Oleh: Wulan Agustina Pamungkas*
Rasanya belum terlewat dari ingatan kita, pada 3 Mei, kita baru saja memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia. Pada tahun ini pula rupanya Indonesia, tanah air tercinta dipercayai menjadi tuan rumah pada World Press Freedom Day 2017, entah apa yang menjadi alasan Indonesia terpilih menjadi tuan rumah? Mungkinkah karena sudah berjalan dengan baik kebebasan pers di negara kita tercinta? Sudah terpenuhinya hak- hak jurnalis? Atau barangkali ini merupakan sindiran atas beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang hingga saat ini tak kunjung selesai, bahkan dari waktu ke waktu justru semakin mengkhawatirkan?
Bukan tanpa sebab asumsi terakhir muncul di benak, pasalnya di tanah air tercinta yang katanya sudah menjamin kebebasan pers serta perlindungan hukum untuk para jurnalis dalam melakukan kerja jurnalistiknya toh masih banyak dijumpai kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Berdasarkan data yang tercantum dalam wpfd.aji.or.id, setiap tahun, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang menjalankan profesinya terus terjadi di Indonesia. Dalam hal ini, AJI Indonesia telah melakukan pemantauan kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak tahun 1997, dan menemukan fakta bahwa jumlah kasus kekerasan itu tidak pernah kurang dari 30 kasus per tahun.
Sedikitnya telah terjadi 12 kasus pembunuhan jurnalis terhitung sejak tahun 1996. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dari 12 kasus pembunuhan jurnalis itu terdapat delapan pembunuhan jurnalis yang terbengkalai dan para pelakunya belum diadili.
Delapan kasus pembunuhan jurnalis yang kasusnya tak terselesaikan antara lain adalah Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010), serta kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta). Belum lagi beberapa kasus kekerasan yang dialami oleh Persma (Pers Mahasiswa).
Menurut data yang dipublikasi oleh persma.org, sejumlah 88 Persma di Indonesia mengalami tindak kekerasan. Kekerasannya pun bermacam-macam, mulai dari fitnah, intimidasi, kriminalisasi, pelecehan, pembatalan izin, pembekuan, pembredelan, pembubaran acara hingga perusakan karya.
Belum lama ini, 2 Mei 2017 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Fikri Arif dan Fadel Muhammad Harahap jurnalis dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Bursa Obrolan Mahasiswa (BOM) Institut Teknologi Medan (ITM) ditangkap oleh kepolisian saat melakukan kerja jurnalistiknya. Meskipun sudah menunjukkan surat tugas kepada kepolisian saat peliputan, mereka tetap di bawa ke kantor Polrestabes Medan.
Saat ditemui oleh Syahyan P Damanik selaku Pimpinan Umum (PU) LPM BOM ITM pada 4 Mei 2017, kedua jurnalis tersebut diakui Syahyan dalam kondisi yang memprihatinkan. Keduanya menggunakan baju tahanan dengan tangan diborgol. Fikri Arif mengalami luka lebam di bagian wajah dan mengaku penglihatan sebelah kiri sedikit kabur atau tidak jelas. Sedangkan Fadel Muhammad Harahap hanya mampu tertunduk lesu tidak bersemangat saat dimintai keterangan karena luka dikepala.
Hal ini jelas menambah rentetan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Indonesia, sekaligus menodai kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Dan setiap bentuk pembatasan baik pembatasan preventif atau represif yang dilakukan tanpa mengikuti prinsip-prinsip atau tatanan demokrasi dan negara hukum, adalah pembatasan yang sewenang-wenang oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa hal tersebut “dilarang”.
Tidak hanya melanggar kemerdekaan pers yang sudah jelas tertulis pada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, apa yang terjadi kepada kedua jurnalis dari LPM BOM ITM juga merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Tidak hanya hak sebagai jurnalis dalam melaksanakan kegiatan jurnalistiknya yang sebenarnya mendapat perlindungan hukum yang kemudian direngrut oleh “pihak yang tidak bertanggung jawab” atau barangkali tidak memahami kemerdekaan pers tersebut. Namun dalam kasus ini “pihak yang tidak bertanggung jawab” tersebut juga telah melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi yang sedang diliput atau dipublikasikan kedua jurnalis tersebut.
Tindakan yang dilakukan “pihak yang tidak bertanggung jawab” tersebut secara langsung maupun tidak langsung sudah membatasi dan membelenggu kebebasan pers, yang berarti sudah meniadakan dan menutup kesempatan pertukaran kebenaran dan informasi. John Stuart Mill pernah mengatakan bahwa setiap upaya pembungkaman hak berekspresi (kebebasan pers) baik terhadap individu maupun kelompok minoritas tertentu, berarti meniadakan sesuatu yang penting bagi masyarakat. Perilaku “pihak yang tidak bertanggung jawab” tersebut jelas sudah melakukan pula pembungkaman, serta meniadakan sesuatu yang penting bagi masyarakat. Menodai demokrasi di tanah air yang belum lama ini menjadi tuan rumah World Press Freedom Day 2017.
Apalah arti perayaan yang tiap tahunnya kita peringati bersama, tanpa adanya usaha memperbaiki suramnya “Kemerdekaan Pers” yang terjadi di tanah air tercinta. Hentikan kriminalisasi pers, hentikan pembelengguan terhadap pers, hentikan pembungkaman terhadap hak berekspresi, hentikan kekerasan terhadap jurnalis, usut secara tuntas segala pelanggaran terhadap kemerdekaan pers. Sejatinya tanpa kemerdekaan pers, tidak ada demokrasi. Kalaupun disebut- sebut sebagai demokrasi, hal tersebut tak lebih dari demokrasi semu belaka.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik
dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif
dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: Lawan! (Wiji Thukul)
*Penulis hanya seorang pengagum lelaki gondrong yang suka menulis, serta penikmat kopi yang sedang mengimani kantuknya.