“Tidak akan ada ‘dunia lain’ untuk saya jika sesuatu yang baru yang disebut dekonstruksi itu belum datang untuk menggangu ruang yang begitu tersebar dari jagat akademik pascakolonial” (Spivak, 1998).
Oleh: Muhammad Faksi F.*
Layaknya seorang lelaki, aku jatu cinta padanya. Tebar pesona, dan senyum sinisnya membuat aku semakin tak sabar untuk memikat dalam-dalam pada sebuah imaji, untuk sekadar memahami dunia pada sebuah artikulasi. Bagaimana budaya dan seni menjadi nafas dari kita sebagai subjek yang jauh dari perkara cinta buta, pada sebuah budaya yang dimiliki oleh negeri nan jauh itu, ajarnya.
Pertemuan ini begitu sangat spesial, di sebuah kedai dengan suguhan adonan kopi tradisional, serta musik “Dia” oleh Aji yang tak henti diputar. Aku belajar darinya, tentang “cinta dan kerinduan “pada sebuah negeri,” Dalam kitab suci yang disebut dengan Of Grammatology sebagai media komunikasi.
Gayatri Chakravorty Spivak, biasa dipanggil Spivak, memulai mengurai pengertian atas sebuah resah yang kurasa. Tentang, “bagaimana masa depan cinta pada sebuh negeri yang bisa kunikmati?“ tanpa koloni yang membuat aku sakit hati karena cemburu. Sebab, koloni itu tanpa etika dan prinsip cinta, ia menelanjangi alam yang kucintai. Hadirnya Spivak, dengan wajah perempuan asing, ditandai dengan titik merah di dahinya, menunjukkan ia orang kelahiran Caltutta, negara bagian Benggala, India, memberikan penalaran diskursus, ontologi, epistemologi, dan metodologi yang terdekonstruksi. Hingga membuat aku tak ragu lagi, untuk kembali pada pertigaan jalan untuk memilih, antara reformasi, revolusi, atau diam diri sebagai jalan yang harus aku dilalui.
Layaknya penulis Of Grammatologi, Derrida. Perempuan dengan khas rambut pendek, serta kebiasaan dengan berbusana ala India itu bereaksi menentang kalangan strukturalis yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure, dan kemudian Roland Barthes, serta Levi Strauss, bahwa bahasa adalah suatu yang ilmiah sebagai representasi realitas yang stabil dan kausal.
Penjelasannya membuat aku diam dan berpikir sejenak. Apakah aku kaget atau kagum pada kalimatnya? Tapi pada malam itu, perbedaanya hanya tipis bagai tirai, bisa menghadirkan bayang, dan kenyataan yang sesungguhnya. “Bahwa filsafat barat bukanya menjadi netral, namun malah terkait erat dengan sejarah ekspansi imperium Eropa dari imprealisme Inggris abad kesembilan belas hingga kebijakan luar negeri Amerika Serikat abad dua puluh.” Sebagai kata kunci, upaya antisipasi, sebagaimana tulisanku sebelumnya Siapa aku dalam kenyataan, bahwa aku adalah subjek anti kolonial sebagai jawaban. Maka kalangan intelektual sebagai jalan awal.
Layaknya intelektual, argumentasi dan perbedebatan selalu berdialektika pada dua poros pengatahuan, barat dan timur. Disayangkan bukan, membelanya pada kebenaran yang ia yakini, ia harus rela menghabiskan waktunya untuk membaca, dan riset lanpangan pada tanah yang pada dasarnya tidak menyimpan gandum. Tak ada salahnya memang untuk membaca dan meneliti untuk memperkuat arti sebuah “kebenaran”. Tapi, sebagaimana Foucault, kebenaran harus selalu berletak pada sejarah arkeologi peradaban tersebut. Atau membaca subjek kritis identitas ala Marxis. Ia, itu adalah titik dari setiap awal dari Dekonsrtuksinya, yang membuat aku jatuh cinta pada prinsipnya, yang memberi arah untuk tahu, bagaimana kalangan intelektual bersikap.
Malam semakin larut, hingga obrolan di malam itu memecah keheningan, bersamaan dengan rotasi surplus perusahan yang tak henti melipatganda pendapatan, serta kehendak untuk berkuasa dengan selubung kata manis kemanusian. Tapi Spivak, tak kalah semangat bercerita berjalan panjangnya sebagai aktivis perempuan pascakolonial, tentang Ero-Sentrisme dan Universlisme dunia ketiga. Mendukomentasikan dan meneorikan rencana perjalan lengkap Eropa sebagai subjek berdaulat.
Dengan tegas ia berkata: Beberapa titik paling radikal yang keluar tentang barat pada 1980-an adalah hasil dari hasrat tertarik untuk melestarikan subjek barat, atau barat sebagai subjek? Teori tentang “Subjek Efek” yang terpluralisasi sering menyediakan penutup bagi subjek pengatahuan ini. Meskipun sejarah Eropa sebagai subjek dinaratifkan oleh hukum politik, ekonomi, dan ideologi barat, subjek yang tersembunyi ini berpura-pura tidak memiliki determinasi geopolitik. Dengan demikian, kritik hanya dipublikasikan terhadap subjek berdaulat adalah benar-benar justru meresmikan subuah subjek.
Sedikit menyinggung memang, ketika kita amati, seakan manusia yang kita lihat tiap hari seolah menjadi benda mati, lebih parahnya kalangan intelektual yang menjadi juru bicara atas nama kedaultan demokrasi, negara Islam dan lainya. Artinya, kondisi seperti ini memang dibuat dengan naskah yang indah dalam sebuah pentas politik internasional, ta heran jika kerap kali peran kita hanya menjadi lakon atas pengatehuan yang mereka bentuk.
Dengan pertemuan yang tak terelakkan lagi, serta rasa kantuk yang terus berorasi menuntup untuk berhenti, maka mari kita sadari, bahwa kita sekarang dalam kondisi yang terkendalikan. NKRI yang terisolasi memahami dirinya sendiri, perlu untuk kita kritisi. Bubarkan organisasi, atau gerakan mahasiswa yang beratribut politik dan golongan koloni, sebab ia bukanlah intelektual yang tidak akan bisa memberikan efek perubahan sosial, ia bungkam di saat kampus lagi krisis kemanusian. Memilih diam sebab seniornya ada di dalam lingkar kekuasaan. “Subjek Efek” sebagimana perempuan kelahiran 1942 itu tawarkan pada dunia ketiga seperti kita (Indonesia).
Layaknya sepasang kekasih yang jatuh hati, dan hasrat tak terkendali, ia akan bermimpi, membangun rumah tangga dengan rumah baru, dan kehidupan baru, serta jauh dari dialektika ibu dan ayahnya. Kurang lebih itu DEKONSTRUKSI. Isi dari rumah tangga itu, akan selalu mengikat kuat sebuah ideologi, bahwa perempuan dan lelaki sama mengerti bahwa cinta bukan persolan materi, melainkan persoalan bagaimana menjaga harga diri. Tak boleh harga diri bangsa yang merdeka dijadikan alat dari ideologi bangsa lain.
*Penulis adalah mahasiswa filsafat yang sudah tidak kuliah, tapi masih sering ke kantin.
Gambar: www.uh.edu