya hanya tinggal menghangatkan nasi ketannya, dan menyiapkan parutan kelapa serta jualan yang lain.
Hampir sepuluh tahun lebih setelah meninggalnya Ibu Sunarto yang baik serta tangguh, hingga tahun ini serasa lebih berat, bagi Sulasmi, apalagi perutnya sudah membesar.Tapi bukan Sulasmi jika keresahan ini diketahui oleh sang suami. Apalagi setelah mereka telah siap dengan segala jurus penangkal musibah jika nanti ada peristiwa yang mengguncang keluarganya sejak ikrar pernikahan diucapkan.
“Maafkan aku ya bu,” kata Narto pada istirnya.
“Tidak usah mendengar tetangga yang tak pernah tahu keinginan kita berdua, mas!”
“Tapi sepertinya ini sudah di luar kemampuanmu.”
“Mas Narto bisa saja kalau menyanjung,” dan sejak dua bulan mendekati hari lahir, Sulasmi sudah mulai kesulitan jika masih harus berjualan, ia ingin berkata pada suaminya “Mas, Sulasmi sudah tidak bisa melayani pembeli nasi ketan di depan rumah.”
“Banyak istirahat dik, mas Narto yang akan berjualan di depan rumah mulai sekarang.” suaminya tengah diam seperti berpikir, “dan setengah delapan mas Narto pergi kerja di tempat tuan Gun.”
Kemudian Sulasmi senyum bahagia melihat suaminya mendengar perkataan hatinya, meskipun sebenarnya Sunarto sedang mengingat petuah ibunya baru meninggal. Ibunya sempat berkata demikian:
“Menjaga sebuah keluarga adalah cermin kehidupan. Karena tanpa kau memahami keluarga apalah arti hidup dan kehidupan. Kau membutuhkan ketabahan untuk menjaga Sulasmi sampai ujung kukumu, nak.Jangan sekali-kali kau minta ia mengerjakan diluar kemampuannya!”
“SUDAH TAHU MISKIN, masih saja terus beranak pak…, pak…,” ujar Pak Gun bosnya.
“Namanya juga pingin pak,” tawanya meringis kemudian melanjutkan, “boleh ya pak. Janji ini anak terakhir deh.”
“Ya sudah, ya sudah sana. Sejak kau akan mendapatkan anak ketiga, kau selalu bilang begitu Su!” ejek tuanya. Ketika Pak Gun segera masuk, daun pintu yang membawa sinar matahari pagi terhalangi sosok pekerjanya, ia menoleh bersamaan dengan mengatakan
“Lho kok masih diam Su?”
Melihat raut muka orang yang terdiam. Pak Gun berkata lirih seperti terdengar sendiri perkataanya, “isyarat ini tidak asing lagi bagiku.” Kemudian tanpa aba-aba Pak Gun telah masuk secepat pegawai bank, dan membawa sebungkus plastik berisi uang seraya berkata “Ini buat tambahan ya Su!”
Ia menunduk ketika mengambilnya, dan berkata “terimaksih Pak Gunawan yang baik.”
Sekarang Sunarto pergi, berjingkrak-jingkrak di halaman Pak Gun.Tuannya hanya bisa melihat riang Sunarto telah membuat cemburu serisi rumahnya. Hingga nanti kejadian itu benar terjadi di hari ketiga belas, sosok tuan yang ia banggakan, benar-benar akan ia rindukan panggilan kesayangannya kepadanya. Kata panggilan ‘Su’ bagi Sunarto adalah singkatan dari superman atau pahlawaan lainnya. Mungkin hanya ayah yang satu-satunya memanggil ‘To’ kepadaku. Yang terpenting selain itu, aku selalu dipanggil ‘Su’.
SEMUANYA SUDAH SIAP, aku berjalan di antar tebalnya kabut lewat pintu belakang rumah. Karena aku yakin semua masih tertidur pulas, pukul tiga nanti aku harus benar-benar segera berangkat. Karena jika tepat sebelum matahari loncat dari pegunungan belakang rumahku, saat langit penuh dengan goresan putih bernama fajar, seorang tuan ternama Gunawan telah meninggalkan sembilan anak dan dua orang Istri. “Sulasmi baru tahu, pak Gun juga memiliki anak sembilan,” kataku dalam hati. “Mungkin ia hanya tahu soal istrinya.”
Tepat di hari tiga belas seperti yang dikatakan orang mengaku bernama Sugingsul di depan persalinan rumah sakit. Kejadian terjadi seperti lingkarnya aliran sungai. Sunarto merubah namanya dengan nama asing ‘Si Koteng.’ Sedang meyelinap di antara kerumunan suara ayam, menuju kota yang entah.
“Urungkan niatmu, mas” Ia seperti berbisik dari mimpinya. “Lari tidak pernah diajarkan oleh ayahmu. Berhentilah mas, kita selesaikan semua ini dengan kepala dingin.” Dalam keadaan apa pun, seorang perempuan masih dapat melihat keadaan dengan mata hatinya. Tapi pilihan Si Koteng tidak akan pernah gagal oleh siapa pun, kecuali Si Koteng sendiri.
Kemuning petromak jalan tak pernah mampu menerangi kegelapan malam, melainkan hanya penanda waktu sudah tiba malam hari. Hingga kendaraan yang ditumpangi Si Koteng sedang melesat kencang diantara kendaraan lain, mendadak menyalakan lampu depan dan menurunkan kecepatannya sebelum langit menelan senja dan tibalah gelap. Si Koteng tahu perjalanan ini melelahkan, dan entah kemana ujungnya. Tapi memilih terbunuh di penjara bukanlah pilihan yang ringan. Demikianlah yang ia terus katakan sebelum menaiki kendaraan secara diam-diam saat baru turun dari kapal di pelabuhan.
Sulasmi tidak pernah mengetahui bagaimana hubungan dan kematian Pak Gunawan dengan palarian suaminya. Seperti aliran sungai yang berulang. Sunarto yang berganti nama Si Koteng pergi meninggalkan seorang anak yang juga berjumlah sembilan dengan anak bungsu kesayangannya Su Gunawan.
Karena sudah sekian tahun itu terjadi, Su Gunawan mulai mencari hilangnya Kakek dan Sunarto—ayahnya yang menurut masyarakat tidak pernah melakukan sebuah kesalahan fatal hingga pantas menyebabkan mereka pergi atau lari. Mungkin karena sudah menjadi tugas Su Gunawan yang mendapat amanah dari Ibunya untuk mengurai semua permasalahan yang terus mengulang. Yang mungkin kebetulan, menurutnya, adalah larinya Sunarto sang ayah dan kematian Pak Gunawan.
“Bisa dibuktikan dengan hasil wawancara dan hubungan kerja mereka pak,” sergah para polisi yang mengira ayahnya telah membunuh Pak Gun.
Karena Su kesal dengan pihak berwajib, ia berkata “Sekarang mampukah bapak mencari kenapa penyebabnya ayah dan kakek saya pergi, atau melarikan diri?” semua orang di ruangan lenyap, “tentang identitas atau hubungan mereka dengan para orang di luar sana?” “atau kalian mempunyai jawaban lain atas keresahan yang mendalam bagi mendiang ibu dan nenekku?”
Su Gunawan menunduk di ruang tempat para pihak berwenang mengintrogerasi dengan prasangka yang dikuatkan oleh data. “Kembalikan ayah dan kakek, atau kalian akan tahu nasib pulau ini berlangsung.”
SEPERTI DENDAM YANG SUDAH IA MANTRAKAN di ruang penyekapan. Semua orang telah mengenal siapa Su Gunawan dengan pretsasinya yang gemilang. Ia kembali menghadap sebuah peristiwa duka sebab Sulma, seorang anak dari Pak Gunawan, mencoba menenangkan dan mengobatinya seusai penyekapan dua puluh dua hari yang lalu. Ia mencoba mengobati walau pasti tidak akan menghilang. Tapi berusaha mengembalikan semangat Su Gunawan, berarti sudah memberi harapan pada pulau G dan masyrakat lainnya. Karena Sulma tahu, sebuah keyakinan manusia lebih berharga daripada sebuah peradaban baru yang rapuh.
____
*Penata cahaya di sanggar Teater ESKA // “Pelarian Sunarto dan Ayahnya Menyimpan Persoalan,” cerpen ini ditulis dengan durasi delapan jam pada lomba Peksimida 2016 dan meraih penghargaan harapan ke-dua.
____
gambar oleh lennartverhoeff dari devianart