Lpmarena.com- Merespon surat tanggapan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bernomor R-4856.2/Un.2/WS.01/10/2016, terhadap temuan sementara Inspektorant Jenderal (Itjen) yang dilayangkan pada bulan Oktober. Dengan salah satu isinya yaitu rekomendasi UIN Suka yang berharap adanya peraturan baru mengenai kedisiplinan kehadiran dosen di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag), Kepala Biro Hukum Kemenag melakukan pertemuan dengan birokrat UIN Suka di gedung Rektorat Jumat (23/12).
Pertemuan yang dihadiri oleh Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Kepala Bagian Kepegawaian, serta Kepala Satuan Pengawas Internal UIN Suka ini membahas regulasi baru terkait jam kerja dosen. Kemenag meminta internal UIN Suka untuk memberikan masukan terhadap draft peraturan tersebut, āMinta masukan (UIN) dan harus selesai hari ini,ā ujar kepala Satuan Pengawas Internal (SPI) UIN Suka, Budi Ruiahiatudin saat ditemui usai pertemuan.
Rendahnya Penggunaan finger print
Sebelumnya Itjen melakukan ekspose audit kinerja selama 2 minggu pada bulan Oktober. Itjen menemukan indikasi ketidakdisiplinan pada dosen UIN Suka. Temuan itu berdasarkan masih rendahnya penggunaan finger print sebagai alat presensi elektronik.
Landasan yang digunakan yaitu mengacu pada 2 peraturan terkait kedisiplinan. Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) 53 Tahun 2010 mengenai kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kedua Peraturan Direktorat Jenderal (Pendirjen), Pendidikan Islam (Pendis) Nomor 2 tahun 2013 terkait penggunaan finger print sebagai alat presensi kehadiran dosen.
Menurut data yang berhasil dihimpun ARENA dari beberapa fakultas, jumlah dosen yang terekomendasi mendapatkan sanksi karena rendahnya penggunaan finger print cukup bervariasi. Untuk Fakultas Dakwah dan Komunikasi, sebanyak 68 dosen yang terekomendasi mendapatkan sanksi, Ā sedangkan Fakultas Syariah dan Hukum sebanyak 82 dosen. Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam sebanyak 62 dosen, Fakultas TarbiyahĀ dan Keguruan sebanyak 72 dosen.Ā Meskipun begitu jumlah tersebut masih bersifat rekomendasi. Sanksi yang dikenakan pun beragam, mulai dari teguran,sampai dengan pencopotan jabatan.
Menyikapi temuan Itjen tersebut, UIN Suka melayangkan surat tanggapan pada bulan yang sama. Isinya berupa klarifikasi dan kajian hukum menanggapi dasar hukum yang digunakan Itjen. Beberapa poinnya yaitu mengklarifikasi atas temuan sementara Itjen. Serta rekomendasi adanya regulasi baru terkait kedisiplinan kehadiran dosen.
UIN Suka mengklaim bahwa telah menjalankan aturan disiplin PNS sesuai dengan PP 53 Tahun 2010. Dengan melakukan verifikasi terhadap presensi kehadiran dosen setiap bulannya. Serta mengingatkan kepada setiap atasan untuk melakukan pembinaan secara berjenjang.
Hal tersebut akan dibuktikan dengan lampiran yang menjelaskan bersangkutan melakukan tugas Tri Darma Perguruan Tinggi, walaupun tidak finger print. Saat berita ini diturunkan proses pembuktian telah selesai dilakukan.
Dasar hukum PP 53 terkait kedisiplinan PNS merupakan aturan umum untuk dosen. UIN Suka mengklaim aturan khusus yang membahas dosen yaitu pada UU 14 tahun 2005. Pada peraturan tersebut dijelaskan dosen yang mengampu 12 Satuan Kredit Semester (SKS) setara dengan 36 jam. Berdasarkan jumlah itu dosen sudah memenuhi beban kerjanya dan dibuktikan dengan Beban Kerja Dosen (BKD) yang dikumpulkan setiap akhir semester.
Menurut Muhammad Khafidin mahasiswa prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) ini, menganggap penggunaan finger print masih relevan untuk kemajuan sistem pembelajaran. Menurutnya sistem ini sebagai cara agar dosen memperhatikan pembelajaran secara tatap muka. Namun bukan berarti sebagai indikator kedisiplinan dosen secara penuh, melihat tugasnya yang tidak hanya mengajar.
Khafidin merasa masih banyak dosen yang belum sesuai dengan harapan mahasiswa. Tidak jarang pembelajaran hanya melalui pemberian tugas. āItu untuk pengganti absensi (Baca: dosen) seringnya ngono,ā Ujar khafidin saat ditemui Jumat (25/12).
Hal senada juga disampaikan Sahjihan Albi, menurutnya standar kedisiplinan dosen memang harus dikaji kembali. Bukan hanya berdasarkan finger print secara penuh.
Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) ini, juga tidak menafikan adanya dosen yang memiliki jabatan strategis di tempat lain. Hal itu menghalangi dosen untuk memberikan perkuliahan secara tatap muka. Namun hal tersebut bukan berarti menjadi alasan. āHarusnya ya ada asdos (Asisten dosen),ā kata Jihan.
Ia mengibaratkan pembatasan minimal kehadiran 75 persen pada saat pembelajaran, sangat membatasi mahasiswa yang aktif berorganisasi. Hal itu juga dialami dosen yang memiliki jabatan strategis selain mengajar, jika harus melakukan finger print setiap hari.
Ā
Kejelasan Sanksi Kemenag
Salah satu poin yang dibahas pada pertemuan Jumat (23/12) , yaitu kewajiban tatap muka yang tetap diberlakukan. Namun akan disesuaikan berdasarkan pangkat fungsional setiap dosen. Hal ini dilakukan karena masing-masing dosen memiliki porsi yang berbebeda. āAsisten ahli punya kewajiban mengajar lebih banyak dibanding guru besar, danĀ guru besar punya kewajiban meneliti lebih banyak,ā tambah Budi.
Terkait penggunaan finger print dalam presensi dosen, Budi mengaku tidak ada pembahasan untuk dihapuskan. Ia berharap peraturan baru ini mampu mengakomodir keinginan dosen karena tugasnya yang tidak hanya mengajar.
Budi juga mengaku belum ada hasil final terkait keputusan atas kasus yang menyandung dosen UIN Suka. Meskipun akan ada peraturan baru, namun dari aspek hukum kasus tersebut tidak berarti selesai. Menurutnya saat ini bola kebijakan sepenuhnya ada di Kemenag.
āSaya tidak tahu akan ada pemutihan atau seperti apa, itu wewenang menteri,ā pungkasnya.
ReporterĀ Ā Ā Ā : Mujaeni dan Agus Teriana
RedakturĀ Ā Ā : Wulan