Home BERITA UKT, Sistem yang Harus Dikawal dan Dirubah Bersama

UKT, Sistem yang Harus Dikawal dan Dirubah Bersama

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com- Pencabutan pasal yang membolehkan adanya pungutan biaya di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT) oleh lembaga kampus menjadi menjadi salah satu tuntutan yang diajukan oleh aliansi gerakan mahasiswa lintas kampus Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) saat memperingati Hardiknas dengan aksi long march dari Abu Bakar Ali sampai titik 0 KM Yogyakarta pada Selasa siang (2/5).

Salah satu pasal tersebut adalah pasal 9 ayat 1 permenristekdikti nomor 39 tahun 2016 yang menyatakan bahwa Kuliah Kerja Nyata (KKN) termasuk dalam kategori kegiatan yang tidak ditanggung biayanya oleh kampus. Hal ini melegitimasi kampus untuk memungut biaya di luar UKT mahasiswa atau tidak membiayai KKN mahasiswa.

Ditemui dalam sela-sela aksi, Viki Artiando Putra, Sema Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang terlibat aktif dalam GNP menyatakan, bahwa adanya pungutan itu sudah menabrak konstitusi. Hal tersebut juga menjadi wujud pelaksanaan hukum yang tidak konsisten karena pada mulanya dulu dinyatakan tidak ada pemungutan biaya di luar UKT karena sudah masuk dalam rancangan unit cost. “Nah ini kan artinya UKT sudah tidak tunggal lagi,” ungkap Viki.

Selain pasal di atas, GNP juga menuntut pencabutan pasal 9 ayat 1 permenristekdikti nomor 22 tahun 2015 tentang biaya kuliah tunggal (BKT) dan uang kuliah tunggal pada perguruan tinggi negeri di lingkungan kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Pasal tersebut membolehkan kampus melakukan pungutan biaya lain di luar UKT terhadap mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri dan kerjasama, mahasiswa asing, dan mahasiswa kelas Internasional.

Memandang kasus ini, Himawan Kurniadi mahasiswa Universitas negeri Yogyakarta (UNY) yang terlibat di Rumah Belajar Rakyat (RBR) dan aktif di GNP menyatakan kasus tersebut merupakan wujud sistem yang harus dikawal dan dirubah bersama.

“Jadi ini nggak sejurus dengan niatan UKT meskipun UKT itu juga tidak menyelesaikan persoalan,” jelas Adi.

Isu Nasional

Viki yang juga terlibat aktif di forum legislative mahasiswa indonesia (FL2MI) meyatakan dalam level nasional FL2MI telah mengajukan legal opinion, namun pihaknya melihat materi yang diajukan tersebut masih normative. Meskipun isu UKT menjadi rekomendasi pada berbagai musyawarah nasional, namun logika awal yang terbentuk di kalangan tersebut adalah logika kompensasi. Hal ini menjadikan isu yang diangkat tidak radikal dan rapuh.

“Seolah asal comot, jadi tidak ada isu strategis yang dibangun,” ungkapnya.

Dia juga menilai mengawal UKT dengan bentuk gerakan dan audiensi tidak cukup. Keterlibatan banyak elemen gerakan menjadi hal yang diperlukan. Selain itu aksi turun ke jalan menjadi penting digalang untuk bisa menciptakan tekanan politik.

Namun persatuan multi elemen gerakan mahasiswa masih juga terhalang dengan pragmatism identitas dan tidak massifnya kelompok diskusi yang radikal, serta tidak terbenturnya gerakan dengan persoalan-persoalan yang real. Viki memandang jika kelompok diskusi radikal kuat, maka hambatan persatuan gerakan akan terkikis.

Tidak begitu berbeda dengan Viki, membaca persoalan UKT,  Adi menilai ada masalah dalam gerakan mahasiswa. Meskipun disuarakan oleh banyak organisasi namun sampai hari ini belum juga mendapatkan kemenangan kecil. Berkaca pada gerakan ’98 dan ’75 Adi melihat konsistensi gerakan dalam mengawal satu isu. Namun semangat generasi tertentu tidak menurun pada generasi selanjutnya.

Persoalan identitas juga masih menjadi kendala untuk mencapai gerakan bersama. Adi melihat gerakan mahasiswa masih berebut kader dan saling nyinyir antar gerakan. “Hal itu mengakibatkan kemunduran gerakan mahasiswa hari ini,” terang Adi.

Sementara itu melihat pentingnya konsolidasi antar gerakan dalam konteks nasional, Viki menawarkan solusi meledakkan gejolak di kampus masing-masing dengan isu yang hampir sama dan perspektif yang seimbang di berbagai elemen kampus. Hal tersebut tentu dibarengi dengan forum strategis yang kritis di tataran nasional. “Minimal sebenarnya DIY ini punya kekuatan,” jelasnya.

Reporter: Syakirun Ni’am

Redaktur: Wulan