Oleh: Atiqurrahman*
Tampaknya penyakit sistemik bangsa ini masih belum sembuh. Penyakit sistemik yang orang sering menyebutnya korupsi terus saja merajalela dan membengkak dalam sekujur tubuh bangsa ini. Setiap rentetan suksesi rezim politik kekuasaan hampir dipastikan praktek korupsi selalu ada, seakan praktek korupsi telah mengakar di jantung republik ini. Meskipun kita sadari bahwa struktur politik dan budaya Orde Baru telah lama tumbang sejak 19 tahun silam, namun operandi politik dan budaya korupsinya tetap saja berlanjut dan langgeng hingga saat ini.
Dikutip dari Detiknews.com pada 28 Agustus 2016, sepanjang tahun 2016 Indonesia Coruption Watch (ICW) melakukan pemetaan kasus korupsi di Indonesia pada bulan Januari 2016 hingga Juni 2016, ada sebanyak 210 kasus yang ditanganinya, dan 500 orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh tiga institusi penegak hukum yaitu lembaga kejaksaan, kepolisian dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Disamping itu, perilaku koruptif ini merupakan sebuah kejahatan tingkat tinggi yang tidak bisa ditoleransi keberadaannya. Dampak dari praktek korupsi tidak hanya membuat negara menjadi bangkrut dan terpuruk, tetapi juga membuat nasib rakyat serta bangsa ini menjadi semakin menderita dan sengsara. Karena korupsi merupakan suatu tindakan perampokan dan perampasan terhadap hak-hak orang lain yang dilakukan secara sengaja untuk kepentingan diri sendiri.
Kini, korupsi sudah menjadi penyakit sistemik yang telah menjangkit dan menyebar di seluruh lembaga-lembaga pemerintahan. Mulai dari lembaga legislatif, eksekutif dan juga yudikatif. Pilar lembaga demokrasi tersebut telah menjadi sarang yang nyaman bagi para koruptor untuk berperilaku culas dan amoral. Tanpa memikirkan nasib orang lain dan cita-cita luhur bangsa ini kedepannya.
Salah satu fakta yang ada adalah kasus korupsi Elektronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP), yang telah berhasil menyita perhatian publik belakangan ini. KPK mengatakan, akibat dari kasus korupsi E-KTP negara mengalami kerugian mencapai 2,3 triliun, sedangkan menurut Badan Pengaudit Keuangan (BPK) kerugian negara mencapai 2,55 triliun.
Dalam membaca dan memotret kasus korupsi E-KTP, tidak hanya sekedar melihat pada angka kerugiannya saja, melainkan harus membaca pula bahwa kasus ini merupakan salah satu bentuk persekongkolan jahat antara pihak legislatif (anggota dewan) dengan eksekutif (kementrian dalam negeri) dalam memainkan akrobatik korupsinya dengan cara memberikan uang kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan perumusan proyek E-KTP.
Maka, skema persekongkolan korupsinya cukup mudah ditebak, yaitu terdiri pihak swasta, legislatif dan juga eksekutif. Sedangkan operandi politik busuk dalam kasus ini, telah terjalin sejak lama dan sudah membentuk lingkaran setan. Mengingat proyek E-KTP telah berlangsung sejak tahun 2011 yang lalu. Pada akhirnya, KPK baru saja memutuskan dan menetapkan Irman dan Sugiarto sebagai terdakwa, juga Andi Narogong sebagai tersangkanya.
Selain itu, tidak hanya lembaga legislatif dan eksekutif yang juga pandai dalam memainkan akrobatik korupsi, melainkan juga lembaga yudikatif yang notabene memiliki fungsi sebagai pengawas dan kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Lembaga ini justru ikut serta meramaikan pentas akrobatik korupsi. Kasus suap yang menjerat mantan ketua hakim mahkamah konstitusi yaitu Akil Mochtar pada tahun 2014 kemarin misalnya, atau kasus yang terjadi pada akhir-akhir ini yang menimpa mantan anggota hakim mahkamah konstitusi yakni Patrialis Akbar yang menerima suap dari pengusaha terkait dengan uji materi UU no 41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan.
Dengan demikian, terjadinya akrobatik korupsi di setiap lini lembaga pemerintahan negara menurut hemat penulis memiliki titik singgung dengan atmosfer demokrasitisasi yang berkembang saat ini. Dimana, para koruptor/pemain akrobatik korupsi tersebut sedang menikmati dan berdendang ria di tengah panggung demokrasi yang berjalan absurd ini.
Bahkan para koruptor mencoba mengatur pola struktur tatanan demokrasi menjadi sebuah tempat yang subur untuk memelihara dan melestarikan tradisi korupsinya. Misalnya dengan cara membentuk pola politik dinasti dan memperkuat oligarki politiknya untuk menjaga lingkaran kekuasaan. Mulai dari tingkat lokal (daerah) maupun tingkat pusat (nasional). Sebagaimana publik pernah saksikan terkait postur realitas politik yang terjadi di Banten juga di Bangkalan, Madura yang penuh dengan selimut politik dinasti dan oligarki. Sehingga hal tersebut sangat berimplikasi pada ruang kompetisi politik yang tidak sehat dan tidak fair.
Di sisi lainnya, postur demokrasi yang berjalan saat ini menampilkan demokrasi yang selaras dengan kepentingan kekuatan elit. Demokrasi elit atau demokrasi oligarkis ini telah berhasil mendominasi dan menghegemoni seluruh ruang-ruang publik sipil. Akibatnya gelombang supremasi sipil beserta agenda ideologisnya seperti memperkuat sipil society, menyebarkan ruang kebebesan, mengkampanyekan ide-ide kritis dan lain sebagainya tidak memiliki ruangsedikitpun untuk tumbuh subur di dalam relung demokrasi oligarkis saat ini. Sehingga postur demokrasi populistik yang notabene bertumpu pada kepentingan rakyat dan masyarakat sipilsebagaimana kita idealkan tidak pernah terwujud hingga saat ini. Padahal gelombang civil society akan menjadi pintu alternatif untuk memutus rantai jaringan struktur dinasti politik dan oligarki politik yang kian marak terjadi di Indonesia.
Walhasil, selama 19 tahun reformasi mengumandang, narasi demokratisasi kita telah dibajak dan dirampok oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Demokrasi yang diharapkan mampu membangun martabat bangsa ini dari kemiskinan dan kebodohan, nyatanya hanya sebuah ilusi dan pepesan kosong. Karena demokrasi saat ini dibingkai oleh kepentingan elit melalui sistem (partai) politik yang miskin oreintasi ideologis dan tidak adanya transparansi di dalamnya.[]
*Penulis merupakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ilustrasi:Â himiespa.feb.ugm.ac.id