Oleh: Fikriyatul Islami Mujahidiyah*
Sesungguhnya tidaklah pantas jika kampus dikatakan sebagi miniatur negara. Seolah-olah kampus yang seharusnya menjadi wadah mahasiswa bersama-sama mencari ilmu berubah menjadi cermin keadaan negara. Bukan rahasia lagi jika keadaan negara saat ini tengah carut-marut oleh kepentingan segelintir orang. Politik praktis, korupsi, saling menjatuhkan antara aparatur negara dan berbagai konflik lainnya. Hal ini juga tercermin pada keadaan kampus saat ini, terutama kampus dengan organisasi mahasiswa yang begitu beragam. Akibat keberagaman dan kurangnya rasa persatuan antara organisasi satu dengan organisasi lain, dinamika organisasi kampus lalu berubah menjadi politik praktis. Dimana organisasi mahasiswa hanya antusias merebut kursi kepresidenan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Tidak bisa dipungkiri jika duduk di kursi kekuasaan akan menimbulkan ‘ketagihan’. Terutama jika kursi itu diperebutkan dengan susah payah oleh sekelompok orang dengan ideologi sama. Rasa kebersamaan dan kepemilikan terhadap payung organisasi justru menimbulkan organisasi satu seolah-olah menjadi antipati terhadap organisasi lainnya. Organisasi-organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi jembatan antara birokrasi kampus dan mahasiswa akar rumput, berubah menjadi organisasi pejuang kursi kekuasaan. Politik praktis yang merasuk ke dalam diri mahasiswalah yang tanpa sadar memecah tubuh mahasiswa dengan jalan yang begitu halus.
Setelah berhasil mendekatkan diri dengan tataran birokrasi kampus, idealnya sebuah organisasi mahasiswa mulai bergerak mengkritisi keadaan kampus yang tidak pernah baik-baik saja. Namun lagi-lagi politik identitas menjadikan mereka justru sibuk menyusun strategi untuk tetap bisa bertahan di atas tampuk kekuasaan. Strategi-strategi yang dilakukan masif dan menyita banyak waktu seperti kaderisasi, penanaman ideologi partai dan lain sebagainya, menjadikan mereka yang telah duduk strategis menjadi lalai. Aksi-aksi yang dilakukan seringkali hanya sebagai strategi pencitraan organisasi terutama kepada mahasiswa baru yang masih awam. Terbukti dengan pembacaan tidak matang atas tuntutan aksi dan kemandekan aksi yang hanya sampai permukaan saja.
Seperti teka-teki mutlak, terkecohlah mahasiswa baru oleh aksi kepahlawanan sesaat. Maksud hati ingin mendukung bahkan menjadi bagian organisasi yang diharapkan bisa memajukan kampusnya, justru terjebak ke dalam pusaran politik praktis yang berbahaya. Perlahan tanpa sadar kader-kader baru ini akan mengikuti jejak para seniornya mengejar kursi kekuasaan. Teori interpelasi bekerja nyata disini, sistem mengubah individu menjadi subyek dengan ideologi tertentu, untuk kemudian menjadi patuh tanpa perintah. Maka terulanglah mekanisme kuasa-menguasai ini terus-menerus seperti lingkaran setan yang sulit terputus.
Sementara itu, hubungan antar organisasi semakin tidak harmonis. Mahasiswa serta organisasi mahasiswa tempat bernaungnya kader-kader bangsa yang telah terkontaminasi politik praktis kampus seolah-olah memberikan jarak antara mahasiswa satu dengan mahasiswa lainnya yang berlainan ideologi. Hal ini juga menjadi salah satu faktor perpecahan di tubuh mahasiswa. Mengingat kampus merupakan miniatur negara, tampak dengan jelas perpecahan negara Indonesia melalui apa yang terjadi pada tataran kampus. Bagaimana mahasiswa akan mengawal birokrasi untuk tetap berada pada relnya jika perpecahan masih terjadi dikalangan para pengawal itu sendiri.
Di lain sisi, para mahasiswa yang masih berada pada oposisi independen, para intelektual yang belum terkontaminasi syahwat kekuasaan, dan siapapun yang anti politik praktis di kampus justru enggan campur tangan. Mereka tak berniat mengisi kursi utama organisasi mahasiswa intarkampus. Jikalau ada yang membuka mata dan berniat mencalonkan diri, lagi-lagi berbagai jerat menghalangi langkahnya. Massa mahasiswa telah dikuasai oleh ideologi partai yang akan menganggap musuh siapapun yang berusaha mengambil alih kursi kekuasaan. Kalaupun ada yang memiliki cukup massa, mereka tidak memiliki strategi yang matang. Berbeda dengan mahasiswa yang ngebet politik praktis, yang telah menyiapkan strateginya dengan matang.
Kekalahan kaum intelektual pada dasarnya terletak pada ketidakacuhan terhadap realita. Mereka berusaha melindungi diri agar tidak ternodai politik praktis, namun lupa memikirkan dampak yang terjadi akibat oknum-oknum pegiat kursi kekusaan. Apabila mahasiswa aktivis yang masih memilki kekuatan independen mau bersatu dan terjun membenahi keadaan, kemungkinan besar politik identitas di kampus akan berkurang. Dengan hadirnya pemimpin independen yang tidak memihak kepada partai manapun, birokrasi kampus akan bisa dikawal dengan baik.
Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang sadar akan kebobrokan dinamika di dalam kampus, kita perlu saling mengingatkan satu sama lain dan berusaha mendekatkan jarak antar golongan. Tidak perlu pandang bulu, apakah dia GMNI, PMII, HMI, KAMMI, tidak peduli dia mahasiswa kaya, sederhana, stylish, mahasiswa harus mempunyai satu payung yang kokoh, untuk bekerjasama mengawal birokrasi yang semakin hari semakin sulit diminta transparansi atas segala kebijakanya.
Kampus lebih layak disebut sebagai laboratorium negara, bukan miniatur yang menggambarkan kehidupan negara. Melainkan laboratorium sebagai tempat kaum intelektual diasah dan ditempa untuk membawa masa depan negara menuju arah yang lebih baik. Ketika fungsi mahasiswa sebagai calon pengemudi negara dinodai oleh kegiatan-kegiatan politik praktis dan kepentingan politik identitas, sudah jelas akan dibawa kemana arah negara ini untuk selanjutnya.
*Mahasiswa Fakultas Dakwah jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saat ini sedang berproses di LPM ARENA.