Home KANCAH Mahasiwa dan Agen yang Mulia Itu!

Mahasiwa dan Agen yang Mulia Itu!

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Saifa Ebidillah*

Pada suatu malam yang bagi saya sangat luar biasa. Ada seorang teman yang dengan lagak ponggah mencoba mengkritisi soal agent dan mahasiswa. Ia dengan semangat yang menggebu-gebu mengeluarkan banyak argumentasi, lengkap dengan referensinya. Tetapi setalah lama saya mengamati, ternyata debat itu adalah debat kusir. Bicaranya ngalor-ngidul dan sarobhenan (baca; Madura), argumentasinya tidak logis, tetapi dilogis-logiskan. Cuma mengetahui judul buku saja, kemudian dijadikan referensi. Tentu banyak dong refensinya kalau begitu! Sesuai dengan pribahasa Indonesia “air beriak tanda tak dalam”.

Marilah kita buka dengan kebijaksanaan dan kearifan. Dalam The Oxford English Dictionary, agent diartikan sebagai “orang yang menggunakan kuasa atau menghasilkan dampak”. Jadi berbeda dengan pemaknaan “aktor” dalam film-film. Aktor dalam dunia simulasi akan berperan saat sang empunya (sutradara) memainkannya. Ibaratnya aktor Opera Van Java (OVJ) yang disempitkan kuasa individualnya menjadi sosok wayang, sehingga Parto dengan enak berkata wayang-wayang OVJ.

Lantas, Giddens sebenarnya memberikan makna agent seperti apa? Begini kira-kira, kita diajak oleh Giddens untuk bertamasya mengelilingi realitas sosial kemudian menyelam sembari mencari kedalaman makna tentang agent. Agent kata Giddens selamanya bertalian dengan yang namanya struktur. Sungguh terasa naif sekali, ketika kita hanya memaknai agent sebatas penyalur (distributor) an sich. Tentu kalau merujuk pada pemaknaan di atas, agent mempunyai eksistensi yang kuat dan kokoh, berbeda dengan agent sebagai penyalur. Yang namanya penyalur itu sebenarnya adalah orang yang tunduk pada kuasa orang lain, ia tak punya eksistensi kuat, ia pinggiran bukan pusat.

Pada dimensi ini saya teringat perkataan kaum eksistensialis Jean Paul Sartre “orang lain adalah neraka dalam hidupku”. Sebuah seruan untuk merayakan kemampuan diri kita sendiri, seperti itulah sang agent berorkestrasi mendendangkan kebebasan subjektifnya. Tentu kita bebas dari dan bebas untuk, akselerasi kebebasan akan terhenti saat hak-hak orang lain berbicara. Agent ternyata bukanlah sesuatu yang terkurung dalam garis komando sang lain, ia punya komando sendiri, langkah sendiri meski tanpa harus diperintah.

Sehingga tak ayal, Giddens menegaskan bahwa dalam diri manusia ada dua bentuk kekuasaan yang melekat yaitu; kekuasaan hegemonik (Foucault) dan kekuasaan transformatif. Inilah yang dijadikan landasan teoritis dari bangunan teori strukturasinya Giddens. Dalam perkembangan selanjutnya agent kemudian dibumbui diksi dan kata lain untuk merepresentasikan tindakan dan kekuasaan agent dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Sebagai tamsil awal, rezim otoriter yang telah menancapkan kuku kekusaannya selama rentang waktu 32 tahun ahirnya tercerabut oleh aksi kolosal mahasiswa yang meletup secara sporadis di Indonesia. Dan angin perubahan, berupa pemerintahan yang demokratis terwujud juga, asa telah menjadi realitas. Atau kita menepi sebentar ke Timur Tengah, di berbagai belahan jazirah Arabiah tersebut selama kurun waktu tiga tahun terahir meledak rentetan revolusi yang dinamai Arab Spiring, tak jauh beda dengan lima belas tahun silam di Indonesia, penguasa-penguasa otoriter berguguran lengser dari kursi kuasanya mulai dari Ben Ali, Moammar Khadafi, dan Husni Mubarok. Maka dari itu, mahasiswa Indonesia yang meluluhlantakkan bangunan otoriter Soeharto atau masyarakat Mesir, Libiya, Tunisia yang menghancurkan hegemoni rezim-rezimnya kita menyebut sebagai Agent of Change. Tentunya, hembusan angin perubahan adalah hal ihwal yang semestinya dijadikan titik pijar dari setiap langkah mahasiswa masa kini. Tetapi langkah mahasiswa belakangan sangat ironis, terjungkal dari pijakan awalnya, dunia pragmatis menjadi orientasi bukan instrumen.

Ya, kita mungkin akan bersepakat bahwa mahasiswa harus berada di garda depan (event propost) dalam mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah. Mahasiswa harus mengembalikan ruhnya yang sekian lama beterbangan tak tentu arah. Setelah kita kehilangan Soe Hog Gie, Ahmad Wahib, Nur Khalis Madjid, gerak langkah mahasiswa semakin senyap dan mengawang-ngawang. Mereka yang telah mendahului kita layak kita sebut agent of sosial control dan agent of change. Tatapi sungguh kasihan, mereka hanya dijadikan sosok romantik, yang senantiasa dikenal tetapi tidak diteladani dan tidak diteruskan cita-cita luhurnya.

Gerakan Mahasiswa Belakangan

Melihat realitas gerakan mahasiswa saat ini, kita akan berjumpa dengan pusaran hedonisme. Mahasiswa tidak memiliki visi panjang, mereka tercebur dalam kubangan kesenangan. Sungguh sangat korelatif gambaran Boudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983), bahwa mahasiswa cendrung bersifat fatalis. Mereka tunduk di bawah bayang-bayang kapitalisme dan hegemoni orang lain.

Lantas dimanakah kemuliaan agent itu, jika labirin gelap yang ditempuhnya. Apakah kita sebagai mahasiswa hanya bisa melangkah layaknya aktor dalam filem yang begitu fatalis dan sepenuhnya tunduk pada kuasa sutradara? Padahal, tanpa kita sadari, seluruh dimensi kehidupan kita telah tersusupi oleh berbagai kepentingan.

Marilah kita telanjangi beberapa kondisi paradoksal mahasiswa yang sok-sokan mengaku sebagai agent of change dan agent of social control. Pertama kita mulai dari hal yang paling remeh-temeh, soal gaya hidup di pergerakan (organisasi ekstra kampus). Mungkin bagi kita budaya “ngopi” sudah tidak asing lagi, saya apresiatif saat budaya semacam ini dijadikan medium untuk mengasah ketajam pola pikir dalam melihat realitas tetapi dalam kenyataannya budaya “ngopi” malah dijadikan wahana untuk main-main, entah itu main domino, poker atau hanya sekadar untuk ngerumpi.

Kedua kita beranjak pada hal yang lebih mengiris-ngiris nurani kita. Soal aksi demonstrasi di jalanan, disalah satu sisi kita akan mengapresiasi juga dan pada bagian sisi yang lain kita akan berjumpa dengan hal-hal negatif dari tindakan ini. Sungguh naif, ketika demonstrasi tidak dibarengi dengan visi luhur dari agent yang menggencarkannya. Sebagai gambaran, politisi yang duduk di Senayan seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng dkk mereka adalah mantan aktivis 98 yang menggulingkan Soeharto tetapi apa boleh buat mereka tercebur dalam dunia opurtunis yakni korupsi. Atau bahkan yang lebih miris, saat aktivis yang berdemonstrasi tidak memiliki kapasitas keilmuan. Mereka hanya bisa berkoar-koar yang suaranya hanya bisa didengar oleh massa aksi, tidak oleh publik.

Itulah kelemahan dari gerakan mahasiswa masa kini. Buru-buru ingin mengaplikasikan gerakan proletariatnya Karl Marx namun mereka tidak paham substansi yang terkandung dalam pemikirannya Marx sendiri. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Wahid Hasyim, dan Soe Hoek Gie adalah nama yang sering disebut saat mahasiswa berorasi, namun sekali lagi mereka hanya menjadi deretan nama yang terpajang pada etalase retorika saja.

Apatis

Setelah perjalanan panjang menapaki jejak-jejak hidup pergerakan mahasiswa, saya agak apatis, terlebih saat pergerakan dijadikan Kuda Troya (tunggangan) romantisme. Nyawa pergerakan akan lumpuh dan kalah sebelum berperang, dan mahasiswa sebagai agent tak lagi mampu keluar dari perangkap ini. Iya. karena romantisme adalah ekstasi, dapat mendikte kehidupan kita meski sebenarnya tidak sesuai dengan jalur keinginan.

Setelah gambaran panjang lebar hasil dari pertautan reflektif tentang pergerakan mahasiswa. Kita disuguhi oleh sesuatu yang tak seharusnya bersemayam dalam diri mahasiswa secara keseluruhan. Jiwa agent itu kini kering-kerontang, dan kemulian ada sebatas pada dunia ilusi.

Terlebih saat kunang-kunang rasionalitas menyemburat dari diktum antroposentrismenya Descartes “cogito ergo sum”, yang telah membentuk agent di zaman modern begitu rakus dan hipokrit. Kearifan yang telah disemai sejak Socrates mulai pupus dan layu, satu persatu dari sekian kearifan itu terhempas ke dataran kosong. Agent-pun mendestruksi kearifan purba yang sebenarnya menyimpan berjuta makna dan hikmah.

Mahasiwa jangan ‘sok’ mengaku sebagai Agent of Change, kalau mereka masih tidak bisa terlepas dari segenap problematika yang mendekapnya. Kita tidak perlu bingung-bingung akan kehilangan identitas agent itu, karena selamanya mahasiswa tetap sebagai agentt, namun tidak sebagai agent of change. Mungkin akan mewujud sebagai Agent of Corruption, Agent of Hedonism. Nau’udzubillah.[]

*Lahir di Romben Rana 12 Januari 1993. Masih tercatat sebagai Mahasiswa Perbandingan Agama, UIN Sunan Kalijaga, dan aktif di LSKY (Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta). Tulisan pernah dimuat dalam antologi Mahasiswa dan Politik Praktis yang diterbitkan oleh LPM Arena pada 2014.