Oleh : Fitri M*
Aku tidak terlalu faham apakah latar menjadi keharusan dalam cerita. Jangankan memberikannya penjabaran serius serta mendapatkan embel-embel pujian baik, mengobrolkannya sebisanya saja hanya sampai di taraf belepotan di lidah. Juga setting yang terkadang mengawali ocehan penulis pun sama nasibnya. Aku hanya pernah mendengarnya sewaktu disekolahkan oleh lingkungan di babak pembuka abad ke-21. Dari seorang guru yang namanya tenar dengan istilah “LKS”. Sambi diiringi pendongeng yang sebut saja dia “Mahaguru”. Mereka bilang itu seperti menjalankan salat bagi kaum islam, mereka bilang. Terawali dengan takbiatul ikhram, terakhiri dengan tartib, terangkum dalam rukun. Persoalan perumpamaan tersebut yang dihadirkan ya memang kebetulan itu agama yang dianut sekolahku.
Kadang terasa risi ketika harus menceritakan angin yang lewat, ruangan dengan atau tanpa sinar, bau dari badan sendiri yang mirip kecutnya mangga muda lah, atau bahkan kucing yang tak sengaja lewatpun ikut-ikutan dijegal. Jam yang sejatinya dari hari kemarin memang berputar dari kanan ke kiripun jadi korban. Ahhh… apa itu menjadi rukun untuk cerita ini bisa dikatakan halal diobrolkan. Apa semut yang dari tadi mondar-mandir di samping kaki yang aku sendiri tidak tahu apa yang dituju ku sertakan? Ambuh ki lek.
Apa aku harus menceritakan orang di samping kamar yang setiap bicara pasti terdengar berisiknya. Apa teman yang kalau tidur selalu saja lengket dengan dengkur ku ajak meramaikan. Yang dengkurannya sendiri tak kalah banter dengan orang samping kamar. Ah tidak, aku tidak menceritakan orang lain. Ini ceritaku, hanya aku.
“Sibuk dengan Laptop sekarang.”
Sedikit kaget mendengar saut sinis dengan nada guyon dari teman sekamar, sekontrakan, sepondok dulu, senampan saat makan, sesekali tidak jadi teman. Iful nama yang biasa dia pakai. Terkadang juga dibalik jadi lufi. Agar terlihat mirip tokoh anime jepang, One Piece, katanya. Dia lebih tua dariku untuk skala umur kuliah. Jaket yang dikenakannya terlihat basah kulihat. Lambang kampus dan Indonesia yang menempelpun terlihat jadi kusam. Ya memang akhir-akhir ini hujan tidak bosan turun ke bumi. Hampir setiap hari ketemu. Jamnya sendiri bisa ditebak. Begitu pula hari ini. Dan itu yang menjadi alasan tidur sore hari masuk dalam jadwal tetapku.
“Cerita apa yang akan kamu tulis. Cerita melankolis? Dengan tokoh yang pasti ujung-ujungnya menjalin hubungan emosional dengan lawannya, iya?”
Kalimat seperti inilah yang membuat kami sesekali tidak menjadi teman. Untuk apa dia memberikan lontaran kata-kata yang pangkal ceritanya sendiri belum kutemui. Apakah dia mau membuat cerita ini menjadi bagian dari ceritanya untuk diceritakan layaknya pencerita dari segerombolan orang yang sedang berkumuh-kumuh kalimat di mulutnya dengan bahasa berbau nostalgia? Memang, urusan campur-mencampuri adalah bagian dari kebudayaan yang mewabah di negeri ini. Ada hal baik aku akui untuk persoalan ini. Orang mau mengunjungi tetangga, teman, tetangganya teman, temannya tetangga, tetangga yang mempunyai tetangga, teman yang mempunyai teman, tetangga yang berteman dengan temannya tetangga, juga teman yang bertetangga dengan tentangganya teman, baik itu ketika melahirkan, sunatan, nikahan, kesakitan, bahkan mati.
Aduh dek. Untuk apa dia mencampuri ceritaku ini. Membuat masalah jadi mengganda. Yang di awal saja masih berperang di benak. Ada saja yang tak diharapkan malah datang mewujud menjadi sesuatu yang harus dihadapi. Mungkin aku harus bersikap tenang. Ini ujian. Mungkin sebuntung rokok bisa memberikannya. Tambahan kopi panas sepertinya menambah kenikmatan dari ketenangan yang aku maksud. Sedikit ayunan langkah kaki juga bisa membuat otak ini beristirahat dari kelelahan. Maklum, sudah beberapa jam duduk bersila di kamar dan kertas kerja masih saja berwarna putih.
Melihat keruwetan yang ada di atas aspal dengan mesin-mesin beroda yang menjadi dalangnya menambah kesemrawutan pikiranku. Sudah beberapa gelas air putih kuminum untuk melelehkan kepenatannya. Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, melamun menjadi rutinitas tersendiri bagiku. Sebagai tempat melarikan persoalan duniaku. Disamping tidur sore hari.
Dalam lamunan aku bisa berteriak bebas sambil mengangkangkan ke dua tangan di pinggang. Aku bisa mengotak-atik dunia sesuka jidat. Mengkonsepkan keindahan yang tercermin dari konsepsi umum. Ya, dunia dalam lamunan tak ubahnya seperti pembentukan subjek secara simbolik. Yang lain besar menjadi penentu atas otak ini berjalan. Secara tak sadariah sikap ini sudah ada yang membidani. Bukan atas dasar kesadaran sebagai subjek yang merdeka. Aku sadar akan hal tersebut. Dan akupun melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Lamunan menjadi tempat menyublimasi hasrat akan keindahan yang belum sempat dirayu.
Sore itu sendiri aku melamunkan tulisanku berteriak kencang di media massa. Menghadirkan banyak pujian dari mulut-mulut si pembaca yang rakus akan diksi. Mungkin ini terlalu sombong untuk didengar orang. Tapi itulah yang aku dapat dari menjadi subjek simbolik. Keserakahan, keirian, kesombongan, menjadi hal yang aku lihat dari kencangnya teriakan tulisanku. Apa aku salah? Aku kira bukan begitu. Banyak sekali para penulis absen dalam relung persoalan masyarakat yang saban hari makin kompleks saja. Buah dari pohon kesuksesan yang dibangun tidak mampu mengganjal perut rakyat miskin kota yang kelaparan. Gores demi gores tinta yang katanya bagai pedang tak bisa dipakai oleh para petani untuk melawan penguasa dalam mempertahankan tanahnya. Ah, mereka telah membentuk kelas baru. Jauh dari tanah kapur yang sarat kepentingan. Atau yang agak lebih jengkelnya lagi mereka hadir, tetapi dengan maksud liyan.
Biarkan aku menjadi sombong dalam dunia lamunanku. Biarkan aku menjadi raja yang tidak perlu pengadilan untuk menghukum orang yang tidak setuju dengan dunia lamunanku. Biarkan aku menjadi aku, bukan kamu, bahkan mereka.
“Woee. Ngelamun saja kamu ini. Mana ceritamu, biar aku baca.”
Kamu lagi, Iful. Kenapa pengganggu menjadi pekerjaan yang kamu pilih. Bukannya kamu sudah punya kesibukan dengan berjualan ayam potong yang sudah berbumbu. Apa itu kurang cukup memenuhi waktumu untuk tidak lagi usil terhadapku. Oh tidak, aku tidak boleh berdengki terhadapmu. Ini sudah di dunia nyata, bukan dunia lamunanku. Kamu harus tetap kuperlakukan sebagai temanku. Bukan lawan yang padamu aku harus berkecamuk dalam kemunduran akal. Kamu harus tetap temanku.
Oh, ceritaku. Sudah sampai mana aku menuliskannya. Lamunanku hampir saja mengaburkan dunia yang di situ aku harus tetap menyusun kata demi kata. Melamun memang membuat waktu menjadi beku dalam keakuanku. Aku harus segera kembali ke kertas kerja. Aku harus bercerita.
“Cepat mana. Aku tak sabar membuangnya ke tempat sampah. Atau mungkin, tulisanmu bisa membuat aku ikut melamun sepertimu.”
Aku cepat kembali ke kamar, tempat di mana kertas kerjaku berada. Kata-kata tadi semakin saja tidak sedap kudengar. Memang, aku ini amatiran, aku akui itu. Tulisanku ini saja baru yang pertama. Tapi setidaknya kalimat tersebut tidak dilontarkan. Memang tepat kata-kata itu di hadapkan kepadaku. Tapi bukankah berkata bukan hanya persoalan ketepatan bahasa secara formal saja. Bukankah di dalamya juga mengharuskan hadirnya sebuah moral. Iful, ya, aku harus tetap menjadikanmu teman. Aku uambil kertas kosong yang tadi kutinggalkan. Lagsung saja kusodorkan didepannya.
“Silahkan. Bacalah. Kalau sempat, isi(red.Kritik)lah sesukamu.”
*) Seorang pekerja di Yogyakarta.
Ilustrasi: pixabay.com