Home SASTRACERPEN Kepiting Heike

Kepiting Heike

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Soimun Galih*

Delapan ratus tahun yang lalu gedung-gedung tinggi ini tidak ada. Pepohonan menjulang rindang, tanpa lalu lalang orang sebanyak sekarang. Tanggal 25 April 1185, di pulau ini klan Taira mendirikan benteng terakhirnya, menghadap ke Selat Shimonoseki tempat kapal-kapal klan Minamoto mendekat perlahan. Klan Taira juga punya kapal, bahkan jumlah mereka lebih banyak dan sempat melakukan formasi mengepung yang menyulitkan armada klan Minamoto dengan memanfaatkan arus pasang.

Sayang sekali, sejarah harus mencatat bahwa pada akhirnya klan Taira mengalami kekalahan pahit karena pengkhianatan alam dan pasukannya sendiri. Arus pasang yang semula menguntungkan itu berbalik arah dan berubah merugikan pasukan klan Taira.Di sisi lain tiba-tiba saja salah seorang jenderalnya mengibarkan bendera lawan dan menyerang Taira dari garis belakang.

Begitulah kisah pertempuran Dan no Ura sebagai penutup Perang Genpei yang merupakan bagian dari sejarah Jepang. Konon, arwah prajurit klan Taira yang mati tenggelam ke dasar selat itu menjelma kepiting yang kemudian disebut kepiting Heike (Heikegani). Lekuk-lekuk di punggung kepiting jenis itu memang sekilas menyerupai wajah meringis khas topeng samurai yang lazim digunakan sebagai bagian dari baju zirah Jepang.

Aku pernah melihat foto kepiting Heike dan menurutku memang punggungnya tampak seperti wajah garang seorang samurai yang sedang meringis. Akan tetapi tentu saja aku tidak percaya takhayul. Aku menemukan penjelasan yang lebih masuk akal dalam buku The Greatest Show on Earth tulisan Richard Dawkins. Sebagaimana alam berperan penting dalam menentukan kemenangan klan Minamoto, alam juga berperan penting dalam membentuk gurat-gurat di punggung kepiting Heike.

Kendati punya struktur tubuh yang sangat mirip, setiap makhluk hidup punya sedikit perbedaan dari kedua orang tuanya. Perbedaan ini bisa menguntungkan untuk keperluan bertahan hidup, tapi bisa pula merugikan. Alam kemudian berperan sebagai pemilah, makhluk hidup yang punya perbedaan menguntungkan akan bertahan hidup dan mewariskan perbedaan itu ke generasi selanjutnya.Sementara yang secara sial mewarisi perbedaan tak menguntungkan akan mati. Perbedaan terus terjadi di setiap generasi, begitulah cara alam mengumpulkan perbedaan itu.

Aku yakin moyang kepiting Heike tidak punya gurat-gurat di punggung yang membentuk wajah meringis samurai. Gurat-gurat itu terbentuk secara perlahan melalui pewarisan dalam banyak generasi sehingga ia mempunyai polanya yang sekarang. Perubahan yang terarah itu pun tentunya masih terjadi, sehingga di masa depan kita mungkin tidak akan menemukan bentuk wajah samurai lagi di punggung kepiting Heike (atau malah jauh lebih mirip, tergantung ke arah mana seleksi alamiah membawanya).

Roh prajurit yang mati tenggelam di dasar lautan menjelma menjadi kepiting? Hahaha… Manusia modern yang masih memercayai cerita semacam itu pasti sedang bercanda, kalau tidak kehilangan kewarasannya sebagai makhluk berakal.

***

Aku tidak ingat kenapa aku bisa berada di tempat ini. Telapak kakiku menapaki pasir yang basah oleh air laut berwarna merah. Entah sejak kapan lautan berwarna merah dan berbau anyir, aku tidak sempat mencari jawabannya. Mataku dapat melihat jembatan Kanmon di kejauhan sedang ditelan keremangan akibat tenggelamnya matahari di ufuk barat. Selat Shimonoseki membentang di sebelah kananku, memisahkan tanah tempatku berpijak dengan pulau di seberang. Kusimpulkan bahwa senja itu aku sedang berada di tepian Pulau Kyushu.

Kedua kakiku terus melangkah. Aku berjalan tanpa alasan yang kuketahui dengan pasti. Anehnya aku tidak ingin berhenti. Semakin gelap, kabut pun semakin tebal dan sebagai akibatnya jarak pandangku semakin berkurang. Selang waktu tertentu, jarak pandangku nyaris nol akibat kabut yang terlampau tebal. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Satu-satunya petunjuk jalanku hanyalah ombak yang sesekali membelai mata kakiku dari arah kanan. Kututup hidungku dalam kepungan kabut itu karena bau anyir tercium semakin kuat. Kadang-kadang angin juga menyentuh tengkukku untuk membangunkan bulu-bulu roma di permukaan kulitnya.

Selang beberapa langkah, kakiku terantuk benda asing. Ada tongkat panjang tertancap di tanah. Bukan!Itu bukan tongkat melainkan tombak prajurit Jepang zaman dulu. Tidak lama kemudian aku menemukan teman-temannya, katana yang tergeletak maupun tertancap, batang-batang anak panah dan busur rusak, serpihan baju zirah. Kenapa benda-benda seperti itu ada di sini? Seperti baru saja terjadi perang antar pasukan Jepang abad pertengahan.

Aku masih terus berjalan pelan, dan pada langkah ke sekian akhirnya langkahku terhenti. Ada sesuatu yang bergerak-gerak dalam timbunan pasir di bawah telapak kakiku,  ia mendesak keluar. Jika benda itu ternyata makhluk hidup, pantas. Tidak ada makhluk hidup yang sudi diinjak makhluk hidup lain hingga tubuhnya tenggelam ke dalam pasir.

Segera kupindahkan kakiku, lalu aku berjongkok untuk memeriksanya. Makhluk yang barusan kuinjak secara tidak sengaja itu ternyata seekor kepiting, terlebih lagi ia adalah kepiting Heike. Baru kali ini aku melihatnya secara langsung, dan punggung kepiting yang satu ini tidak hanya mirip, tapi benar-benar sama dengan topeng wajah garang pada baju zirah samurai. Seolah punggungnya diukir oleh pengrajin baju zirah. Kuamati kepiting itu agak lama, dia berusaha membebaskan diri dari timbunan pasir dan merangkak cepat ke arah laut. Ia lenyap ditelan ombak.

Kawaiidesu ka?[1]” ucap sebuah suara. Dalam keterkejutan aku melihat sekeliling. Aku tidak bisa melihat adanya orang di sekitarku, dan aku yakin sedari tadi aku sendiri. Lalu suara itu milik siapa?

Sebelum pertanyaan itu terjawab, aku dikagetkan oleh sepotong tangan yang merangkak dan mencengkeram kakiku. Sepotong tangan itu mengenakan sarung tangan pasangan baju zirah samurai yang sudah rusak. Darah segar tampak menghiasi dagingnya yang terkoyak. Jantungku pun berdebar kencang. Aku panik, tapi masih bisa berpikir untuk menyingkirkan sepotong tangan kanan itu. Kuambil katana[2] yang tergeletak di dekatku dan kupotong tangan itu. Dia mengelepar di atas hamparan pasir dan mengeluarkan jeritan, aku tak peduli. Kutusuk punggungnya menggunakan ujung katana yang runcing dan tajam, itu menjadikannya seperti sate. Kubuang jauh-jauh keduanya ke laut.

Begitu sepotong lengan itu lenyap di dasar lautan bersama katana yang kutancapkan padanya, kabut di sekelilingku mulai menipis. Jarak pandangku bertambah sebelum akhirnya aku dapat melihat segalanya dengan jelas, termasuk orang asing berpakaian zirah samurai yang berdiri memandang lautan, membelakangiku. Kukira semuanya segera  selesai. Kuhampiri orang itu dan kutepuk bahunya. Aku ingin menceritakan pengalaman luar biasa yang kualami barusan dan bermaksud meminta bantuan. Sekadar menunjukkan jalan pulang akan sangat membantu.

Sumimasen, Samurai-san. Ano[3]

Nande?[4]” Orang itu tampaknya sedang tidak mau diganggu. Dia membalas sapaku dengan suara menggeram ketika dia menoleh.

Aku tercekat! Wajah orang yang mengenakan zirah samurai itu… Mata kirinya tercongkel keluar. Ceruk di tulang kepala yang seharusnya menjadi tempat bagi mata kiri, tampak sebagai lubang hitam dengan tepian merah pekat, darah. Pipi kirinya terkelupas dan sudah membusuk. Aku dapat melihat beberapa belatung menggeliat di tepian daging yang mengelupas itu. Aku juga bisa melihat giginya berbaris rapi, dari geraham kanan hingga ke taring karena ia tidak punya pipi.

Aku melompat mundur dan bermaksud membalik badan untuk kabur. Aku harus lari secepatnya dari tempat terkutuk ini. Namun, aku tidak bisa melakukan itu. Aku sudah dikepung oleh mayat-mayat hidup yang entah datang dari mana.Tiba-tiba saja mereka sudah di dekatku dan merangsak maju. Mereka menggapai-gapai, hendak meraihku untuk dijadikan santapan makan malam. Mungkin bagi mereka aku terlihat sebagai daging segar berjalan yang lezat dan menggiurkan. Kebanyakan mereka tidak mempunyai anggota badan yang utuh. Ada yang kehilangan kaki sehingga harus merangkak, ada yang kehilangan tangan, bahkan ada yang kehilangan kepala, tapi masih bisa berjalan dengan mantap. Hampir semuanya mengenakan zirah samurai yang sudah rusak. Aku hanya bisa menduga bahwa mereka adalah roh prajurit klan Taira yang mati di Dan no Ura delapan ratus tahun yang lalu.

Di langit, purnama yang pucat bersinar. Cahayanya memantul di permukaan air laut Selat Shiminoseki yang berkilau dengan warna merahnya. Satu-satunya ruang yang tersisa untukku mengghindari para mayat hidup itu adalah laut. Tanpa pikir panjang, aku pun menceburkan diri ke lautan darah di selat. Aku harus selamat dari makhluk apa pun yang hendak memakanku. Semakin aku menjauhi mereka, berarti aku semakin menuju bagian dalam selat. Lautan darah merendamku pelan-pelan. Pinggang, dada, dan leherku terbenam berturut-turut seiring upayaku lari dari kepungan mayat hidup.Sialnya, aku tak bisa berenang dan mayat-mayat itu tak mau berhenti. Mereka terus mendesak maju.

Saat itulah aku menyadari keadaanku, bahwa aku harus menyerah. Aku berhenti. Mayat-mayat hidup itu sudah meraih tanganku dan tidak berniat melepaskannya lagi. Kupejamkan mataku. Kurasakan tubuhku ditarik ke arah gerombolan mayat hidup, dicakar, dikoyak, digigit dan dicabil-cabik. Perih, sakit. Tapi sebentar lagi semuanya selesai. Ya, kesadaranku mulai pudar. Mayat-mayat hidup itu boleh memakan dagingku sepuasnya, aku sudah bebas. Semuanya akan segera berakhir dalam keremangan di bawah cahaya bulan purnama.

***

Aku terbangun secara spontan. Mataku terbuka dan melihat langit-langit begitu saja. Aku masih hidup! Aku sedang terbaring di sebuah kamar tempat cahaya mentari pagi menerobos tanpa permisi melalui jendelanya yang terbuka lebar. Tubuhku terlentang di atas kasur, terbalut selembar selimut putih yang hangat. Aku bahkan tidak terluka dan tempat ini bukan rumah sakit, klinik atau semacamnya.

Setelah menyeka keringat yang membanjiri kening, aku baru ingat semuanya. Aku sedang berada di Pulau Kyushu untuk berlibur. Dari tempatku terbaring, jendela yang terbuka menampakkan jembatan Kanmon melintang dengan kokoh. Ia menopang berbagai kendaraan di punggungnya, seperti seutas tali terentang yang membiarkan semut-semut berbaris rapi di atasnya.

Semalam aku pasti terlalu memikirkan kisah akhir Perang Genpei, yaitu pertempuran di Dan no Ura yang akhirnya menyebabkan aku mendapat mimpi buruk. Yah, pada akhirnya tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Inilah dunia nyata. Hanya dalam mimpi saja aku dikeroyok mayat hidup.

Aku bangkit dan menyingkap selimut untuk beranjak dari tempat tidur. Sewaktu selimut tersingkap, kutemukan benda yang tak asing di baliknya. Bukan, bukan benda, melainkan binatang. Ia adalah kepiting Heike yang sempat terinjak olehku dalam mimpi semalam. Aku yakin sekali karena aku ingat betul pola di punggungnya. Dan, hei! Dia membawa ribuan temannya. Semua berlarian ke sana-kemari di lantai kamar, menampakkan barisan punggung bergurat wajah meringis pada topeng zirah samurai.

Caturtunggal, 29 Maret 2017

 

*Penulis part-time physicist yang mempunyai hobi menulis cerpen.

[1] Cantik, bukan?

[2]Pedang khas samurai.

[3]Permisi, Pak Samurai. Anu…

[4]Kenapa?

Ilustrasi: ryurhuneey.files.wordpress.com