Oleh: Pemuda Bangsa*
Apakah ada keterkaitan, antara masifnya proyek pembangunan infrastruktur dengan fenomena jarang mandinya seseorang? Mungkin bagi kalangan yang jarang mandi pun akan menjawab: “jelas tidak ada kaitannya”. Anggapan tersebut dibenarkan, ketika alasan atau sebab dari jarang mandinya mereka adalah karena kemalasan. Namun bagi kalangan masyarakat yang memiliki alasan atau sebab lain, keterkaitan-tidaknya dua terma tersebut akan direnungkan terlebih dulu secara mendalam sebelum melontarkan jawaban atas pertanyaan di muka.
Kita bisa lihat, infrastruktur sarana prasarana penunjang kegiatan sosial-ekonomi-politik dibangun begitu cepat. Pembangunan fasilitas umum (katanya) berupa jalan raya, taman kota, rumah sakit, pasar modern, terminal-stasiun-bandara hingga pelabuhan, bahkan hotel-perumahan ditancapkan di atas tanah. Perlengkapan fisik ini bukan lain adalah untuk mendorong pembangunan di segala sektor (mencakup pula SDM).
Pengadaan penyediaan berbagai fasilitas di atas, adalah program pembangunan – yang lazim dan harusnya untuk tujuan maslahat lil ummat. Akan tetapi, fakta di lapangan selalu didapati persoalan krusial baik dalam rangka menyediakan maupun mengontrol ke semua perlengkapan yang dibicarakan sebelumnya. Persoalan krusial yang dimaksudkan pastilah memiliki alasan atau rasionalisasi didalamnya. Dan ternyata, pembangunan yang diprogram-proyeksikan dilihat-dirasa-dicium membawa implikasi buruk bagi rakyat –bukan kesejahteraan rakyat. Hingga kerap kita dapati, program proyek pembangunan yang direncanakan dilaksanakan oleh pemerintah harus berhadapan secara langsung dengan penolakan-penolakan dari massa rakyat.
Penolakan-penolakan tersebut adalah salah satu wujud permukaan dari adanya masalah (problem) daripada pembangunan. Wujud permukaan yang lainnya, adalah salah satu fenomena sosial yang berupa ‘jarang mandi’ sebagai implikasi nyata dari program pembangunan yang dilaksanakan.
Kondisi air bawah tanah
Indonesia –bangsa tercinta ini– menempati nomor urut kelima sebagai negara yang kaya akan sumber daya air setelah Brazil, Rusia, China, dan Kanada. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan tanah ibu pertiwi menyediakan air sebesar 15.500 meter kubik per kapita setiap tahunnya (Suara Pembaharuan: Edisi 27 Februari 2006). Namun oleh Forum Air Dunia II (World Water Forum) di Den Haag pada Maret 2000, sudah memprediksikan Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada 2025. Pendapat WWF ini patut kita perhatikan betul. Mungkinkah demikian, kondisi – masyarakat bangsa – kita demikian pada tahun tersebut, jika melihat gejalanya sejak hari ini.
Sebagaimana diungkap di muka. Pembangunan segala macam fasilitas tadi ternyata membawa dampak serius bagi kondisi air bawah tanah kita. Segala macam fasilitas –yang dipastikan membutuhkan ketersediaan air– tadi, pada kenyataannya justru membawa masyarakat kepada kelangkaan air. Bisa kita lihat dalam pendataan Badan Pusat Statistika (BPS) berapa bangunan yang berdiri dengan kebutuhan air paling banyak –khususnya perhotelan dan akomodasi. Di wilayah Provinsi D. I. Yogyakarta misalnya. Sedikitnya ada 88 hotel penginapan non-berbintang, 1096 hotel penginapan berbintang, dan jika ditotal ada 1183 hotel pada tahun 2016. Belum ditambahkan dengan jasa akomodasi lainnya, seperti wisma, youth stay, dan klasifikasi lainnya yang ditetapkan oleh dinas pariwisata (bps.go.id : DIREKTORI HOTEL DAN AKOMODASI LAIN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA).
Belum lagi ditambah dengan jumlah mall atau pasar modern, pabrik perusahaan, dan gedung-gedung besar lain yang membutuhkan kapasitas air tinggi. Hal ini jelas akan mempengaruhi kondisi air bawah tanah. Maka mungkin pendapat Forum Air Sedunia tadi benar, suatu saat negara terkaya air kelima ini akan mengalami krisis air.
Tidak mandi atau tidak minum, sebuah pilihan
Bagi masyarakat, air merupakan kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dari hidup dan kehidupannya. Air bagaikan darah bagi masyarakat. Tanpa air yang diasosiasikan sebagai darah, masyarakat akan terjangkit berbagai wabah penyakit.
Sebelumnya telah diungkap, bahwa kelangkaan air telah kita rasakan hari ini –meski oleh WWF 2025 baru akan krisis. Terutama dalam hal ini yang paling merasakan adalah masyarakat yang daya beli dan aksesnya rendah akibat ketidakmampuan ekonomi. Masyarakat berekonomi rendah akan kesulitan mendapatkan air. Meski sudah memiliki pompa, kenyataannya air di bawah tanah tersedot banyak ke kran-kran hotel dan kamar mandi gedung-gedung besar yang jumlahnya tidak cukup dihitung jari tangan.
Dari sini kemudian, kelangkaan air tersebut memberikan suatu pilihan ganda yang harus dipilih salah satu oleh masyarakat kita yang terdampak. Pilihan ganda ini tidak sebagaimana yang dikerjakan pada lembar jawaban ujian tulis. Melainkan pilihan yang di hari esok, memberi pengaruh terhadap keberlangsungan hidupnya sendiri beserta keluarga ─sehat atau sakit, hidup atau mati.
Jika kita bayangkan dalam situasi ini, mungkin air yang tersedia dengan sangat minim tersebut akan kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya dan berdasarkan skala prioritas. Pilih saja antara untuk mandi atau untuk minum, jika air yang ada dihadapan pembaca, hanya lima liter. Selanjutnya, keterkaitan atau tidaknya terma yang dimaksudkan di atas, dapat dijawab setelah kita baca bersama kondisi lapangan di atas.[]
*Berpengalaman jarang mandi, sebab malas maupun kekurangan air.
Ilustrasi: www.chrisbuzelli.com/mirage-cartography/