Lpmarena.com, Kematian mantan presiden Kuba Fidel Castro, 26 November 2016 lalu membawa masyarakat dunia kembali mengenang jejak-jejak hidup, pemikiran, dan perjuangannya. Pun peringatan itu ada di Indonesia, salah satunya oleh Klub Administrasi Administrasi Publik UGM yang menggelar diskusi bertemakan “Kematian Fidel Castro dan Masa Depan Revolusi Sosialis Kuba” di Pojok Lobby MAP UGM, Gedung Fisipol Unit 2, Selasa (6/12). Diskusi menghadirkan dosen Fisipol UGM, Ayu Diasti Rahmawati.
Bagi Ayu, jika orang membicarkan tentang Castro ada kecerendungan untuk menjadi Castrosentrik. Padahal Castro tipe pemimpin yang tidak suka dengan ide-ide penokohan. Itu dibuktikan di negara Kuba jarang kita temukan tempat-tempat fasilitas umum, semisal nama jalan dan bandara yang menggunakan nama orang. “Salah satu hal yang jarang disorot, kepemimpinan Castro anti penokohan,” kata Ayu.
Di masa kepemimpinan Castro, partisipasi rakyat kepada publik sangat besar. Castro menggunakan organisasi untuk memobilisir rakyat. Relevansinya ketika basisnya organisasi, Castro dengan sadar bilang tidak ada artinya berbicara revolusi, tapi masyarakat tidak menghendaki. “Bagaimana kita untuk selalu melakukan revolusi. Ada revolusi dalam revolusi,” ujar Ayu.
Castro sadar jika revolusi yang baik dilandasi dengan kesadaran kelas. Lewat ini, Castro menawarkan sosialisme pada Kuba. Ini dilakukan melalui proses kebijakan Castro yang mempertegas partisipasi publik. Castro selalu ingin membangun masyarakat yang partisipatif. Sehingga lahirlah banyak organisasi di Kuba, dari petani, buruh, hingga dokter. Castro kemudian menjadi tokoh yang menggagas revolusi partisipatoris dan kolektifikasi kehidupan di Kuba. “Jadi kalau kita melihat kebijakan Castro dengan melihat basis-basis materialnya, yang dia lakukan adalah beradaptasi,” komentar Ayu.
Revolusi Kuba 1959 tentu berbeda dengan Revolusi Kuba abad 21. Yang mesti diperhatikan sekarang adalah mengetahui peta politik negara tetangga dan melihat negara di luar Kuba berperan. Seperti Amerika Serikat yang selalu ingin memberikan intervensi pada Kuba dan Amerika Latin lainnya.
Saat ini, ketika Amerika Serikat dan negara Amerika Latin, seperti Argentina, Chile, Brasil ramai-ramai memilih pemimpin golongan kanan (seperti AS sekarang dengan Trump-nya), salah satu hal menarik, masyarakat biasa mulai bisa berpikir apa yang harus mereka lakukan. “Kita harus berhenti menyamakan konteks zaman kita dengan konteks zaman Castro,” ujar Ayu.
Reporter dan Redaktur: Isma Swastiningrum