Oleh: Ibnu Arsib Ritonga*
“Pertanyaan timbul, mengapa pemimpin keagamaan dari kalangan Sunni tidak mampu melaksanakan suatu gerakan sekalipun mereka telah berbicara keras tentang reformasi dan perjuangan melawan kolonialisme dan eksploitasi? Mengapa situasi ini kalangan ortodoks Syi’ah telah memulai dan dengan berhasil memimpin revolusi-revolusi besar, tetapi jarang memusingkan diri untuk memikirkan penyakit-penyakit yang sedang ada, memberi pandangan tentang penyakit-penyakit itu, menyarankan tindakan-tindakan pengobatan dan memasuki suatu diskusi tentang falsafah politik Islam?.” (Muthada Muthahhari dalam Gerakan Islam Abad XX)
Ada dua pembahasan yang menarik dalam kedua pertanyaan tersebut. Pertama, tentang bagaimana gerakan Islam Sunni dan yang kedua, bagaimana gerakan Islam Syi’ah. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah dalam hal konteks falsafah politik Islam.
Kalau kita baca kembali karya Murthada Muthahhari, konteks pembahasan itu cenderung ke daerah Timur Tengah (bagian Arab), ya kita harus mengakui secara jujur pertentangan antara dua kelompok tersebut lebih keras, lebih nampak dan lebih dahulu terjadi di sana dibandingkan di luar daerah Timur Tengah, misalnya Asia Tenggara ini, terkhususnya umat Islam terbanyak di dunia─Indonesia.
Fokus tempat pembahasan pada tulisan kali ini adalah di negeri kita sendiri-Indonesia, yang umat Islamnya terbanyak di seluruh dunia, tapi hendak dikata hal itu semua hanya ada di dalam data-data dan terukir di kertas-kertas/surat identitas belaka. Bahasa sehari-hari bahkan masuk dalam judul film disebutkan “Islam KTP”. Pertanyaan untuk umat Islam Indonesia adalah lantas sudah se-Islam apakah Indonesia ini? Hanya minoritas yang menjalankan agama ini, itupun yang menjalankannnya masih terbagi-bagi, ada yang menjalankan dan menganggap Islam itu hanyalah menjalankan ubudiyah saja atau masalah ritual saja, sedangkan masalah muamalah, siyasah, dan sosial lainnya dilupakan. Maka terjadi kesalahan dalam meletakkan falsafah politik Islam.
Dalam tulisan ini, penulis menyatakan untuk mendukung Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Abdulrahman Kawakibi, yang ketiga-tiganya murid dan guru. Mereka adalah tokoh reformasi Islam dan meletakkan falsafah politik Islam setelah Islam mengalami kemunduruan, mereka dari kalangan Islam Sunni. Kalau kita bandingkan di Indonesia yang begitu banyak penganut Sunni, sungguh sangat susah mendapatkan reformator dari Sunni.
Terkait tentang falsafah politik Islam, apakah Islam ikut campur tangan dalam urusan negara, misalnya politik, sosial, ekonomi dan aspek lainnya atau tidak? Jawaban atas pertanyaan tersebut masih terjadi perdebatan antara tokoh-tokoh Sunni di Indonesia. Tokoh-tokoh atau ulama-ulama yang menyepakati Islam harus ikut berperan dalam kenegaraan maka mereka akan langsung dicap sebagai kelompok fundamentalisme, dan para tokoh-tokoh atau ulama-ulama yang tidak sepakat akan dicap juga sebagai kelompok yang mendukung konsep sekularisme. Hal ini realita di dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia dengan berbagai tokoh-tokoh yang muncul. Sehingga dari perdebatan tersebut, yang tidak juga mendapatkan hasil, maka muncullah kelompok ketiga dengan menawarkan konsep/ide pemikiran tentang “kebudayaan“. Untuk saat ini, kaum pemuda lebih banyak mengikuti aliran ketiga ini karena dianggap sebagai solusi pemersatu dan dinamis sesuai kemauan manusia.
Dari kedinamisan budaya itu, maka dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang banyak didominasi oleh budaya-budaya barat (westernisasi). Konsep asli dari kebudayaan Indonesia akan hilang menuju kebudayaan baru-westernisme, dengan slogan-slogannya “Kebebasan”, “Hak Asasi Manusia”, “Demi Keadilan”, dan slogan-slogan lainnya yang mendukung kampanye ideologinya. Slogan-slogan ini dikampanyekan secara terorganisir dan bertahap, dengan media sebagai alat bantu sudah dipersiapkan secara praktis dengan memanfaatkan kemajuan Informasi Teknologi. Dari sinilah kaum-kaum pemuda tumpuan bangsa dipengaruhi. Kemajuan Informasi Teknologi seperti adanya media-media sosial online (Facebook, line, BBM, WA, Twitter, dan lain-lainnya), media-media ini lebih banyak dikonsumsi oleh kaum muda (dari sejak SMP ─ Mahasiswa) daripada kaum-kaum tua. Kita dapat membayangkan bagaimana Bonus Demografis nanti di Indonesia jikalau pengaruh negatifnya tidak bisa dibendung.
Dari argumentasi di atas, penulis tidaklah mengatakan adanya kelompok dari Sunni yang terus bertentangan menjadi penyebab kemunduran atau menjadi masalah yang terjadi. Akan tetapi, dalam kenegaraan saat ini para ulama-ulama Sunni hanya sibuk mengurusi pesantren-pesantren yang didirikannya, mengasingkan diri (sulukh), ulama-ulama ada yang di bawah naungan pemerintah, dan ada ulama-ulama yang begitu keras mengkritik dan juga membicarakan tentang reformasi dari tangan-tangan kolonialisme dan eksploitasi. Akan tetapi, tidak ada yang kita lihat membuat suatu gerakan reformasi di Indonesia untuk merebut dan menjaga Sumber Daya Alam yang semakin lama semakin terkikis habis akibat tangan-tangan kolonialisme dan para kaum-kaum/negara-negara penghisap.
Ulama-ulama Sunni di Indonesia saat ini ada di bawah naungan Pemerintahan Indonesia. Penulis sedikit heran, apakah dalam falsafah ulil amri itu adalah pemerintah atau pemimpin Islam atau ulama? Mari kita katakan secara jujur, secara keorganisasian misalnya, kita pasti sangat mengenal yang namanya organisasi ulama Indonesia yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia), tentunya lembaga ini berada di bawah naungan Pemerintah karena yang melegalkan badan tersebut adalah negara. MUI (sedikit membahasanya), tidak terlihat kemanakah arah orientasinya. Kita berani katakan karena MUI telah banyak melegalkan produk-produk kapitalis dengan stempel “halal-nya”. MUI begitu sibuk mengeluarkan fatwa-fatwa (seolah-olah organisasi Tuhan yang diamanahkan) tentang pelarangan suatu organisasi yang dianggap menyesatkan (padahal ini hanya sebagian trik). Sebutulnya bukan itu permasalahannya, akan tetapi karena pemerintah ketakukan dengan gerakan organisasi tersebut.
Kita harus juga memberikan apresiasi betul kepada lembaga ini dengan mengeluarkan fatwa-fatwa berlandaskan Al-Quran dan Hadist beserta Ijma’ para Ulama. Yang kita herankan adalah MUI (ulama-ulama yang di dalam) jarang membahas secara kritis bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah apakah sesuai dengan dalil Al-Quran dan Hadist. Lihat Bali begitu bebasnya seks, perjudian dan minuman keras, dan juga akhir-akhir ini produksi minuman Bir diperbolehkan. Mana ulama Sunni di Indonesia saat ini? Dari sisi lain, yang terus meracuni pemuda sebagai generasi penerus bangsa, di mana pengawasan ulama Indonesia terkait adanya pengaruh-pengaruh seks melalui media-media sosial internet dan transaksi-transaksi haram lainnya?.
Kembali kita pada pembahasan kedua, terus di manakah gerakan falsafah politik Islam Syi’ah? Lagi-lagi kita bahas pertentangan antara Islam Sunni dan Islam Syi’ah di Indonesia yang ternyata bukan di Timur Tengah saja. Dalam pembahasan ini, kita tidak menyinggung pada bentrokan-bentrokan yang terjadi di Indonesia antara Sunni dan Syi’ah. Fokus pembahasan kedua adalah kita mulai dengan pertanyaan dimanakah Islam Syi’ah Indonesia saat ini? Jikalau kita input secara langsung dari orang Syi’ah atas pertanyaan tersebut, tentunya ada jawaban “gimana kita mau berjuang sedangkan kami dilarang, dihujat, dan dianggap sesat“, ini input jawaban secara menduga-duga.
Menurut penulis, jawaban seperti itu adalah jawaban orang Islam yang tidak beraliran Syi’ah, akan tetapi aliran lain. Perdebatan tentang syariah bukanlah fokus utama kita dalam pembahasan ini, tapi bagaimana falsafah politiknya Islam dalam suatu negara? Ya, harus kita akui ada ketakutan pemerintah pada Islam Syi’ah (yang tepatnya orang asing) sehingga kelompok ini dilarang, bahkan ide-ide secara lisan dan tulisan dimusnahkan. Dikatakanlah kelompok ini meresahkan (tahap awal sebelum keluar fatwa MUI) dan menyesatkan (keluarlah fatwa MUI). Kita merasa bingung dengan keadaan ini semua, kenapa sesama muslim yang bersaudara saling menghujat perkara ibadah ubudiyah, yang itu menjadi urusan Tuhan untuk menentukan pahalanya. Ini sengaja dipecahkan dan dijaga antar kedua kelompok ini supaya falsafah politik Islam di Indonesia atau bahkan dunia tidak bertemu.
Syi’ah di Indonesia hari ini kurang melakukan penguatan ideologi reformasi begitu juga dengan Sunni. Islam Syi’ah di Indonesia tidak berideologi Islam dan begitu juga Islam Sunni Indonesia. Orang-orang Syiah diisi oleh orang Sunni pada kelahirannya, sedikit yang dari awal aliran Syi’ah dan Sunni di Indonesia dipeluk oleh orang-orang Islam yang taklik buta akan pemahaman Islam, masih banyak yang mengikuti apa kata nenek moyang. Belum bisa membedakan mana ajaran Islam dan mana ajaran nenek moyang dan juga mana yang rasionalitas dan mana yang tidak rasional.
Kalau kita sejenak kembali kebelakang, sejarah sebelum Indonesia merdeka, Syi’ah dan Sunni sudah ada di Indonesia walaupun masih sedikit. Mereka dahulu tidak pernah bentrok dan saling menghujat, karena mereka menyadari siapa musuh Islam di Indonesia yang sebenarnya pada masa itu. Meraka tahu musuh mereka adalah kaum-kaum kolonial dan para pengeksploitasi sumber daya alam Indonesia. Begitu juga sekarang, musuh yang nyata itu adalah bangasa-bangsa yang sampai hari ini terus mengikis habis sumber daya alam Indonesia dan merusak secara perlahan sumber daya manusianya dengan budaya-budaya yang mereka ciptakan. Amerika Serikat dan China tentutnya menjadi pemimpin besar kolonialis dan pengeksploitasi di Indonesia.
Kedua kekuatan Islam (Islam Sunni dan Islam Syi’ah) di Indonesia apabila disatukan dalam falsafah politiknya akan menutupi kelemahan masing-masing. Sunni yang begitu patuh pada pemerintah akan disadarkan oleh Islam Syi’ah bahwa ulama itu harus patuh pada Allah SWT. Syi’ah apabila melakukan kesalahan, tidak memikirkan apa yang terjadi pada dirinya akan disadarkan oleh Islam Sunni. Dalam hal konteks falsafat politik Islam.
Pemahaman yang berbeda terkait Islam sudah diketahui Nabi Muhammad SAW. Sebelum wafatnya, dan beliau juga mengetahui akan terbagi golongan-golongan umat Islam di dunia. Akan tetapi, hanya ada satu golongan yang selamat, yaitu golongan yang berpegang teguh dan mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak disebutkan bahwa, Sunni, Syi’ah, Muhammadiyah, NU, Al-Wasliyah, HMI, PMII, IMM, KAMMI, HTI, dan kelompok lainnya yang selamat. Namun, yang berpegang dan mengikuti Al-Quran dan As-Sunnahlah yang selamat dunia dan akhirat. Hak demikian kiranya menjadi konsep persatuan antar semua kelompok Islam di Indonesia dan menjadi satu golongan yang memegang tegus kedua sumber tadi. Melihat Indonesia yang semakin digrogoti kaum-kaum kapitalis, kaum-kaum mustakbirin, kaum-kaum satanis, dan kaum-kaum yang lain yang keluar dari dua sumber tadi.
Maka dari pembahasan di atas, Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak boleh dilepaskan dari urusan dunia dan akhirat, Islam harus ada dikedua-duanya. Dalam hal falsafah politik Islam, semua harus dimasuki untuk memperbaiki yang telah rusak. Islam Sunni dan Islam Syi’ah di Indonesia harus bersatu pada dalam menegakkan falsafah politik Islam tersebut. Melepaskan dari kaum-kaum pemecah umat Islam, negara harus disesuaikan dengan nilai-nilai agama. Semua agama akan menerima ini tanpa ego, Islam dan agama yang lain pasti bisa bersatu dalam hal konteks melepaskan Indonesia dari pengaruh asing dan aseng (sering disebut bagi orang China di Indonesia). Ketika membaca ulang sejarah Rasulullah SAW yang memimpin Madinah dengan Konstitusi Madinah atau Piagam Madinahnya. Di mana pada masa itu sungguh banyak suku dan agama. Indonesia, menurut saya adalah Madinah kedua tanpa Rasulullah kedua. Akan tetapi, bisa dibentuk Piagaman Madinah kedua versi Indonesia berasaskan nilai-nilai Islam.[]
*Penulis adalah mahasiswa UISU Medan dan pengelola Good Cadre Group.
Ilustrasi: www.fadhilza.com