Home - Merencakan Kegagalan

Merencakan Kegagalan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Ajid Fuad Muzaky*

“Gagal dalam merencanakan berarti merancanakan kegagalan” (Benjamin Franklin)

Mukhadimah

Tulisan ini dimulai dari ramalan Marx tentang keruntuhan kapitalisme, over produksi kapitalisme ternyata menemukan fase baru bagi sejarah perkembangan kapitalisme. Ekspor modal maupun komoditi membawa pengaruh yang sangat besar pada negara yang dijadikan pasar dan tempat produksi. Hingga Lenin mengidentifikasi kasus ini dengan teori imperialismenya, dengan ciri ekspansi, eksplorasi, dan akumulasi.

Adanya perkembangan kapitalisme menjadi imperialisme tersebut membuat munculnya negara dunia ketiga, atau negara terpinggirkan, bisa juga disebut negara berkembang. Seperti halnya di Indonesia (dulu masih bernama Nusantara kemudian Hindia Belanda, baru kemudian Indonesia)  lewat kolonialisasi yang berakibat berubahnya hampir seluruh  aspek masyarakat Indonesia, ekonomi, politik, maupun kebudayaan.

Paska perang dunia kedua (Word War II), yang  ditandai dengan beralihnya kekuatan besar dunia dari Eropa ke Amerika dan Uni Soviet sebagai negara pemenang perang. Diteruskan dengan perang dinigin (Cold War) sampai awal tahun 90- an antara negara pemenang perang dunia dua blok besar yang berbeda idiologi, pertama paham liberalisme yang diusung Amerika dan negara sekutunya, melawan paham komunisme yang diusung oleh Uni Soviet dan negara satelitnya. Runtuhnya kekuatan Uni Soviet di Eropa Timur yang akirnya mengakhiri Perang Dingin menjadikan Ameriaka Serikat sebagai negara adikusa.

Namun, beberapa tahun terakir ini hegemoni Amerika mulai mengalami kemunduran, bisa juga dikatakan kebangkitan Asia. China sebagai kekuatan ekonomi baru, yang menjadi ancaman bagi dominasi Amerika bukan hanya dibidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik. Di tengah merosotnya dominasi Amerika, dunia terlihat kembali multipolar. Rusia dan China sering pula menghadapi langkah Amerika ditingkatan internasional, misal kasus nuklir Iran.

Fareed Zakaria menyebut gejala ini dengan ‘Dunia Pasca Amerika’ (The Post-American Word). Bangunan tertinggi di dunia kini terletak di Dubai. Orang terkaya sedunia berkewarganegaraan Meksiko, sedangkan perusahaan dagang terbesar di dunia bermarkas di Tiongkok. Industri film terbesar, baik dari jumlah film maupun tiket terjual, adalah Bollywood. Pesawat terbesar di dunia dirakit di Rusia dan Ukraina, penyulingan terbesar sedunia terletak di India, sedangkan pabrik-pabrik terbesar sejagat berdiri di Tiongkok.

Berbicara tentang Indonesia, sejak 71 tahun kemerdekannya namun nyatantanya belum banyak perubahan yang signifikan, cendrung masih pada kelanjutan kolonialisme atau bisa disebut post-kolonialisme, baik dari segi pemerintahan, ekonomi, politik maupun dalam bidang-bidang yang lain. Tidak banyak perubahan pasca kemerdekaan. Perubahan yang mencolok hanya pada rusaknya ekosistem alam, yang kian lama kian memprihatinkan. Berkaca pada tetangga kita, Singapura yang secara resmi memperoleh kedaulatan pada tahun 1965, tepatnya pada tanggal 9 Agustus 1965. Kini Singapura berkembang begitu pesat yang keberadanya dipertimbangkan di tataran dunia internasional, baik dari infrastruktur maupun perkembangan perekonomiannya. Melihat Singapura yang sebenarnya merupakan negara yang miskin akan sumber daya alam.

Cukup sampai disini mukhadimah tulisan ini.

Omong kosong pembangunan

Dampak dari pertarungan negara-negara besar tentunya memberi banyak dampak pada dunia berkembang atau dunia ketiga. Sehingga banyak muncul teori-teori pembangunan di dunia ketiga mulai dari teori modernisasi, teori ketergantungan, sampai teori sistem dunia yang dari kesemua sistem tersebut mencari jalan keluar dari masalah-masalah di dunia ketiga. Diskursus tentang teori pembangunan di dunia ketiga tersebut pernah diterapkan di Indonesia, tapi kenyatannya belum menemukan jalan keluar untuk menuju negara yang sejahtera dan negara maju.

Pertama, teori modernisasi identik dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, dan cenderung melupakan budaya yang membangun kehidupan masyarakat. Sebagai ciri khas masyarakat Indonesia dengan mengunggulkan nilai-nilai budaya dan gotong-royong. Pembangunan dalam bidang ekonomi saja ternyata muncul persolan baru, diantaranya ketimpangan sosial, ketidak merataan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam dan berbagi persoalan lain. Pada masa Orde Baru-nya Soeharto, pembangunan dengan model seperti ini pernah diterapkan misalnya, Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) 1-5.

Kedua, teori dipendensi atau ketergantungan, dalam artian menggantungkan pembangunan Indonesia oleh negara asing. Pemberian modal asing ini dijadikan solusi untuk membantu kemajuan Indonesia. Dalam kasus ini mulai marak modal asing dari zaman Soeharto sampai sekarang. Pembangunan ini ternyata tidak sesuai yang dibyangkan dan diinginkan, modal asing masuk kian deras di Indonesia yang menyebabkan Indonesia hanya sebagai pabrik sekaligus pasar bagi kapitalisme trans-nasional. Misalnya Freeport dan pertambangan lain di Indonesia, pembangunan-pembangunan di Indonesia bukan lagi untuk keperluan Indonesia sendiri, melainkan untuk melancarkan siklus modal asing.

Ketiga, teori sistem dunia. Dalam teori ini negara di dunia dibagi menjadi tiga golongan, negara sentral, semi pinggiran, dan negara pinggiran. Dalam teori ini mengansumsikan hubungan harmonis dalam sektor ekonomi antar tiap-tiap negara, yang memberi kesempatan bagi negara semi pinggiran dan negara pinggiran menuju negara sentral, yakni dengan memperluas pasar dan mempercanggih teknologi dan mampu mempersaingkan produknya baik secara kualitas maupun kuantitas. Sedangkan Indonesia di sini masuk dalam kategori negara pinggiran, bisa dibuktikan dengan barang produksi yang banyak impor, baik teknologi yang rumit maupun teknologi yang simple pembuatanya. Di sisi lain, kepentingan setiap negara tentunya berbeda, di tengah perhitungan untung rugi bagi tiap-tiap negara.

Mempertanyakan peran negara

Meminjam istilah Hegel tentang negara, Hegel mendefinisikan negara sebagai ide tentang ruh di dalam perwujudan lahir kehendak manusia dari kebebasannya. Negara adalah paham kesusilaan (moral) atau gambaran dan kenyataan akal, atau “Kerajaan Tuhan di dunia, dimana hakikat dan keadilan yang abadi dilaksanakan”. Bagi Hegel negara merupakan wadah bagi kehendak masyarakat yang subyektif, atau merupakan wakil kepentingan umum.

Melihat konsep negara menurut Hegel, tentunya negara seharusnya berperan lebih dalam kesejahteraan masyarakat, lewat pembangunan, pendidikan, maupun kebudayaan. Namun realitanya negara merupakan predator bagi sumber daya alam sendiri, negara menjadi panitia untuk kepentingan-kepentingan yang itu jauh dari kepentingan rakyat sendiri. Negara dijadikan alat oleh aktor-aktor kapitalis untuk kepentingan pribadi, tanpa memikirkan risiko setelahnya.

Melihat realita yang sedemikian carut-marutnya, maka terlalu banyak berharap pada negara merupakan sebuah kebodohan. Bukan hendak untuk melupakan negara, atau dalam Islam disebut bughot, tapi kiranya perlu untuk bergerak secara kolektif membangun bersama negara, menciptakan kesejaheraan dari dan bagi untuk rakyat. Maka tentunya yang paling penting dan terdekat adalah membangun kesadaran masal, untuk bersatu, secara kolektif membangun kesejahteraan bersama dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.  []

*Penulis mahasiswa  Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga. Saat ini aktif beramar ma’ruf-nahi munkar di LPM Arena dan KMPD.