Home BERITA Mendialogkan PTUN Bagi Masyarakat Sipil

Mendialogkan PTUN Bagi Masyarakat Sipil

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com  − Sabtu (21/01), sekitar seratusan hadirin yang sebagian besar merupakan masyarakat sipil, memadati lantai dasar kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta dalam acara diskusi dan launching buku berjudul “Paradigma Baru PTUN: Respon Peradilan Administrasi Terhadap Demokratisasi” karya Irvan Mawardi. Agenda tersebut turut menghadirkan ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013 Mahfud MD, dosen hukum UMY Iwan Satriawan, dan Irvan selaku penulis buku. Acara diselenggarakan berkat kerjasama antara Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah dan Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UMY.

Ketua MPM PP Muhammadiyah Muhammad Nurul Yamin dalam sambutannya mengatakan, ketika hukum belum mampu mensejahterakan rakyat, berarti negara telah gagal. Negara berperan mengatur kesejahteraan, melalui peraturan-peraturan (hukum) yang dibuat. Lewat tata negaranya ada masalah besar yang juga dihadapi masyarakat, yakni ketika dibenturkan oleh tembok besar, yakni hegemoni hukum dan negara.

Misi dari penulisan buku tersebut, seperti yang dikatakan Irvan, ia ingin wacana mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi public discourse di kalangan masyarakat, tentang bagaimana PTUN mampu didialogkan. Ruang PTUN yang seharusnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kritik dan edukasi belum banyak dimanfaatkan. “Pengadilan ini berbeda dengan yang lain. Yang diuji adalah hak masyarakat ketika dikaitkan dengan demokrasi. Ada ruang terbuka untuk kritik dan evaluasi,” kata Irvan.

PTUN sendiri merupakan lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung yang lahir sejak tahun 1985. PTUN berperan menegakkan keadilan, khususnya dalam kasus sengketa yang berurusan dengan tata usaha negara. Kasus yang masuk di PTUN selama setahun di Indonesia hanya berjumlah 1000 sampai 2000-an, dan kasus terbesar yang masuk PTUN, 90% perkara berkaitan dengan tanah. Angka itu sangat kecil melihat jumlah penduduk di Indonesia yang memiliki kasus hukum yang berkaitan dengan PTUN.

Kebanyakan kasus yang masuk, mayoritas adalah individu, bukan masyarakat. Padahal, kasus-kasus semacam di Rembang atau Kulon Progo yang berkaitan dengan lingkungan dan agraria bisa diuji ulang hukumnya di PTUN. “Bagaimana PTUN mengadili bukan hanya mengadili kepentingan individual semata, tetapi juga masyarakat, seperti di Rembang dan lainnya,” ujar Irvan.

Juga tentang bagaimana masyarakat memiliki kesadaran mendapat  keadilan dari perkara yang berpotensi merugikan masyarakat bersama. Semisal ada kasus, ketika masyarakat melapor, pemerintah diberi jangka waktu tertentu untuk merespon atau mengeksekusi, tapi pemerintah malah bersikap diam dan diamnya pemerintah tidak diatur undang-undang, berarti tuntutan masyarakat dikabulkan.

Pembedah buku Irwan Satriawan menanggapi, secara kewenangan PTUN memiliki keterbatasan. Di lain sisi sangat sedikit ada hakim di PTUN yang memiliki keberanian menerobos kasus yang dihadapinya. “Harus ada rekontruksi kewenangan dan perluasan liga standing,” ujar Irwan.

Sebagai pembanding, Irwan mencontohkan dengan di India,  pengadilannya agresif. India melakukan perluasan liga standing, di mana yang bergerak tak cuma dari individu saja, tapi juga dari lembaga-lembaga masyarakat. Di India juga menerapkan deformalisasi prosedur. Di Indonesia sendiri ini sangat susah, prosedur hukum di Indonesia ribet, hukum dikomodifikasi, dan banyak dimasuki oleh orang yang konservatif. Sekali menyalak langsung dikatakan makar. “Hakim di kita pasif, di India nggak. Baru petisi saja langsung turun lapangan. Beberapa tahun di India kasus dimenangkan warga. Peradilan benar-benar menjewer pemerintah.”

Hal serupa juga terjadi di Korea Selatan yang memiliki tradisi law civil society yang baik. Semisal dalam kasus perburuhan. Jika ada demo buruh di Korea Selatan, gerakanya sangat kuat, dan bisa melawan. Irwan mengganggap peran masyarakat sipil terhadap hukum masih lemah. Masyarakat masih menganggap jika kekuasaan pemerintah adalah segalanya, padahal tidak. “Negara kekuasaannya limited, bukan esesif. Dia bisa gunain semua (hukunya-red) untuk membungkam. Korbannya siapa? Civil society, masyarakat,” tutur Irwan.

Mahfud MD menjabarkan, saat ini demokrasi kita sedang dalam tahap memperbaiki paradigma baru PTUN. “PTUN cuma diberi ruang sedikit dan itu tak bisa dilakukan. Dan gak ada yang dieksekusi,” kata Mahfud. Setelah keluarnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintah, PTUN kembali diberi tempat, meski terbatas. Tantangan besar PTUN hari ini bagi Mahfud ialah PTUN tak ada lembaga eksekutorialnya. “Tak ada yang eksekusi, materialnya oke, tapi legal structure masih buruk,” tutup Mahfud.

Reporter: Isma Swastiningrum

Redaktur  : Wulan