Lpmarena.com- Yogyakarta dengan status “ke-istemewaan-nya” perlu dipertanyakan. Sebagai kota yang notabenenya masyarakat berwatak sendiko dawuh dan nrimo seolah-olah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menerapkan upah paling minim se-Indonesia. Demikian yang diucapkan oleh Nabila salah satu narasumber pada seminar yang diselenggarakan oleh Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Pusat Studi Masyarakat (PSM) Yogyakarta dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dengan tema “Evaluasi Kebijakan Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Buruh di DIY”, Rabu (26/04), di Gedung DPD Yogyakarta.
Senada dengan Nabila, Ade Irsyad moderator acara juga menyampaikan keadaan Yogyakarta sebagai daerah termiskin se-Jawa. Walaupun demikian, Gubernur DIY justru termasuk orang terkaya nomor 119 se-Indonesia.
Kirnadi dari ABY yang juga sebagai pembicara dalam seminar menuturkan upah di Yogyakarta telah direduksi. “Sejauh ini yang telah ditampilkan hanya sebatas prosentasenya saja,” jelasnya. Ia menambahkan, Gubernur Yogyakarta memiliki kewenangan yang tidak diberikan ke rakyatnya yaitu upah sektoral. “Padahal upah sektoral mampu menambahkan 5 % hingga 6 % upah buruh.”
Dengan upah yang begitu minim, menjadikan Yogyakarta sebagai kota paling besar ketimpangannya di seluruh Indonesia. Seperti yang dilansir oleh Data Boks ketimpangan di Yogyakarta terbesar setelah Gorontalo. (Lihat indeks).
Keminiman upah di DIY juga dapat dilihat pada indeks yang dilansir oleh Data boks di bawah ini.
Nabila menyayangkan Undang-Undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan itu adalah model kebahagiaan semu. Dalam UU tersebut, memaparkan keharmonisan proses kerja dari pekerja dengan majikan. “Padahal kepentingan pekerja dengan pengusaha itu bertentangan,” jelasnya. Keinginan keharmonisan yang menjadi harapan pemerintah terhadap keadaan pekerja Indonesia itu karena misi pemerintah yang selalu menggaungkan hubungan industri Pancasila.
Nabila juga menambahkan, kesejahteraan yang tertera dalam UU ketenagakerjaan bersifat semu, dalam pelaksanaannya tidak ada pengawasan. “Undang-Undang ketenagakerjaan itu tidak realistis, sekalipun realistis itu sangat perlu adanya pengawasan supaya benar-benar terlaksana kesejahteraan bagi pekerja,” jelasnya kembali.
Nabila mencontohkan dengan outsourcing yang diterapkan di Indonesia cenderung mangalami perlawanan dari pekerjanya. Lain dengan di luar negeri, di mana outsourcing menjadi pilihan dari pekerjanya. “Di Indonesia outsourcing ditolak, karena tidak adanya jaminan bagi hak-hak buruh atau pekerja. Masyarakat Indonesia memandang outsourcing itu adalah masyarakat kelas dua. Dari keadaan ini disebabkan karena kurang terjaminnya hak-hak buruh yang terdapat dalam UU ketenagakerjaan,” paparnya.
Tidak hanya itu, politik ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Jokowi dalam rangka masuknya investasi ke Indonesia, serta paket Kebijakan Ekonomi Jokowi dirasa Kinardi yang menjadikan hilangnya akses buruh untuk mendapatkan upah yang layak.
Di akhir pembicaraan, Nabila memberikan contoh bagaimana daerah Aceh yang notabenenya sama daerah istimewa seperti Yogyakarta mampu membuat aturan rumusan sendiri. “Kita tidak akan merasakan kesejahteraan selama masih memakai rumusan yang ada di PP 78 itu. Daerah Aceh dia mampu membuat aturan rumusan sendiri sehingga hasilnya di atas upah minimum yang telah diperhitungkan. Aceh bisa demikian karena ia daerah istimewa. Jogja juga bisa seharusnya,” jelasnya. Ia juga berharap upah minimum yang diusahakan oleh serikat buruh tidak hanya sekedar membahagiakan, tetapi juga mensejahterakan.
Reporter: Anis Nadhiroh
Redaktur: Wulan