Oleh: Akmal*
Malam mulai larut dalam nyanyian anak-anak yang berada dalam ujung jalan itu. Kumaknai sebuah malam ini dengan keangunanmu dalam mengenakan sebuah kata yang tersampirkan dalam raut wajahmu. Aku hanya sebuah noda kecil dalam lebar putihnya kain sorbanmu. Sehingga aku tak kau anggap hidup dengan perkataanku, atau mati dalam mempesonanya pakaianmu.
Kau selalu sebut-sebut nama Tuhanku dalam setiap mimbarmu. Mempesonanya kalimat-kalimat yang kau susun sehingga banyak manusia yang lari memperhatikkanmu. Aku semakin tak terlihat walau nodaku di sorbanmu semakin membesar.
Suatu ketika, aku berjalan lepas memperhatikanmu bersandiwara di atas dialektika yang kau susun rapi bagai syair Arab. Aku bertemu dengan seorang yang sangat mengagumimu. Setelah ngobrol panjang lebar, yang semua itu berisi tentang kebaikanmu. Aku menoba bertanya nama dengan sopan dan penuh kearifan layaknya abdi dalem pada raja kekaisaran “namamu siapa mas?”
“Aku Dizzy” ia menjawab. Tanpa aku suruh dengan bangganya dia mempresentasikan dirinya, ia menjelaskan bahwa ia berasal dari desa “Moh Maju”. Isi dalam sebuah perkenalannya bertebaran prestasi dan kebaikan. Aku berpikir dalam batinku “orang ini macam sales MLM kalau berbicara”, dengan begitu aku malah semakin ragu atas sikap aneh-anehnya itu. Semakin ia memperdalam kebaikan cerita dirinya maka aku akan semakin meragukan orang-orang seperti itu.
Aku masih berdiam. Ditemani sajak-sajak yang keluar dari sebuah mesin yang berjalan, dan juga Dizzy sebagai kawan yang baru saja aku kenal. Aku pun mendeklarasikan langsung ia sebagai kawanku. Sebagai bahan koleksi kawan-kawan yang aneh seperti itu. Otak kecil yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku terus berpikir tentang tingkah laku Dizzy dan tokoh yang ia sanjung-sanjung itu.
Aku mulai membuka-buka kamus yang telah kubeli di sebuah pameran Jalan Sudirman. Aku membaca dengan sangat perlahan sambil menikmati alunan pena yang telah digoreskan penulis kesayangan. “Nah ketemu” aku berteriak kegirangan sampai kerbau di sampingku bangun. Dizzy artinya pusing. Sambil tertawa tersendu-sendu aku mengolah kembali memoriku tentang perilaku dan sikap yang ia presentasikan.
“Pantas” dalam batinku yang sedang berdialog. “Mungkin ia juga pusing memilih idola yang ia banggakan” sambung batinku mengatakan. Ucapan “ kafir” yang keluar dari mulutnya dan mulut pujaannya mungkin juga produk dari kebinggungan. Sehingga teramat lucu bagiku menilai orang hanya dengan sebuah penampilan. Hingga ucapan takbir yang agung dibawa ke atas mimbar-mimbar pertikaian. Menjadikan takbir sebagai alat provokasi yang katanya mirip dengan perjuangan kaum-kaum pahlawan yang gugur dalam memenangkan kebebasan.
Aku mencoba mencari makna takbir yang mereka sebut itu. Benarkah itu sebuah simbol keagamaan atau sebuah simbol perpolitikan. Ku renungkan dan resapi hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang yang kuanggap sebagai guru spiritual dalam menuntunku untuk dekat dengan Tuhan. Sebut saja namanya Rozi, anak lulusan pondok pesantren yang sangat hafal dengan kitab Jalalain.
“Roz, bagaimana menurutmu dengan pernyataan takbir yang digunakan sebagai alat perluasan lahan pribadi”. Dengan santun ia menjawab, “Takbir sebagai simbol keagamaan, sebagai semangat dalam perpolitikan bukan sebagai alat untuk memobilisasi massa untuk menjatuhkan salah satu rezim untuk mencapai sebuah kepentingan golongan”. Dengan sedikit tersenyum aku menyambut pernyataan Rozi tersebut. Lewat benda aneh yang sering disebut masyarakat Moh Maju hape, Rozi menjelaskan kepadaku.
Segera kuakhiri diskusi dengan Dizzy karena kuanggap dia juga berusaha memprofaksiku dengan cerita-cerita tokoh kebanggaannya itu. Aku berjalan menyusuri ruang kota dan berusaha meninggalkan malam. Teringat besuk akan tiba ujian dengan tumpakkan tugas yang masih aku sampirkan bersama jemuran.
Syair-syair yang dikeluarkan Dizzy menemani sampai tiba aku dalam ranjang. Sebagai objek analisisku untuk tugas yang diamanahkan bapak guru pagi minggu lalu. Sesegera aku membuka lepi benda unik keluaran abad 21. Kutulis tebal pernyataan “kafir” Dizzy dan pujaannya itu terhadap orang yang tak sepaham dengan ideologi yang mereka anut.
Malam ini kunikmati dengan bersenggama lepi sebagai teman diskusi dan pernyataan-pernyataan Dizzy sebagai bahan pergunjingan.
Semakin lama semakin aneh dunia ini ucapku pada lepi yang selalu setia menemani jemariku menari. Apa mungkin ini akibat dari jauhnya dengan masa kenabian ? Sehingga banyak ideologi yang berterbangan. Kejelasan kebenaran mereka juga direlatifkan.
Apa aku jangan-jangan masyarakat yang lucu juga. Hidup dalam era lucu, dengan logika terbaliknya itu. Sehingga orang yang dianggap benar adalah orang yang berkuasa. Sedangkan orang yang berkuasa adalah orang kaya. Walau pengetahuan yang mereka gunakan biasa-biasa saja. Ataukah mungkin ini hanya firasatku yang mencoba melawan kerangka-kerangka itu. Pun demikian kekuasaan juga dimiliki orang yang pandai dalam mengolah kata dalam mimbar-mimbar. Seolah kebenaran yang mereka ucapkan adalah kebenaran Tuhan akhirnya mereka mempunyai kebebasan untuk menjatuhkan lawan yang dianggap sebagai penghalang.
Pernyataan-pernyataan Dizzy masih menjadi bahan gosipku dengan lepi. Mencoba membedah satu persatu dengan fenomena sosial yang terjadi. Terbesit dalam otak kecilku apakah mereka bukan diproduksi oleh masyarakat sehingga mereka tidak memikirkan pikiram-pikiran masyarakat yang tak sepaham itu. Atau malah mereka hidup instan langsung menjadi seorang super hero yang turun dari kayangan untuk mejadi pemimpin umat agar menyelesaikan problematika sosial dan keagamaan. Hingga akhirnya mereka menjadi seorang yang agung-agungkan, seolah ucapannya tidak ada yang harus disalahkan.
Keasyikan mengosip. Aku juga mungkin menjadi salah satu bagian dari orang-orang lucu itu. Tidak memikirkan kondisi kesehatan lepi yang sedang mengigil sehingga perlu untuk diberi vitamin karena sudah ada alarm peringatan berkali-kali. Lepi kamu kenapa? Tanyaku bodoh dalam tarian jemariku di atasnya. Ia tak menjawabnya dengan kata, tapi menunjukkan kepadaku dengan kesetiaan dan kekuatannya.
Mencoba kubandingkan Dizzy dengan lepi. Lepi yang dengan setia menemani tak pernah menyalahkan dan berjuang tanpa pernah mengeluarkan kata-kata pengeluhan. Berbeda dengan Dizzy yang selalu berpikir untuk kebaikan dirinya. Membenarkan orang yang seideologi dengannya dan menyalahka bahkan mengkafirkan orang yang tak sepaham atau seide dengannya.
Terakhir curhatanku dengan lepi. Apakah memang yang benar-banar baik adalah yang selalu setia menemani tanpa harus menghormati atau entah yang lainnya aku masih membingungkan tentang kondisi itu lagi. Entahlah aku pergi!![]
*Penulis mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga.
Sumber ilustrasi: http://abai.kz/post/38063