Home - Ode Duka Buruh Bangunan FEBI

Ode Duka Buruh Bangunan FEBI

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com, Bagi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, tentunya sudah mengetahui proyek pembangunan gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) yang terletak di bagian timur kampus. Pembangunan gedung ini dimulai sejak bulan Agustus 2016 dan menggunakan banyak pekerja yang datang dari berbagai daerah. Salah satunya Siswoyo. Pria yang kerap dipanggil Pak Asis ini telah menggeluti dunia pekerjaan sebagai buruh bangunan sejak tahun 1988. Tidak hanya di bagian pulau Jawa, namun hampir seluruh pulau yang ada di Indonesia pernah dipijak hanya sebagai buruh bangunan. Berbagai macam model bangunan yang pernah ia kerjakan. Mulai dari mall, apartemen, hotel, hingga gedung-gedung yang bisa membahayakan nyawa.

Pria asal Purwodadi ini memiliki enam orang anak dan seorang istri yang mengidap penyakit lemah jantung. Baginya, pekerjaan ini adalah satu-satunya jalan untuk menafkahi keluarganya. Sebab jika mengandalkan pertanian tidak akan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Upah yang diperolah dari pekerjaan sebagai buruh, lumayan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kurang lebih sekitar Rp 1.300.000/dua minggu. Mungkin bagi pekerja kantoran  yang hampir tidak mengeluarkan keringat itu adalah angka yang cukup memuaskan. Namun bagi Pak Asis, itu bukanlah upah yang seberapa jika dilihat dari pekerjaannya yang bisa membahayakan nyawa. Meskipun dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya upah itu menurutnya sudah bisa menafkahi keluarganya, tapi ia terkadang harus terlilit hutang apabila ada keperluan mendadak dari anak-anaknya ataupun penyakit istrinya kembali kambuh. Tidak ada pilihan lain selain mengutang. Belum lagi jika upah yang harus diterimanya mengalami keterlambatan, bahkan sampai pernah mandornya membawa kabur upah para pekerja. “Saya sering tidak digaji, Mas. Kalau mandornya tidak bisa bayar, terus kabur, mau dicari kemana?” ucap pria yang berusi 47 tahun itu saat diwawancara ARENA, Selasa (13/12).

Sebagai seorang pekerja keras, Asis tidak menyerah dengan kehidupan yang dijalaninya, meskipun harus bekerja di luar pulau Jawa yang tentunya sangat jauh dari keluarga. Setiap ada proyek dari luar, dia harus berpisah jarak dari keluarganya selama tiga bulan masa kontrak. Memang biaya transportasi sudah ditanggung oleh perusahaan, namun itu hanya berlaku di awal dan di akhir kontrak. Jika ingin pulang di pertengahan masa kontrak, tentu harus menggunakan biaya sendiri dan itu senilai dengan upah kerja selama dua pekan. “Saya pernah terpaksa pulang waktu istri saya masuk rumah sakit, Mas. Mau tidak mau ongkos pulang pakai biaya sendiri dan kalau kembali lagi pasti pakai biaya sendiri,” keluh Asis. Di samping itu juga, Asis sangat jarang berada di rumah, sehingga anak-anaknya kurang banyak mendapat kasih sayang darinya.

Sejak 27 tahun bekerja, dua tahun terakhir ini Asis mengalami krisis proyek dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah lebih condong ke pembangunan jalanan dan rumah sakit, sehingga beberapa pekerja juga terpaksa menganggur. “Dua tahun terakhir ini sepi. Dulu banyak tawaran sampai ada yang datang ke rumah, bahkan sampai ada yang nitip duit, Mas. Tapi pembangunan sekarang dialihkan ke jalan dan rumah sakit,” kata Asis.

Selain pekerjaan yang dijalani Asis ini berbahaya tentu juga mendapatkan asuransi dari perusahaan. Ia mengatakan, “saya kurang tahu, tapi waktu keponakan saya yang buruh juga meninggal, keluarganya dapat asuransi sebesar Rp. 97.000.000.” Mungkin angka itu terlihat menggiyurkan, tapi hanya bisa didapat oleh keluarganya  saat pekerja mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kematian. “Lebih baik tetap hidup daripada uang sebesar itu, Mas. Kan kalau hidup bisa dapat lebih dari itu. Kasihan anak-anak kalau harus kehilangan bapaknya,” tambahnya. Syukurlah, Asis selama menggeluti pekerjaannya tidak pernah mengalami kecelakaan parah hingga patah tulang. Namun ribuan paku telah menusuk kedua kakinya selama lebih dari dua dekade.

Hiburan bagi para pekerja, khususnya Asis, hanyalah secangkir kopi dan rokok. Setiap kepulan asap yang dihembuskannya hanya sekedar melupakan masalah dan lelah. Alunan dangdut yang biasanya tersedia di warung para pekerja juga sekedar melupakan suara-suara dera kehidupan. Tak ada waktu untuk memasak, bahkan mencuci pun hanya seperlunya. Meskipun Asis dan rekan-rekannya makan di warung yang sudah disediakan, tapi semua itu hanyalah utang yang harus dibayar yang mana biayanya diambil dari upah kerja. Tentu upah yang diterimanya semakin kecil.

Sangat miris jika melirik lebih dalam lagi. Asis dan rekan-rekannya sering tidur di bawah bangunan yang belum jadi yang tentunya membahayakan nyawa. Tidur yang hanya beralaskan triplek, berbantalkan lengan, beratapkan bangunan, dan berselimut angin malam. Tiada alunan musik pengantar tidur ataupun nyanyian anak-anak mereka yang dirindukan. Semuanya tergantikan oleh dengungan nyamuk yang selalu mengusik tidurnya.

Magang: Khaerul Muawan

Redaktur: Isma Swastiningrum