Home CATATAN KAKI Politik dalam Persepsi Doflamingo

Politik dalam Persepsi Doflamingo

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Ahonk Bae*

Serial kartun atau anime mungkin begitu konyol jika disandingkan dalam meja diskusi atau sebagai obrolan ringan saat berjumpa dengan para kamerad. Apalagi kartun yang dilihat secara take for granted. Namun, bagi penggemar anime One Piece buah karya Eiichiro Oda, sudah barang tentu begitu akrab ketika mendengar nama Donquixote Doflamingo atau mafhum dengan julukan Joker (selanjutnya ditulis Joker), yang dimulai pada episode 629 dalam seri visualnya.

Ia bertengger pada tahta kekuasaannya di Dressrosa, sebuah kerajaan yang berafiliasi dengan Pemerintah Dunia. Mengapa? Tentu karena ia menjabat seorang shichibukai (raja lautan), serta pemakan buah iblis Ito Ito no Mi yang merupakan tipe Paramecia. Ditambah dengan gestur yang membuat penonton sedikit kesal, apalagi dengan intonasi retorikanya. Begitu sekiranya sosok Joker dielaborasikan secara sederhana dari buah karya Oda tersebut. Sebelum kita lebih jauh menganalisis sosoknya (Joker) sebagai seorang politisi licik nan militan yang dengan ambisinya hendak menguasai dunia. Terlebih dahulu kita lihat betapa cerdiknya ia ketika memainkan peranannya di Dressrosa.

Betapapun ia adalah sosok ulung dalam merekayasa sebuah kasus atau bahkan tragedi, seperti awal karirnya ketika ia membumihanguskan Dressrosa hanya dalam satu malam. Namun, tidak diketahui oleh orang banyak siapa dalang sebenarnya selain raja.

Pada saat itu, kerajaan berada di pundak raja bernama Riku Dold II. Seperti yang ditulis Aristoteles, di sini perubahan-perubahan disebabkan sebagian oleh perlakuan yang tidak adil terhadap massa, dan sebagian lagi karena pertikaian faksional di kalangan kelas yang sedang memerintah.

Pertikaian tersebut dapat muncul jika: (1) Suatu divisi dari kelas itu mulai memainkan peran penghasut, (2) Sebagian dari anggotanya menjadi melarat dan berbalik menjadi revolusioner, (3) Suatu lingkaran inti dibentuk di dalam badan yang sedang memerintah.[i] Sehingga pada  saat yang bersamaan Donquixote Family muncul dan menumpas infantri dan kavaleri milik raja Riku, serta membantai rakyat yang tak berdosa sekalipun.

Pada ahirnya, Donquixote family mendeklarasikan diri sebagai pemimpin Dressrosa yang juga diamini oleh rakyatnya yang sedang terdesak oleh ‘permainan’ awal Joker. Kemudian secara konstitusional Joker membentuk suatu pemerintahan yang berhaluan oligarki dengan pola kerajaan, dengan menempatkan Donquixote family pada pos-pos vital suatu pemerintahan. Dia menerapkan pola unselfish begitu lekat dalam keluarga ini. Selain untuk ‘memuluskan’ perdagangan senjata dan buah iblis, belum lagi perdagangan budak di Sabaody. Dengan relasi bisnis gelapnya dengan seorang Yonkou (kaisar) bernama Kaido, yang memiliki teritori berbeda dalam kekuasaan bisnisnya.

Memperlakukan Rakyat

Dalam memperlakukan rakyat Dressrosa, Joker mempekerjakan sebagian besar rakyatnya yang telah di ubah menjadi boneka oleh Sugar. Sebab secara individu atau komunal rakyat tersebut menentang, karena di setiap sudut Dressrosa telah terpasang spioase berupa Denden Mushi Virtual (sekarang CCTV) juga Condottieri[ii] untuk mengawasi tindak-tanduk rakyatnya seperti kata N. Machiavelli: Penguasa harus mengawasi rakyatnya dengan sangat ketat sehingga dia (penguasa) dapat mendeteksi dan mengeliminasi segala macam plot atau intrik yang menentang rezimnya.[iii]

Gambaran rakyat Dressrosa begitu tertekan dalam era Joker tersebut. Ia juga memperlakukan rakyatnya sebagai buruh rodi yang harus bekerja di setiap objek vital bisnis joker tersebut, dan tentu dengan pengawasan yang super ketat pula. Seperti bekerja di pelabuhan bawah tanah dan tempat penanaman replika buah iblis milik Joker. Tempat ini diisi oleh suku Tontanta yang merupakan suku asli Dressrosa tetapi dengan ukuran tubuh yang menyerupai liliput dan mudah terpengaruh dengan retorika yang diucapkan secara intuitif.

Joker juga begitu pandai dalam orasinya, dengan kepiawaiannya ia mampu menghegemoni pikiran rakyatnya, seperti usahanya mempengaruhi rakyatnya untuk membenci keluarga raja Riku. Meskipun “Negarawan tidak akan pernah bersikap terlampau kejam dalam menggunakan kekerasan dan kekuatan, seperti halnya tindakan seorang panglima perang terhadap musuh-musuhnya”.[iv] Sudah barang tentu hal itu berbeda dengan Joker yang selalu mengelu-elukan kekuasaan serta menjalin relasi perdagangan gelap dengan Kaido.

Dengan gesturnya yang santai ala Tenryubito mampu mengecoh lawan perang maupun lawan politiknya, serta wibawanya sebagai mafia berkepala serta bertangan dingin bukanlah isapan jempol belaka, sebab dalam The Art Of War menyatakan apabila membahas hubungan pemimpin sipil dengan rakyatnya, idealnya seorang penguasa harus ditakuti sekaligus dicintai rakyatnya; dan jika memilih, maka ditakuti lebih baik daripada dicintai, asalkan rasa takut itu memiliki kemampuan untuk menumbuhkan rasa hormat dan bukan kebencian ataupun kecaman.[v]

Begitulah pasca kudeta raja Riku terjadi, rakyat menjadi takut sekaligus cinta terhadap Joker. Sebab, ia (rakyat) bungkam terhadap kebenaran yang sebenarnya akan Dressrosa. Donquixote family semakin menjadi dalam menindas dan menghisap rakyat Dressrosa yang tak lain adalah menorehkan kekuasaan pada setiap ekspansi dagangnya yang mengalpakan kaidah,“dari setiap orang menurut kemampuannya, untuk setiap orang menurut kebutuhannya.”[vi] Dengan memperlakukan rakyatnya yang disulap menjadi boneka tersebut.

Aristokrasi di Tangan Doflamingo

Bagaimana bisa Pemerintah Dunia harus ‘tunduk’ dalam mandat seorang mafia? Joker jawabannya. Selain ia memiliki darah bangsawan yang pernah berdomisili di Mariejois, yaitu tempat bagi Terynobito dan keluarganya. Namun, seperti yang dikisahkan Aristoteles mengenai aristokrasi yaitu pada kasus yang terjadi dengan orang-orang yang di Sparta disebut Partheniae. Yang merupakan putra-putra (tidak sah) dari bangsawan Sprata; mereka berkomplot bersama tetapi tercium, dan dipencarkan untuk mendiami Tarentum.[vii]

Sebagai gambaran akan dunia bangsawan yang sarat akan kekuasaannya. Aristoteles juga menambahkan, keruntuhan aristokrasi, dan juga pemerintahan konstitusional (polity) terutama disebabkan oleh beberapa penyimpangan dan keadilan di dalam konstitusi itu sendiri.

Kembali pada Dressrosa, Joker dengan privilesenya mampu merekayasa media cetak pada saat itu, dengan berita palsu tentang pengunduran dirinya dari Shichibukai yang membuat rakyatnya mendatangi rumahnya untuk meminta klarifikasi atas berita tersebut. Namun, ia tetap tenang ala aristokrat mainstream dengan senyum lebarnya saat menghadapi permasalahan yang menimpa dirinya.

Siapa yang bisa merekayasa media selain mafia bersosok penguasa? Itulah Joker, dengan segala muslihat dan hak privilese yang di tangannya ia bisa ‘menyuap’ Pemerintah Dunia. Apabila tidak patuh? Go to hell, seperti itu elaborasi Joker. Walau dengan status broker, ia hampir sekelas dengan Yonko dalam relasi bisnis gelapnya.

Joker mampu membuat pengikutnya mengorbankan jiwa dan raganya untuk menlindungi dirinya ketika ada yang hendak mengusik Joker, dan orang harus mampu bertindak. Seakan-akan ia mampu menghadapi segala hal dan mengundurkan dirinya seolah-olah dia tidak mampu berbuat apapun.[viii]

Walaupun Joker tidak perlu perlindungan, karena loyalitas pasukannya begitu tinggi maka dengan mudah Joker memanfaatkan keadaaan tersebut. Kemudian apa yang tetap tinggal sebagai suatu yang benar dalam visi ekonomi dunianya adalah mendirikan suatu masyarakat yang makin lama makin dibatasi oleh irama produksi.[ix] Sehingga dalam tatapan prejudis akan masa lalu joker yang menanggalkan status Terynobito-nya, sebab ayahnya memilih hidup dengan manusia biasa, dan ini membuat luka di hati Joker sendiri.

Maka sejarah itu bukanlah apa-apa selain suatu mimpi putus asa.[x] Bagi Joker, Pengadilan Dunia ialah sebagai mana digambarkan oleh Albert Camus bahwa “Dunia pengadilan adalah dunia yang berjalin melingkar-lingkar di mana keberhasilan dan kebenaran akan membuktikan satu sama lain. Di mana setiap cermin memantulkan mistifikasi yang sama.” Dan sambung Saint Ignatius mengenai pengadilan “Kita harus selalu siap, seakan-akan kita tidak bersalah, untuk meyakini bahwa apa yang kita lihat sebagai putih itu adalah hitam.[xi]

Dan istilah ‘kebal hukum’ memang melekat dalam diri Joker. Selain sebagai broker, ia juga mafia yang sekaligus merangkap sebagai penguasa lautan yang berada dalam ‘posisi aman’ pemerintahan yang membuatnya bertindak sekehendaknya.

Relevansi Politik Ke-Indonesiaan

Dalam suasana politik yang sudah kehilangan arah, sosok Joker memang selalu mempunyai usaha menjatuhkan harkat, derajat, dan martabat negara ini. Dengan berbagai anomali yang berbalut kamia politik, yang sejatinya perampok negeri ini masih hidup dengan leluasa.

Mafia juga merangkap sebagai penguasa, seperti gambaran Oda tentang Joker. Namun, betapapun kejamnya tragedi kemanusiaan 1965, kekejaman harus dikurangi dengan sikap moderat, adil, dan itu ditandai dengan tiadanya sikap arogan. Karena walau seperti apapun, kita semua adalah aktor politik di masa depan yang akan menentukan arah politik kita yang semakin semrawut ini.

Mengutip selorohan N. Machiavelli yang penulis persepsikan terhadap Joker, “Pemerintah adalah pengelolaan terhadap warga negara sedemikian rupa sehingga mereka tidak mampu dan tidak ingin menentangmu.”

*Penulis adalah alumnnus Insitut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.

[i] Aristoteles, Politik, terjemahan Saut Pasaribu, Narasi-Pustaka Prometha cet-I, Yogyakarta 2016.

[ii] Sebutan untuk tentara bayaran pada masa Romawi.

[iii] Niccolo Machiavelli, The Art Of War, terjemahan E.Setiyawati Alkhatab & Toni Setiawan, Narasi-Pustaka Prometha cet-II, Yogyakarta 2015.

[iv] Ibid.

[v] Ibid.

[vi] Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, penerjemah A. Baidlowi, Pustaka Pelajar, cet-III, Yogyakarta 2009.

[vii] Ibid, (Aristoteles, Politik)

[viii] Albert Camus, Pemberontak, terjemahan Max Arifin, Narasi-Pustaka Prometha cet-I, Yogyakarta 2015.

[ix] Ibid

[x] Ibid

[xi] Ibid

Ilustrasi: http://vignette2.wikia.nocookie.net