Lpmarena.com, Himpunan Mahasiswa Geofisika Indonesia (HMGI) bekerja sama dengan Geophysics Study Club (GSC) menggelar seminar nasional dengan tema Mitigation of Natural Disaster. Seminar menghadirkan I Gusti Made Agung Nandaka selaku kepala Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) dan Agus Budi Santoso selaku kepala seksi merapi BPPTKG. Seminar dilaksanakan di Ruang Teatrikal Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga, Rabu (7/12).
Indonesia dihimpit tiga lempeng tektonik. Letak geografis ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan bencana dan marak terjadi bencana, khususnya bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi. Karenanya masyarakat dihimbau untuk siaga dalam menghadapi bahaya berserta risiko yang terjadi. Made membedakan pemakaian diksi dari bahaya dan risiko. Jika bahaya memiliki potensi untuk merusak, sedangkan risiko berpotensi merugikan. Risiko ditentukan oleh hazard, vulnerability, dan capacity. “Bencana muncul ketika bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan,” ucap Made.
Lebih lanjut, Made menjelaskan gunung api distribusinya tidak acak, tapi membentuk pola tertentu. Tipe gunung api ada tiga, dari tipe A, tipe B, dan tipe C. Ukuran dari erupsi vulkanik gunung berapi dinyatakan dengan Volcanic Explosivity Index (VEI). Ukurannya dari 1-8, semakin besar VEI, ledakannya semakin besar. “Potensi bahaya gunung api bergantung pada tingkat letusan, jenis produk letusan, dan sebaran produk letusan,” katanya.
Agus lebih menekankan pembicaraannya pada topik yang lebih khusus, mengenai Gunung Merapi di Yogyakarta. Letusan Gunung Merapi di tahun 2010 merupakan salah satu siklus letusan besar sekitar 100 tahunan. Letusan besar Merapi juga pernah terjadi pada tahun 1768, 1822, 1849, 1931, dan yang terakhir pada tahun 2010 lalu.
Makna status merapi sendiri ada empat, status paling bahaya ada pada status ‘awas’, lalu diikuti status ‘siaga’, ‘waspada’, dan ‘normal’. Tipe letusan Merapi juga unik, Merapi memiliki dua jenis letusan sekaligus, yaitu letusan efusif yang magmanya kental dan letusan eksplusif yang magmanya encer dan kaya kandungan gas. “Lebih ke kapasitas masyarakat. Masyarakat belum memahami letusan,” ujar Agus.
Pemantauan gunung berapi dilakukan dari bawah sampai atmosfer, lewat peta kawasan rawan bencana gunung berapi. Di pemantauan Gunung Merapi terdiri dari pemantauan baik secara visual, seismik, deformasi, dan curah hujan. Yang dilakukan meliputi kegiatan monitoring, pemetaan, sosialisasi, dan respon cepat. “Pemantauan Gunung Merapi dilakukan secara komprehensif. Gunung Merapi sampai saat ini merupakan gunung api dengan tingkat risiko yang tinggi. Perlu mendapat perhatian dan pengelolaan yang serius melibatkan semua pihak terkait,” ucap Agus.
Reporter dan Redaktur: Isma Swastiningrum