Oleh : Soimun Galih*
“Solat solaaat…” teriak Khoirudin sambil berlalu acuh meninggalkan ruang tengah kontrakanku ke arah pintu keluar. Dia mengenakan pakaian rapi, bersarung dan berpeci. Langkah kakinya mantap dengan satu tujuan, masjid kompleks yang baru saja mengumandangkan iqamat. Teriakan Khoirudin barusan bukan tanpa arti, dia mengajak kami yang saat itu sedang asyik dengan permainan tembak-tembakan Counter Strike, untuk salat berjamaah di masjid kompleks tapi tidak berani untuk menegur langsung. Dia biasa meneriakkan sindiran itu pada anak-anak kontrakan BVI No. 197 ini yang sekiranya kurang saleh dibanding dirinya, sekurang-kurangnya menurut pandangannya sendiri.
Kami sering merasa risih dengan ajakan seperti itu. Kami bukan anak kecil lagi, kami merasa mampu untuk memilah dan memilih tindakan yang baik menurut agama, menggunakan pertimbangan kami sendiri. Jika sudah berlima atau berenam, menghadap laptop masing-masing yang telah disambungkan satu sama lain menggunakan sambungan WLAN dan memainkan karakter teroris maupun pasukan anti-teroris untuk kemudian saling menjatuhkan, kami memang suka lupa waktu. Namun, bukan berarti kami lupa salat. Kira-kira lima menit setelah Khoirudin meninggalkan kontrakan dan berjamaah di masjid komplek, Irfan memimpin kami untuk salat berjamaah di ruang tengah kontrakan, sebelum kembali asyik dengandunia CS.
Salat yang baik adalah salat berjamaah, begitulah yang diajarkan Kanjeng Nabi. Kami meyakini hal itu, dan Khoirudin tentu tahu kami tidak lupa salat serta membentuk jamaah salat kami sendiri di kontrakan di sela-sela permainan yang mengasyikkan.Namun baginya salat berjamaah dengan cara ini masih kurang baik. Khoirudin memaknai masjid sebagai bangunan berkubah yang khusus dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan umat Islam, sementara kami yakin bahwa masjid adalah situasi ketika kita ingat kepada Tuhan dan sebagai akibatnya melakukan perbuatan baik dan menahan diri dari memenuhi hasrat negatif. Khoirudin adalah potret muslim yang lebih menekankan keislamannya kepada ritual formal, sedangkan kami menekankan keislaman kami pada kesalehan sosial sementara urusan dengan Tuhan adalah urusan masing-masing tanpa bisa dicampuri siapa pun.
Khoirudin juga termasuk orang yang tidak banyak bicara. Dia tidak banyak terlibat dalam setiap kegiatan yang kami, anak-anak kontrakan ini, lakukan. Hobinya adalah mengurung diri di kamar sambil membaca buku-buku agama Islam baik terjemahan maupun yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Maka tidak mengherankan ketika dia tidak tertarik dengan permainan CS yang kami mainkan demi kebersamaan itu. Dia juga lebih agamis dibanding kami, setidaknya dalam tataran penampilan.
Karena sedikit perbedaan pandangan dalam memaknai agama, kami sering muak pada ajakan Khoirudin. Dia tidak bisa menghargai perbedaan dan terus-terusan memaksakan pandangannya pada kami secara halus. Misalnya dengan teriakan yang menyindir seperti tadi. Baginya, cara kami menjalankan perbuatan baik berdasarkan tafsiran kami sendiri tidaklah cukup. Berbuat baik berarti “berbuat baik” menurut Khoirudin. Kami tahu dia berniat baik, tapi kami tidak suka dengan caranya. Toh kami juga bukan orang yang tidak mengenal agama sama sekali. Irfan yang menjadi pelopor permainan CS di kontrakan itu sering menjadi imam salat kami. Bacaan Al-qur’annya bagus dan fasih, tajwid adalah baju bagi bacaan setiap lantunannya. Meskipun selesai salat, dia menjelma menjadi pemimpin pasukan teroris di dunia CS yang sangat susah ditumbangkan.
Sebenarnya, di luar upayanya untuk memaksakan kebaikan yang diayakini kepada kami, dia punya prestasi yang tidak main-main. Postur tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan sehingga hampir bisa dipastikan membuai hati setiap perempuan yang dilaluinya. Otak Khoirudin jauh dari kata “otak udang”. Sebaliknya, Khoirudin punya otak yang sangat encer. Dia dikenal sebagai orator dan pendebat ulung soal agama. Baru semester enam, dia sudah menerbitkan beberapa buku yang mengupas masalah terbaru umat dan solusinya. Dia juga sering mengisi seminar-seminar yang mengaji masalah Islam berskala internasional. Seolah belum cukup, Khoirudin adalah anak seorang tokoh ormas Islam terkemuka. Jadi dia berasal dari keluarga terpandang yang kaya. Sebagai pengagum intelektualitas, harus kuakui kalau aku sempat mengagumi prestasi Khoirudin.
Di hadapan Khoirudin dengan prestasi gemilangnya, kami hanya diam ketika dia meneriakkan sindirannya agar kami salat berjamaah di masjid komplek alih-alih membentuk jamaah salat kami sendiri.
***
Khoirudin punya kebiasaan aneh beberapa bulan terakhir. Dia sering duduk di samping tandon air di atas atap dengan alasan mencari inspirasi untuk menulis bukunya yang baru. Dia biasa melakukan itu sambil membaca, atau meminum teh. Uniknya, hal itu selalu dilakukan setiap jam enam hingga jam tujuh pagi.
Seringnya, setelah Khoirudin nongkrong di samping tandon air di atas atap itu dia membersihkan kamar mandi. Masing-masing dari kami punya kewajiban untuk membersihkan kamar mandi seminggu sekali. Karena kami berjumlah tujuh orang dalam rumah yang hanya punya satu kamar mandi itu, maka setiap hari kamar mandi kami selalu dibersihkan. Dengan kebiasaan barunya, Khoirudin membebas tugaskan beberapa di antara kami secara acak. Dalam seminggu, dua atau tiga kali menggantikan jadwal piket teman kami.
Awalnya aku senang Khoirudin melakukan itu, karena kadang-kadang aku yang malas membersihkan kamar mandi ini praktis terbebas dari tanggungjawab untuk melakukannya setelah digantikan Khoirudin dengan tiba-tiba. Apalagi hasil kerja Khoirudin dalam membersihkan kamar mandi jauh lebih baik daripada hasil kerja kami. Sekeluarnya Khoirudin dari kamar mandi, ruangan sempit yang biasanya bau itu berubah wangi dan membuat orang betah untuk berlama-lama di dalamnya.
Akan tetapi kemudian aku menaruh rasa curiga. Kenapa Khoirudin membersihkan kamar mandi setelah duduk di samping tandon air kontrakan sekitar satu jam, adalah pertanyaan yang terus mendengung dalam benakku. Ketika aku mendiskusikannya dengan teman-teman yang lain, mereka hanya menganggap itu sebagai kebaikan hati mengingat latar belakang agamisnya. Barangkali Khoirudin tidak benar-benar berniat membersihkan kamar mandi, barangkali dia menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang bisa disembunyikan dalam bau wangi adalah bau yang tidak sedap dalam kamar mandi, dan Khoirudin lah penyebab bau itu. Bau yang mungkin dibawa dari luar, timbul dalam kamar mandi sehingga butuh dibersihkan sedemikian rupa adalah…
Aha! Aku bisa menduganya. Tapi bagaimana mungkin? Khoirudin yang ketika berada di samping tandon air itu hanya terlihat olehku sebagai penghuni kamar di lantai dua. Aku tidak pernah melihatnya membawa smartphone atau semacamnya. Dia hanya berbekal buku bacaan, atau kadang segelas teh. Jadi mungkin misterinya terletak di bantalan di samping tandon air di atas atap itu.
Maka tanpa menunda lebih jauh, aku segera mendaki dan berada di posisi Khoirudin terbiasa duduk antara jam enam hingga jam tujuh pagi. Aku melihat sekeliling, dari tempat itu terlihat pemandangan atap-atap baik genteng maupun seng yang memayungi rumah-rumah warga. Rumah-rumah itu berjajar rapat. Aku sedang mencari pemandangan yang relevan. Mataku berkeliling dan otakku berusaha untuk menyusun informasi secepat, seakurat dan sedetail mungkin dengan gaya Sherlock Holmes yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch dalam serial “Sherlock”.
Mataku tertuju pada satu arah, rumah pak RT di seberang jalan. Dengan meloloskan titik pandang melewati sela-sela dahan rambutan di samping kiri rumah, aku sudah mendapatkan objek yang aku cari, tapi itu belum cukup.
“Hm, jam sebelas siang,” gumamku sambil melihat punggung pergelangan tangan kiriku. Aku sedang tidak memakai jam tangan, tapi lupa. Perkiraan waktu itu kulakukan berdasarkan intensitas cahaya matahari saat itu. Jadi adegan melihat pergelangan tangan kiri itu sebenarnya tidak perlu. Aku harus berada di tempat itu antara jam enam sampai jam tujuh pagi untuk benar-benar membuktikan hipotesisku.
Jadilah, keesokan harinya aku berada di samping tandon air sambil mengamati rumah pak RT. Kebetulan Khoirudin sedang pulang kampung saat itu, jadi tempat itu sepenuhnya milikku. Untuk menyamarkan penyelidikan, aku membawa serta secangkir kopi berikut selembar koran hari minggu yang berisikan cerita pendek.
***
Pak RT yang tinggal di sebelah kontrakan kami, dipisahkan oleh satu rumah warga lain, itu punya anak gadis. Usianya delapan belas tahun dan sekarang kelas tiga SMA. Aku belum pernah melihat anak gadis pak RT karena terhitung masih baru tinggal di sana. Aku juga sibuk bekerja sehingga tidak sempat berinteraksi dengan warga. Tapi aku pernah mendengar banyak pembicaraan tentang anak gadis semata wayang pak RT. Konon, tubuhnya sintal, tinggi semampai, padat dan berisi selain punya paras jelita.
Ya, aku belum pernah melihatnya sendiri sampai suatu hari dia berjalan melenggak ke arah kamar mandi rumahnya dengan handuk terlilit untuk menutupi sebagian tubuhnya seperti kemben. Pagi itu dia hendak mandi di dalam kamar mandi yang tak beratap. Entah kenapa pak RT mendesain kamar mandinya seperti itu, tapi fakta bahwa kamar mandinya didesain tanpa atap semakin memperjelas alur cerita yang sedang kususun dalam otakku. Dari tempatku duduk, aku dapat melihat apa atau siapa saja yang berada dalam kamar mandi rumah pak RT.
Kuperhatikan gerak-gerik anak gadis pak RT. Mulai dari ketika dia melepas handuk hingga kulitnya yang kuning langsat terlihat olehku, sampai ketika dia mengguyurkan air ke kepala, bahu kanan, bahu kiri dan seluruh tubuhnya. Dia tidak menyadari keberadaanku hingga saat dia hampir selesai mandi, tiba-tiba saja kepalanya mendongak dan mata kami beradu pandang. Anak gadis pak RT memekik, tapi tidak terlalu keras. Dia buru-buru berlindung ke balik tembok, meraih handuknya dan buru-buru melilitkan handuk itu ke pinggangnya.
Sejenak aku mencoba untuk menyelami otak Khoirudin berdasarkan pemandangan barusan. Aku menelusuri imajinasi terkotor yang mungkin dicapai oleh seorang Khoirudin dalam keadaan lupa diri. Tentu saja aku tidak percaya. Masa sih, Khoirudin berbuat “begitu”? Akan tetapi aku sadar betul bahwa kadang kita tidak dapat memegang kepercayaan kita lebih jauh ketika bukti berbicara sebaliknya.
Memikirkan hal itu dalam-dalam membuatku tersenyum-senyum sendiri. Senyum… senyum… senyum… Dan aku pun tidak dapat menahan ledak tawaku lagi, sampai aku hampir jatuh. Sudah barang tentu aku mencium beton dan menderita beberapa patah tulang akibat jatuh dari tempat berketinggian setara lantai tiga, jika aku tidak meraih pipa PVC di sampingku secara reflek. Sementara anak gadis pak RT sibuk mencari perlindungan, aku menyembunyikan diri di balik tandon air. Kuharap gadis itu mengira kalau sosok yang dilihatnya barusan hanya halusinasinya belaka.
***
Siangnya, pak RT datang ke kontrakanku untuk memberikan teguran keras. Aku yang menemuinya karena sedang tidak ada orang di kontrakan. Pak RT yang geram berbicara sambil memelintir-melintir kumisnya yang melengkung mirip kumis Tuan Takur. Aku meminta maaf dan bersumpah bahwa kejadian tadi pagi adalah sebuah ketidak sengajaan (yang disengaja).
Mulai saat itu aku tidak kagum lagi pada Khoirudin. Setiap kali dia meneriakkan sindiran agar kami berjamaah di masjid komplek ketika sedang asyik bermain di depan laptop, aku hanya terkikik sambil melirik tandon air. Tidak ada yang tahu alasanku terkikik, aku memang sengaja tidak menceritakannya pada teman-teman se-kontrakanku. Sebab menceritakan aib orang lain adalah dosa, dan dalam etika islami, perbuatan itu sama biadabnya dengan kanibalisme.[]
*Soimun Galih, Part-time physicist yang hobi menulis cerpen
Ilustrasi: urbanlejen.files.wordpress.com