Home BERITA Noise On 2019: Kritik Terhadap Bangsa yang Sakit

Noise On 2019: Kritik Terhadap Bangsa yang Sakit

by lpm_arena

Lpmarena.com – Di panggung itu ada enam bilik kamar kecil. Berisi enam orang dengan berbagai latar belakang. Mereka tengah melakukan pup sambil ngedumel tentang persoalan di sekitar mereka. Lalu, di atasnya muncul orang-orang berpakaian jas menceracau mengenai sejarah, politik, dan pemilihan umum di Indonesia sampai ke tanggal-tanggalnya.

Seperti itulah gambaran pembuka pentas teater surealis berjudul “Noise On 2019” oleh Teater Soekamto Universitas Slamet Riyadi Surakarta (UNISRI), Kamis (18/5), di Gelanggang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Pentas tersebut adalah pentas terakhir dari road show Teater Soekamto di tiga kota: Surakarta, Semarang, dan Yogyakarta.

Pentas ini menggambarkan tentang sebuah bangsa yang sedang sakit. Di mana generasi muda yang menjadi bagian dalam pergerakan bangsa, malah dirancang ke dalam sistem-sistem pembodohan dan proyek pembangunan.

Noise On 2019 merupakan naskah yang ditulis oleh Ahmad Anwar, yang juga bertindak sebagai sutradara pementasan. “Sedang menyampaikan kondisi Indonesia yang tak ada lagi perhatian,” ucap Aan panggilan akrab Ahmad Anwar dalam diskusi karya seusai pementasan.

Aan menyatakan, naskah Noise On 2019 berangkat dari basic teman-teman Teater Soekamto, juga kondisi-kondisi yang terjadi di kampus. Di UNISRI, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sering mendapat tekanan dan dianak tirikan oleh birokrasi kampus. Sampai-sampai anggota UKM Teater Soekamto demo ke kampus. “Teater kok demo?” katanya sambil tertawa. Demo tersebut berkaitan dengan jam malam dan akses latihan yang minim, sehingga sering mendapat semprot dari warga jika latihan hingga larut malam.

Selain itu, Aan menilai, teman-teman Teater Soekamto yang ikut produksi cocok untuk membawakan naskah nasionalisme. Ditambah karakter-karakter mereka yang memainkan naskah ini berbeda. “Pas latihan, di kita ada latihan berpikir cepat. Rata-rata yang keluar dari mulut mereka dialog perlawanan,” jelas Aan.

Di dalam tahap proses penggarap pentas selama 2,5 bulan, Hari Wahyu selaku pemain mengatakan, di awal proses ia dan teman-temannya mencari referensi mengenai sejarah dan sistem pemerintahan Indonesia sebelum merdeka, yang itu mengakibatkan rusaknya moral anak bangsa. Wahyu juga dalam pendalaman peran, ia mendalami karakter anak punk yang menolak kemapanan.

Sebagai penonton dan pegiat teater, Ali mengungkapkan analisanya terhadap pementasan tersebut. Ali yang memposisikan dirinya sebagai penonton egois (penonton yang menuntut apa yang dia dapatkan dari pementasan) menilai di fragmen awal, manusia dan toilet merupakan hal yang kontradiktif.

Toilet melambangkan sisi paling pribadi dari manusia. Ketika orang berada di sana, ia tak ingin diganggu, tapi ini diumumkan. Di toilet pula, yang paling ampas dan paling bau dari kita, kita tidak merasa jijik. Seperti pada tai sendiri, manusia tidak jijik, tapi pada tai orang lain dia jijik. “Sesuatu yang busuk dari kita, kita sangat suka dan gak jijik. Padahal di luar, yang baik pun ada yang gak suka,” kata Ali.

Terkait nasionalisme, Ali merasa baru ngeh di adegan aktor yang menghitung sampai angka 17. 17 sebagai simbol dewasanya seseorang oleh negara, sebab dia bisa memilih. Juga di adegan bayi besar yang bermain mainan anak-anak dan disusul bayi-bayi besar lainnya yang saling rebutan makanan.

Selain kritik nasionalisme, Noise On 2019 juga merupakan kritik media. Ada adegan tentang permainan game yang saling kisruh. Juga tayangan Masha and The Bear sebagai kritik terhadap tontonan anak saat ini. Sejarah animasi Masha sendiri sangat mengenaskan. Aan bercerita, ada anak bernama Masha yang pas pergi ke kebun binatang (di cerita yang lain disebutkan Masha pergi ke sirkus, mitos tentang Masha masih menjadi perdebatan), ia terlepas dari orang tuanya. Lalu, Masha masuk ke kandang beruang dan dilahap oleh beruang itu.

Aan menambahi, pentas ini merupakan proyeksi kegelisahan akan kondisi Indonesia ke depan. “Kami berharap yang nonton kembali melek dengan politik. Kita bisa kok mengkritisi dengan cara ringan, seperti teater. Kita korban kebijakan. Kita tidak menutup kekritisannya, terlebih pada Pilpres 2019,” ujar Aan. “Apapun, kami akan tetap melawan!” tutup Aan.

Reporter: Isma Swastiningrum

Redaktur: Wulan