Oleh: Soimun Galih*
Pukul delapan kurang satu menit aku tiba di tempat kerja. Aku tidak menyangka kalau kios yang menyediakan buah-buahan segar di pinggir jalan itu sudah dibuka. Buah-buahan di dalamnya pun sudah ditata dengan rapi, padahal seharusnya itu menjadi tanggungjawabku. Aku tidak telat datang, tapi nyatanya telah ada orang yang mengambil alih tugasku ketika pertama kali tiba di tempat kerja.
Orang yang mengambil alih pekerjaanku itu, tentu saja adalah bosku, David namanya. Dia orang yang baik. Baru seminggu aku bekerja padanya. Aku menjadi penjaga kios buah miliknya.
“Baru datang Ndra?” sapanya.
“Iya, Mas,” jawabku tanpa merasa janggal sama sekali.
Oleh karena tahap persiapan kerja hari itu sudah diselesaikan Mas David, aku langsung menangani pekerjaan selanjutnya. Aku mengambil nota-nota penjualan hari kemarin yang belum sempat dicatat, lalu memindahkan data transaksi di dalamnya ke buku. Itulah yang harus kulakukan setiap hari, selain melayani pembeli.
Aku tidak tahu kenapa Mas David butuh nota penjualan untuk kios sekecil ini, tapi karena menanyakan pertanyaan itu tidak termasuk dalam daftar pekerjaan yang harus kukerjakan selama di kios, maka aku tidak pernah menanyakannya. Penjelasan Mas David yang didasarkan kutipan sepenggal ayat dalam kitab suci sudah cukup memuaskanku kendati aku tidak yakin itu alasan sebenarnya. Urusanku adalah kerja, menukar tenagaku dengan upah yang rencananya akan dibayarkan tiap bulan dengan jumlah sesuai kesepakatan di awal.
Bicara soal gaji, upahku di sini tidak banyak, nilai nominalnya pun berada di bawah UMR dengan jam kerja reguler. Aku bisa saja memilih kerja di tempat lain yang menawarkan gaji lebih tinggi, tapi aku suka kerja di kios buah ini. Meski di bawah UMR, gaji yang hendak diberikan Mas David cukup untuk keperluanku selama sebulan, karena aku termasuk orang dengan standar hidup rendah. Kerja di sini juga, pastinya tidak mensyaratkan kepemilikan atas ijazah perguruan tinggi. Aku sangat diuntungkan dengan ketiadaan syarat itu.
Selain itu, sebagai ganti dari rasa cukup terhadap gajiku, aku mendapat banyak waktu luang. Menjadi penjaga kios buah di pinggir jalan itu gampang. Kita hanya tinggal duduk diam, menunggu pembeli datang. Nanti kalau ada pembeli, kita layani. Setelah itu hasil penjualannya dicatat ke buku. Paling lama cuma lima menit, lalu kita bebas lagi. Waktu luang yang banyak itu selalu kumanfaatkan untuk membaca.
Usai mencatat nota penjualan dan merasa tidak ada pekerjaan lain, aku langsung beranjak ke tas pinggangku. Isinya bacaan pribadi. Aku hendak mengeluarkan dan membacanya ketika tiba-tiba Mas David menyeletuk, “Ndra, kamu tahu siapa itu karyawan profesional?” tanyanya.
Kuurungkan niatku untuk membaca, lalu menanggapi Mas David. Aku menggeleng. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud dengan karyawan profesional. “Enggak Mas. Memangnya siapa yang termasuk sebagai karyawan profesional itu?”
“Karyawan yang mengerjakan tugasnya sesuai standard operational procedure atau SOP, itulah karyawan profesional. Datang dan meninggalkan tempat kerja sesuai jam kerja yang telah disepakati bersama, melayani customer sesuai ketentuan yang berlaku. Ketika kamu tiba di sini jam delapan dan pulang jam empat tepat, itu berarti kamu telah menjadi karyawan profesional, Indra.”
“Tapi ada lagi satu jenis karyawan yang disebut karyawan ekstra profesional. Datang lebih awal, pulang agak telat, tahu dan menerapkan cara melayani customer dengan pelayanan terbaik di luar SOP. Nah, karyawan ekstra profesional inilah yang sangat dicari perusahaan. Kalau dia sudah bekerja, maka posisinya akan naik dengan cepat. Karyawan seperti inilah yang disenangi oleh atasan.”
Aku tertarik oleh frase “dicari perusahaan” karena itu berarti berhubungan dengan mudahnya mendapat pekerjaan, tapi dibuat bingung oleh “posisinya naik dengan cepat”. Di kios buah pinggir jalan ini hanya ada dua jabatan, Mas David sebagai pemilik kios dan aku sebagai karyawannya. Tidak ada jabatan lain di antara keduanya. Kalau aku menjadi karyawan ekstra profesional seperti yang dikatakan Mas David, dia senang dengan kerjaku dan hendak menaikkan posisiku, maka posisi apa lagi yang mungkin?
“Mas, aku tadi kan tiba di kios pukul delapan kurang satu menit menurut jamku, sedangkan jamku sudah kumajukan empat menit. Jadi praktisnya aku tiba di kios empat menit sebelum jam kerja. Berarti aku sudah menjadi karyawan ekstra profesional kan?”
Mas David nyengir. “Iya, Ndra. Tapi ada yang lebih ekstra profesional lagi, yaitu kalau kamu datang lima belas menit lebih awal.” Setelah bilang begitu, Mas David lalu pamit pulang. Aku segera mengeluarkan komik yang tadi urung kukeluarkan dari tas pinggang karena menanggapi Mas David. Maka, mulailah aku menunggu pembeli sambil membaca komik itu.
***
Aku terkena efek mencuatnya paranoia akan kebangkitan kembali partai terlarang PKI yang diwujudkan terhadap penolakan simbol mirip-palu-arit dalam uang kertas rupiah cetakan baru beberapa waktu yang lalu. Aku tidak ikut kalut, justru diliputi rasa penasaran. Bahwa PKI sempat melakukan kudeta dan hendak menjadikan Indonesia sebagai negara komunis pada akhir dasawarsa 60-an, dan karenanya partai tersebut harus dilarang secara resmi, adalah cerita yang beredar di antara orang-orang awam politik sepertiku. Namun benarkah cerita itu? Nalar seorang peragu membuatku mencari dan terus mencari kebenarannya. Penculikan dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh agama pra-kudeta adalah kejadian yang menyeramkan. Mungkin ceritanya sudah dibumbu-bumbui oleh pihak yang berkepentingan, tapi tetap saja menyeramkan.Hanya saja, aku selalu bertanya, apa iya setiap orang yang ikut dalam partai itu terlibat sehingga setiap anggotanya harus ditumpas-tuntas tanpa terkecuali?
Diliputi oleh keingin tahuan yang tinggi namun dibatasi oleh skeptisme khas ilmuan, aku mencari bahan-bahan yang menyajika segala informasi tentang seluk beluk PKI mulai dari awal terbentuk hingga dilarangnya secara resmi oleh negara. Banyak pro dan kontra yang kudapatkan, dan aku segera muak oleh opini-opini politis yang dituangkan dalam bahan-bahan bacaan yang kudapat itu.
Aku tidak tertarik pada politik, tapi komunisme sebagai seni berpikir, di sisi lain, justru sebaliknya.Melihat kesenjangan sosial yang terjadi di negara ini, mau tidak mau gagasan tentang struktur masyarakat yang setara, sama rata dan sama rasa sebagai solusi bagi masalah tersebut bagiku cukup menjanjikan. Gagasannya jauh lebih menarik daripada sisi politisnya. Aku segera tengelam dalam upaya untuk menyelami gagasan yang sangat digandrungi di Eropa timuritu. Barangkali pencarianku tidak menghasilkan penemuan besar seperti “solusi bagi masalah bangsa”, tapi sekurang-kurangnya dengan mempelajari kaitan antara buruh dengan pemilik modal lewat sudut pandang komunis aku tidak akan gampang dibodohi ketika aku menjadi seorang pegawai.
Meskipun aku sangat tertari pada komunisme, tapi ketertarikan tidak membuatku berjalan tanpa rambu-rambu. Seorang yang bijak di masa lalu pernah mengatakan bahwa komunisme itu seperti roman. Ia menawarkan cerita yang membuai, tapi pada praktisnya susah untuk diterapkan di dunia nyata. Rambu-rambu inilah yang selalu kupegang setiap kali aku membaca bahan bacaan tentang komunisme.
Sejarah mencatat bahwa propaganda tentang komunisme biasanya dipusatkan pada kesenjangan sosial antara pemilik modal, seperti Mas David, dan buruh, seperti aku. Bisa kubayangkan, jika aku hidup lima puluh tahun yang lalu, akan ada yang mendatangiku dan menjelek-jelekkan Mas David.
“Coba pikir baik-baik,” kata manusia imajinatif, yang kuberi nama Winarto, dalam pikiranku. “Bosmu bilang kalau karyawan ekstra profesional adalah karyawan yang sangat dicari perusahaan, bukan? Bah! Itu cuma tipuannya sebagai pemilik modal, sebagai bagian dari kaum borjuis. Bayangkan seandainya kamu dan buruh-buruh lain begitu bodoh, sehingga meyakini bahwa menjadi karyawan ekstra profesional itu benar-benar baik, maka kalian sebagai buruh akan berlomba-lomba untuk mendapatkan atribut itu. Padahal, seperti yang dibilang bosmu, karyawan ekstra profesional berarti karyawan menambah kerjanya tanpa dibayar.”
“Semua pemilik modal itu serakah. Mereka hanya ingin mengisi pundi-pundi uang mereka tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Duduk tenang di kursi goyang, mungin sambil minum secangkir kopi, lalu dengan sendirinya uang sudah mengalir ke kantong. Namun karena kita tidak bisa menghasilkan sesuatu dari ketidak adaan, akibatnya harus ada yang dikorbankan. Kamu dan para buruh sepertimu lah korbannya. Kalian lah yang mengambil peran untuk mengalirkan uang ke kantong-kantong mereka. Akibatnya,kalian yang semakin terjerat kemiskinan menjadi tumbal bagi para pemilik modal yang kian kaya. Ini nyata!”
“Masuk akal juga kata-katamu, kawan,” kataku sambil menepuk bahu Winarto. Betapa pun tampak nyata di mataku, senyatanya dia hanya imajinasiku.Maka sebenarnya aku sedang mengibas udara. “Namun aku juga tidak akan semudah itu termakan oleh ucapanmu. Mas David itu orang yang baik. Titik,” tambahku.
***
Keesokan harinya aku datang lima belas menit lebih awal. Aku merasa tidak enak hati kalau tidak menuruti keinginan Mas David. Aku menunaikan kewajibanku, sebagaimana kesepakatan diawal. Pun juga kuluangkan waktu dan tenaga “ekstra” di kios, supaya mas David senang dan aku dianggap sebagai karyawan ekstra profesional. Bukankah menurut kitab suci, menyenangkan orang lain adalah juga termasuk ibadah?
“Indra, besok kamu pakai minyak wangi ya. Yang cap Kapak, biar wanginya tahan seharian,” kata Mas David suatu ketika.
“Lho!? Badanku bau ta Mas?” tanyaku sambil membaui kerah dan lengan kaos. “Aku sudah mandi sebelum berangkat, dan belum berkeringat sampai sekarang.”
“Bukannya bau. Hanya saja, kalau kamu wangi customer akan lebih tertarik. Bayangkan kalau ada customer yang datang dan lihat kamu pertama kali, dia terkesan dengan bau wangimu. Lalu sepulangnya dari sini dia menceritakan pengalamannya membeli buah di kios ini, mungkin mengatakan pada teman-temannya kalau penjaga kiosnya ganteng dan wangi. Bayangkan efeknya, Ndra.”
Aku manggut-manggut paham. “Tapi, kenapa harus minyak wangi cap Kapak mas? Itu kan mahal harganya.”
“Alasannya itu tadi, biar wanginya tahan sehari penuh. Kan kamu jaga di sini dari jam delapan pagi sampai jam empat sore. Harganya memang dua kali lebih mahal, tapi efeknya dua kali lebih besar.”
Aku hanya tertawa. Meskipun harganya lumayan mahal, kubeli juga minyak wangi cap Kapak yang disarankan oleh Mas David menggunakan uangku. Keesokan harinya, aku datang ke kios dalam keadaan wangi, karena butir-butir minyak wangi cap Kapak sudah bersarang di beberapa titik potensial di badanku.
***
Bulan belum berganti, tapi aku sudah menghabiskan banyak uang demi menyenangkan Mas David sebagai atasanku. Dia tidak hanya memintaku memakai minyak wangi yang harus kubeli sendiri, tapi juga kaos trend, celana Jean’s dan lainnya. Aku tak pernah mengeluh karena dia sering memotivasiku untuk menjadi kandidat karyawan ekstra profesional terbaik di kota, bahkan negara ini.
Winarto sering datang ke kios kalau Mas David sudah pulang. Dia selalu mengatakan kalau orang seperti Mas David itu sangat jahat dan harus dimusuhi. “Kamu jangan bodoh, Ndra. Coba buka matamu lebar-lebar, aku tidak bohong. Buktinya kamu sudah menghabiskan uang untuk bosmu, bahkan sebelum gajimu diberikan,” katanya dengan nada kesal. Berkali-kali aku tidak menggubris ucapaannya yang kupikir hanya upaya untuk menjelek-jelekkan Mas David itu. Menjelek-jelekkan orang itu juga tidak boleh, menurut dalil dalam kitab suci.
Akhir bulan, Mas David memanggilku. Kukira panggilan itu adalah saat ketika aku hendak menerima gaji, tapi tampaknya aku salah karena dia tidak menunjukkan tanda-tandanya. “Ndra, aku lihat catatan pembelian dan penjualan buah bulan ini. Kok ada selisih beberapa kilo. Ini kemana?”
“Nganu, Mas. Kan Sampeyan bilang kalau karyawan ekstra profesional adalah karyawan yang melayani customer lebih dari yang seharusnya.”
“Betul.”
“Saya selalu melakukan itu. Misalnya, ketika ada orang yang membeli apel satu kilo, maka saya beri dia satu setengah kilo sebagai wujud dari pelayanan lebih yang Sampeyan bicarakan tempo hari. Tak pikir, ketika saya melakukan itu, dia akan memberi tahu teman-temannya. Dan memang benar. Sejak itu banyak yang datang ke kios untuk membeli buah.”
“Apa!?”
Caturtunggal, 26 Februari 2017
*Penulis part-time physicist yang punya hobi menulis cerpen.
Ilustrasi: toko-buahsegar.blogspot.co.id