AKU DAN SECANGKIR TEH
purnama di secangkir teh
mengkristal di antara reranting kering
dedaunan layu menyampah satu seruput
pandit-pandit penghisap
diriku, kusempatkan layu pada bias warna
kecoklatan yang menyemerbak bau tanah
ragaku, menyembul untuk kesekian tangis
pekerja paksa dari rahim moyangku
terlunta, sengsara
tak jarang makan sisa
secangkir teh memaksaku berlomba menggapai Izroil
tebu kematian bermahkotakan kekosongan, katanya
:jauh di sana
di negeri Nun
Alif tak pernah merdeka
sekalipun balutan fisik menentang langit
bak siwalan menggagahi taupan
kala sakal
Yogyakarta, 3 April 2017
NEGERI GEMBALA TANGIS
hilir mudik pentas bersambut di tepi surau
lelagu zikir menggantung pada lonceng bambu
menyeru, memanggil Mikail di langit lepas
barangkali mendung lekas hijrah
dari atap negeriku, Indonesia
gembala tangis melengking
perlahan muntah di kaki langit
anyir bagi sekawanan yang rahim surganya memeram luka
dan utopia
janji-janji terlupa
antek dipelihara
dari pentas yang tak kunjung usai
Yogyakarta, 4 April 2017
AKU DAN KOPI PARUH WAKTU
aku dan kopi bersenggama
malam ini
bercerita perihal pahit
dan sebujur sisa yang tertinggal
kau enggan bercerita lebih
sebab padamu kecemburuan terlahir
dalam secangkir
sisa-sisa yang tersisa
melumat keanggunan dan wibawamu
melebur di antara seserpihan semesta yang tak kau
kehendaki
sambil menganyam ampas kau bergumam
:bila tabiat menyerupa baiat
apa yang dapat diperbuat
oleh kita yang kecil
yang selepas nikmat ditinggalkan
untuk kepentingan sesaat
ya, seperti aku dan ampas
terhempas sepeninggal lalu
dari kecamuk tak waras
bukankah selalu begitu?
ah, ternyata kau hendak melucuti ke-aku-anku
lantaran yang kau temui kala itu
meninggalkanmu selepas lalu
sendiri dalam buai janji aku yang lain
mengandai setinggi siwalan rapuh
setiba jatuh, mengeluh
dan meninggal tak bernama
tanyaku “masihkah kau angkuh?”
Yogyakarta, 7 April 2017
Rodiyanto. Lahir di Sumenep. Alumni PP. Aqidah Usymuni Terate – Pandian.
Ilustrasi: kreasikrc.blogspot.co.id