Lpmarena.com – Laboratorium Religi dan Budaya (Label) UIN Sunan Kalijaga mengadakan diskusi umum bertema “Ber(agama) di Belanda: Catatan Seorang Peziarah”. Menghadirkan pembicara Ahmad Salehudin, selaku antropolog agama, pesantren, dan lingkungan. Diskusi dilaksanakan di Smart Room Lantai 2, Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam, Selasa (31/1).
Belanda yang memiliki empat musim, kata Salehudin sangat mempengaruhi pola laku beragama seseorang, khususnya Islam. Semisal tentang waktu sholat, di Belanda waktu malam lebih panjang daripada siang, ini membuat umat muslim menyesuaikan waktunya. Atau juga tentang cuaca, saat musim dingin, orang harus memakai baju berlapis-lapis, bagaimana bersucinya juga kadang sulit. Apalagi ketika dibenturkan dengan modernitas menggunakan toilet kering. “Kondisi membentuk orang bagaimana beragama,” kata pria yang pernah mengikuti program residensi di Belanda ini .
Selain itu, Belanda yang merupakan negara sekuler membuat masyarakatnya berpikiran modern. Salehudin membagi makna sekuler menjadi dua. Pertama, sekuler ala Amerika, yang memisahkan antara agama dan negara, agar negara tak memakai agama sebagai alat politik. Kedua, sekuler ala Eropa, di mana negara dan agama dipisah agar agama tak mempengaruhi negara. Di negara sekuler, Tuhan yang jauh di atas sana ditransfer menjadi kekuatan bernama state (negara).
Agama di neegara sekuler berperan mengisi ruang kosong. Jika tak ada ruang kosong, agama tidak diperlukan lagi. Di mayoritas negara Eropa, karena semua hal sudah dapat diprediksi oleh logika dan teknologi, maka orang Eropa cenderung tidak fanatik pada agama, bahkan ada yang lebih memilih menjadi ateis. “Ketika semua sudah terprediksi, agama menjadi tidak penting. Makanya Weber bilang kenapa agama itu perlu, karena ada ruang yang tidak terprediksi,” ujarnya.
Ruang yang tak terprediksi itu semisal kematian, rizki, jodoh, dan konsep mengenai takdir lainnya. Itu kenapa, Salehudin mencontohkan kasus di Indonesia, cara berdoa orang desa dan orang kota berbeda. Orang desa berdoanya lebih lama, daripada orang kota. Makin tidak terprediksi hidup, doanya semakin panjang. Berbeda ketika orang bisa memprediksi, doanya semakin kecil.
Reporter: Isma Swastiningrum
Redaktur : Wulan