Oleh: Ilham M Rusdi*
Sejak pecahnya rezim Orde Baru yang mengekang bagi beberapa pegiat wacana khususnya aktifis mahasiswa, begitu membawa angin segar dalam pergulatan pemikiran yang ada. Salah banyaknya adalah wacana marxisme, leninisme, komunisme, dan wacana yang terkesan kiri lainnya. Keluarnya wacana tersebut dari struktural yang mengekang sangat memberikan ruang bagi wacana kekirian untuk eksis di Indonesia.
Tentunya, ini sebuah perkembangan di mana para pemikir yang doyan dengan wacana tersebut sangat menikmati masa kebebasannya dalam berekspresi. Buku, film, hingga karya sastra seperti puisi dan cerpen yang berbau kiri kembali berani ditampilkan di ruang publik. Hal ini mungkin sangat berbeda jauh dari konteks rezim yang dulu, di mana banyak literatur-literatur kiri yang mesti diberanguskan karena tidak sesuai dengan kepentingan pemerintahan yang otoriter dan agak bersifat militerianisme.
Kita tak akan lupa begitu saja, bagaimana buku-buku Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, para aktifis dan sastrawan lainnya dibakar dan diberanguskan dari ruang publik. Kebijakan yang merupakan proses mematikan intelektualitas dalam berdialektika. Hal seperti itu hampir saja terulang pada bulan Mei 2016 lalu. Pemberangusan buku kiri dilakukan atas dugaan bangkitnya kembali komunisme. Yah, pobhia akan komunisme memang sebuah kewajaran bagi masyarakat yang telah merasakan konflik batin yang pernah terjadi. Pembantaian 1965 itulah yang menjadi sampel dan indikasinya, sehingga semua literatur-literatur kiri sempat terancam ekosistemnya.
Melalui ancaman tersebutlah, para seniman dan pegiat sastra mengutuk pemberangusan buku-buku kiri. Spirit para seniman dan sastrawan bisa dikira-kira berangkat dari kegilaan yang membabi buta. Kamar kos mahasiswa dimasuki, buku-bukunya disita dan dibakar. Apakah ini tidak terlalu sadis bagi sebuah buku yang tidak bersalah? Serupa yang dikatakan oleh Henriech Heine bahwa mereka yang membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia.
Itulah yang terjadi dan kita hanya bisa memaafkan, tapi tidak untuk melupakannya. Lagipula kebijakan itu sudah dicabut. Wacana marxisme dan kawannya kembali lagi mementaskan eksistensinya. Para pemikir, pegiat wacana kekirian, dan sastrawan kembali menorehkan tintanya. Mengulas kembali kegelisahan mereka sebagai kritik berdasarkan pedoman kekirian.
Ada yang menarik saat kehadiran dan eksisnya perkembangan wacana kiri yang kian pesat saat ini, terutama wacana marxisme yang paling dominan. Para penggiatnya terkadang kesulitan dalam mengaplikasikan praksisnya dalam konteks Indonesia. Hampir semuanya berujung pada hal yang teroritis atau stagnan pada wacana semata. Lantas bagaimana dengan praksis yang mesti diterapkan? Mungkin kita telah berguling-guling dan jungkir balik di atas kasur, menelisisk jalan keluar peristiwa yang tadinya sekadar wacana dan kemudian mesti ada hasilnya (praksisnya).
Entah apa yang menjadi kegelisahan di sana. Apakah karena konteks teori yang dikemukakan Marx tidak sesuai dengan realitas di Indonesia? Memang ini salah satu faktor yang mempengaruhi penerapan wacana marxisme, misalnya. Terletak pada konteks teori yang berbeda di mana teori lahir dari reaksi atas realitas sosial. Ambil saja contoh dari salah satu kritik teori Karl Marx mengenai teori pertumbuhan ekonomi klasik.
Teori pertumbuhan ekonomi klasik tersebut lahir atas reaksi terhadap proses pertumbuhan ekonomi klasik berdasarkan kapitalisme sebagaimana yang dicetuskan oleh Adam Smith. Tentunya bagi Marx, penerapan teori ini sangat menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin hari semakin melebar di Inggris. Peranan kaum kapitalis malah ditekankan dalam memaksimumkan pengunaan modal melalui operasi perusahaan. Bagaimana tidak hal tersebut membuka jalan kapitalis semakin kaya dan kaum buruh semakin miskin.
Mungkin seperti itulah sedikit gambarannya bagaimana teori lahir atas reaksi terhadap konteks realitasnya. Jika teori Marx tersebut lahir pada konteks kegelisahan Negara Inggris atas kesenjangan ekonominya, lantas relevankah teori tersebut dipraktikkan di Indonesia? Mungkin belum tentu. Tidak bisa dipastikan bahwa Indonesia memiliki kegelisahan yang sama. Kita tak boleh mengabaikan bagaimana wacana yang kita serap hanya sekadar sebagai informasi atau pengetahuan. Akan tetapi, bagi seorang intelektual sejati kecenderungannya tidak puas apabila pengetahuan tidak dipraktikkan.
Lalu bagaimana dengan teori atau wacana itu, yang kemudian membludak dan menumpuk begitu saja dalam kepala para pegiat kiri? Apakah hanya membiarkan wacana itu berserakan dan mengisi memori kosong dalam kepala yang pada akhirnya menjadi file sampah (chace)? Tentu hal itu akan menjadi suatu kegalauan bagi penganutnya. Saya belum menemukan satupun aplikasi yang mampu menghapusnya, walaupun telah berkeliling mencari di google play store.
Jika memang butuh praksis, bagaimana wacana dan teori tersebut mesti dipraktikkan dalam konteks yang berbeda? Yah, memang kecenderungan ‘sebagian’ pengagum kiri adalah terlalu larut dalam hal yang teoritis. Teori yang digeluti kerap kali dipaksakan untuk membaca realitas sosial. Pada akhirnya, lebih mirip jika teori memperbudak dan mengontrol para penganutnya. Kebebasan dalam berdialektika akhirnya terfokus pada satu paradigma saja.
Seberapa banyakkah pengagum wacana dan teori yang menjatuhkan suatu realitas? Bagi saya, hal ini memang sudah ‘sedikit banyak’ terjadi bagi para penganutnya. Mereka yang terlalu fanatik dan teoritis sangat memaksakan paradigmanya masuk ke ruang serta konteks berbeda. Pengalaman yang kerap terjadi seperti dalam sebuah ruang diskusi, di mana para peserta diskusi dipaksakan dan ditarik masuk ke satu paradigma tertentu saja (misalnya wacana kiri) melalui alur diskusi yang disiasati oleh retorika. Yah, saya kurang tahu apakah itu lebih mirip dengan doktrinisasi atau sentralisasi wacana.
Tidak hanya pada ruang diskusi yang sempit. Teori dan wacana kadang mampu menakhlukkan suatu realitas. Lagi-lagi kita telisik teori Marx yang banyak membahas tentang penindasan, eksploitasi dan perbedadaan kelas kaum proletar (mayoritas buruh dan petani), yang mana teori ini lahir dari reaksi atas realitas yang berbeda. Dampaknya bagi pengagum fanatik teoritis adalah praksis teori disama ratakan tanpa melihat konteks yang berbeda. Anggaplah petani di Indonesia, bisakah kita mengklaim bahwa petani di negeri kita tertindas? Jika iya, mengapa makin banyak saja petani yang makmur dengan mobil, rumah, dan hak tanahnya yang berhamburan? Lantas petani bagaimana yang mesti dijadikan representasi ketertindasan?
Sekali lagi, mungkin karena terlalu larut dalam hal teoritis, sehingga semua petani dan buruh tertindas dalam kacamata yang sama. Entahlah bagi pengagum kiri lainnya, mungkin mestinya kita menjadi pengagum teori sebagai pengetahuan saja. Tidak usah terlalu ambisi dan menggebu-gebu. Toh, belum tentu teori itu juga mutlak benar.
Saya juga bingung dan curiga, bilamana wacana kekirian hanyalah sebuah fashion bagi para ikonis, seperti misalnya mahasiswa. Wacana kiri sebagai ajang yang bergengsi dan patut untuk dipertaruhkan. Saya tak pernah membayangkan, bila saja wacana kiri hanyalah kedok mahasiswa yang galau. Agar terlihat sebagai mahasiswa keren, mestinya melakukan kritik terhadap birokrasi. Demonstrasi dan hal yang serupa sebagai praktik penelitian lapangan yang lebih asyik daripada praktik di laboratorium. Atau pelarian bagi mahasiswa gondrong dan maco dari materi menghitung bilangan? Tau sajalah kecenderungan mahasiswa gondrong untuk mempertahankan reputasinya. Kalau bukan filsuf, sastrawan, dan paling tidak kajiannya agak keras. Bagi saya, hal ini sifatnya masih kemungkinan.
Lantas masihkah wacana dan teori kekirian (khususnya marxisme, leninisme dan komunisme) untuk dipertahankan relevansinya dalam konteks Indonesia? Jawabannya adalah keyakinan penganutnya masing-masing. Bisa saja mereka yang tetap mempertahankan kekiriannya masih menganggap teori dari para filsuf teruslah relevan untuk diwacanakan bahkan dipraktikkan, meski sekalipun konteks yang berbeda (tempat, waktu, dan realitas) dan selalu siap menerima konsekuensinya.
Sedang yang merasa wacana kiri tidak relevan lagi, bisa jadi akan meneruskan estafet pemeberangusan literatur-literatur kiri (buku, film, dan karya sastra) seperti yang pernah terjadi dan mungkin akan terulang lagi, jika meraka sudah sangat terusik dengan kata-kata yang identik dengan ‘pemberontakan’.
Yah, kurang lebih begitulah perkiraan saya tentang wacana teoritis (dalam hal ini, kiri) yang kadang mengontrol realitas dalam konteks yang berbeda, khususnya bagi sebagian pegiat wacana kiri di Indonesia. Sangat merisaukan dan menggalaukan saya dalam menulisnya.[]
*Penulis sangatlah gemar dalam ‘mengira-ngira’ dan ‘memungkin-mungkin’. Selain aktif di Persma Arena, bergelut juga sebagai pegiat Komunitas Literasi Massenrempulu (kulimaspul.com) di Enrekang, Sulawesi-Selatan.
Ilustrasi: indoprogress.com