Oleh: Muhammad Faksi F.*
“Kita sedang membangun sejarah, Yu. Dan membangun sejarah tak pernah sebentar. Kita dikalahkan berkali-kali lipat sampai kita menang. Kalaupun kita dikalahkan terus, sejarah akan mencatat bahwa kita sudah melawan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Itu martabat”. #RembangTetapMelawan
=Buat Good Boy Ganjar Pranowo=
Saya menulis. menikmati, merasakan akan jemari tangan yang terus menari di atas mesin ketik yang saya miliki. Tari dari jemari tak henti, layaknya tarian tangan seorang perempuan bermuka paras, dengan wajah dihias, yang ditutup rapat penuh syariat (hijab), pada orgen yang ia mainkan. Alunan musik-nya membuka kalimat memikat, untuk selalu diingat-ingat bahwa, “Tahun 2000, tahun harapan yang penuh tantangan dan mengemaskan.” Begitulah sebuah pertemuan singkat saya, pada lagu kasidah, Nasida Ria yang legendaris itu.
Tahun 70-an pasnya, ia dilahirkan. Kondisi politik yang mencengkeram, kebijakan politik pembangunan yang banyak memakan korban. Anti kemanusiaan sala satunya. Dengan pembantaian serta legitimasi anti komunisme, yang menyebabkan ribuan nyawa melayang, hingga membuat setiap parit yang dialiri air jernih dari Sungai Brantas Kediri, menjadi penuh darah, penuh luka, dan trauma. menyebabkan petani menjauh dari tanahnya, yang sekaligus identitas kebudayaan yang menjadi kebanggaan, lenyap seketika. Diganti dengan investasi pembangunan dengan modal gaya hidup yang lebih modernis .
Saya hanya bisa berucap pada Nasida Ria, menajubkan! Tahun 70-an seorang perempuan dengan biola digenggam, dengan lirik perjuangan, sungguh idaman. Tapi kenapa Tuhan lupa tanggung jawab, tidak menghadirkan banyak perempuan seperti itu lagi ke muka bumi ini. Yang lahir sebagai upaya kritik atas masifnya pembangunan yang merampas hak-hak kemanusian? Berikanlah Tuhan sekali lagi surga di telapak kakinya, damai sejahtera kami bisa merasakannya.
Wijaya Herlambang yang tak menganggap dirinya Good Boy dalam sebuah buku Kekerasan Kebudayaan Pasca 65 memberikan penjelasan yang agak lugas, bahwa produk-produk budaya tidak hanya untuk menanamkan ideologi anti-komunis, yang melegitimasi kekerasan 65 oleh Orda Baru, tapi oleh agen-agen kebudayaannya. Yang memberi kontribusi esensial bagi pembentukan ideologi anti-komunis Indonesia. Mungkin begitu Wijaya memandang, kenapa bidadari itu tak lagi turun bersama pelangi di setiap musim belakangan ini.
Kembali pada Nasida Ria, yang divokali oleh Assabab, yang dipimpin oleh M Zain ini, seharusnya menjadi tamparan yang keras bagi pemilik kota, di mana Nasida Ria dilahirkan, yaitu Semarang. Agar supaya tidak hanya menghabiskan waktunya mendendangkan musik kesukaanya, Bob Marley “No Woman No Cry”.
Pak ganjar, menjadi lelaki tangguh seperti Bung Bob, jelas keperpihakannya di depan mereka para pahlawan yang berjalan menuju halaman kantor gebenur Semarang. Good boy itu tidak boleh sombong, merasa tahu segalanya tanpa harus melibatkan publik dalam semua kebijakan. Lihatlah “nuraninya” yang penuh dengan ketulusan, pada apa yang ia perjuangkanya, seperti tergambar dalam Nasida ria, dengan lirik syair ketiga. “Penduduk makin banyak, sawah ladang sempit, mencari nafkah makin sulit…”. Itu terjadi di negeri yang sekarang tuan pimipin.
Apakah Good Boy tidak dengar, riuh detak kakinya sepanjang 3,7 kilometer menuju kantor Gubenur Jawa tengah mengetarkan lauh mahfudz yang membuat para malaikat gemetar. Walaupun tak terasa kakinya bengkak penuh darah. Bagaimana mungkin Good Boy, seperti bapak bisa berunding sama maling dalam rumah sendiri, seperti yang dikatan tuan Tan Malaka. Itu Naif
Saya saja harus iri, walaupun dalam logika keseharian dianggap kiri, dunia gelab tanpa Tuhan, tapi nurani bicara lain. Selain di wilayah syar’i pada semangat perlawanannya yang sangat gigih nan tangguh, serta kalimat ucapnya yang memaksa para filsuf dan intelektual harus aksi secara pasti untuk menyikapi persoalan bumi yang tak lagi lestari.
Namun kenapa Anda begitu lemah dan pengecut, secara diam-diam Anda mengeluarkan surat keputusan No 660.1/30 Tahun 2016. Tanpa harus mempertimbangkan keseimbangan alam, serta kehidupan anak cucu kelak. Di situasi nalar kita masih memperdebatan terkait “Good Boy” bukan wacana masa depan hidup di planet lain. Oleh sebab itu, mari setidaknya kita dendangkan musik Nasida Ria, dengan penuh ria, kemenangan ditangan rakyat, dan Good Boy bersamanya. Sebab Good Boy orang baik, bukan orang jahat. Bukan dengan upaya: “Sawah ditanami gedung dan gudang, hutan ditebang menjadi pemukiman, langit suram udara panas akibat pencemaran….” (Lirik Nasida Ria).[]
*Penulis aktif di Lembaga Hati seorang perempuan yang bernama Maya. Sebab sudah tidak lagi percaya pada lembaga pemerintah yang lepas tanggung jawab pada rakyatnya.
Sumber foto: www.carilaguin.com