Oleh: Attiqurahman*
Islam adalah agama organik yang selalu berkembang dan menyesuaikan dengan spirit zaman. Sebagaimana umat meyakini, bahwa Islam adalah “Llikulli Zaman wal Makan’’. Islam mampu beradaptasi dengan konteks sejarah dan sosio-kultural umat manusia. Kehadirannya di muka bumi tidak hanya mengajarkan tentang faham monoteisme (ketauhidan) dalam beragama, namun juga memberikan pemahaman kepada umat manusia tentang bagaimana melihat dan menjawab realitas sosial yang ada di sekitarnya.
Islam juga merupakan agama penggerak dan promotor perubahan bagi umat manusia untuk melakukan kebaikan dan kemajuan dalam kehidupannya. Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau secara bijaksana dan konsisten merubah kondisi masyarakat Arab yang dikenal berwatak feodalisme kesukuan, memonopoli kekuasaan dan aset produksi serta tidak menghargai hak-hak perempuan.
Nabi Muhammad merubah secara perlahan dan persuasif masyarakat Arab menjadi masyarakat yang berperadaban dan berkeadilan. Dalam artian, masyarakat yang saling menghargai satu sama lain dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta meletakkan islam yang rahmatal lil-alamin sebagai panduan dalam tatanan bermasyarakat.
Namun, seiring berjalannya waktu dan derasnya arus modernisasi dan globalisasi, gugusan pemahaman Islam sebagai kerangka spirit perubahan, pembebasan dan kemajuan sosial menghadapi tantangan besar. Islam mulai kehilangan arah dan terjebak dalam persoalan yang sifatnya tidak subtantif. Gugusan Islam yang mucul sangat jauh dari kondisi objektif yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga pemahaman Islam menjadi kering dan beku.
Salah satu fakta yang ada misalnya, bagaimana Islam di Indonesia kini menghadapi dua gelombang arus besar yang menjadi tantangan nyata; yaitu fundamentalisme agama (islamisme) dan fundamentalisme pasar bebas (neoliberalisme). Kedua kekuatan tersebut terbukti telah merongrong dan merobohkan sendi-sendi kedaulatan bangsa Indonesia dan membuat rakyat indonesia mengalami keresahan dan keterpurukan yang berkepanjangan.
Adanya praktek fundamentalisme agama di Indonesia saat ini, telah menyebabkan kehidupan berbangsa dan bernegara diwarnai dengan praktik-praktik kekerasan, pembunuhan, teror dan pengahakiman secara sepihak terhadap orang lain yang diduga berbeda dengannya. Hal tersebut mengakibatkan nuansa kehidupan pluralitas dan kebhinekaan di Indonesia menjadi terancam. Hingga sikap dan perilaku harmonis dan kohesif yang berlangsung sejak lama ditengah masyarakat Indonesia kini mengalami suatu keretakan dan perpecahan.
Sementara itu, maraknya fenomena terorisme atas nama agama, mencuatnya gerakan agama transnasional dan gerakan ekstremis serta gerakan agama simbolik pada akhir-akhir ini menunjukkan bukti konkrit bahwa Indonesia sedang diselimuti oleh gerakan fundamentalisme agama. Ditambah lagi dengan adanya gerakan bela Islam yang berjilid-jilid seperti yang terjadi di Jakarta, merupakan salah satu contoh bagaimana gerakan fundamentalisme agama masih bergerak secara leluasa. Oleh karenanya sikap eksklusifitas dan ekstremitas dalam pola keberagamaan (keberislaman) bangsa saat ini menjadi “batu sandung” dalam proses pembangunan persatuan bangsa, penguatan kebhinekaan dan demokratisasi bangsa kedepannya.
Kemudian, gelombang fundamentalisme pasar bebas (neoliberalisme) juga membuat nasib rakyat Indonesia tambah terpuruk dan melarat. Karena aset-aset produksi ekonomi dikuasai oleh segilintir orang. Sehingga mayoritas rakyat Indonesia tidak bisa menikmati aset produksi yang dimilikinya sebagai sumber utama ruang penghidupan dan kesejahteraannya. Hal tersebut selaras dengan ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial di Indonesia saat ini bahwa, kekayaan empat orang terkaya (konglomerat) di Indonesia setara dengan gabungan 100 juta orang termiskin. Sehingga implikasinya, orang kaya semakin bertambah kaya dan orang miskin semakin terpuruk nasibnya.
Selain itu, massifnya perampasan ruang hidup seperti perampasan tanah, penggusuran dan lain sebagainya menunjukkan salah satu bukti bahwa kerja-kerja ideologi fundamentalisme pasar bebas (neoiberalisme) masih berlangsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang tahun 2016 saja, telah terjadi sebanyak 450 kasus konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan tanah mencapai 1,26 juta hektar, yang disebabkan oleh pembangunan proyek infrastruktur, perluasan perkebunan, pertambangan dan lain sebagainya, yang telah mengakibatkan 86. 745 kepala keluarga (KK) kehilangan ruang hidup dan sumber penghidupannya.
Dengan kondisi demikian, sangat perlu untuk mengorientasikan kembali gugusan pemahaman dan ajaran Islam di Indonesia saat ini. Mengingat permasalahan- bangsa/masyarakat saat ini kian kompleks, baik disebakan oleh fundamentalisme agama (Islamisme) maupun fundamentalisme pasar bebas (neoliberalisme), adanya penyegaran dan pembaharuan pemahaman islam yang lebih progresif dan radikal menjadi sebuah langkah yang tepat untuk dilakukan, demi menjawab semua permasalahan yang ada di Indonesia. Sebab, islam secara hakikiyah, sangat menentang dan mengecam adanya penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di dalam masyarakat dengan dalih apapun.
Seperti yang dikemukkan oleh Almarhum Kuntowijoyo bahwasanya Islam pada dasarnya memiliki tiga proyeksi, pertama, Humanisasi, yaitu kehadiran Islam untuk memanusiakan-manusia dan mengangkat harkat martabat manusia. Kedua, Liberasi, yaitu misi Islam adalah pembebasan, dalam artian membebaskan umat manusia dari kemiskinan, kelaparan dan penindasan. Ketiga, Transendensi, yaitu membawa umat manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Oleh sebab itu, gugusan pemahaman Islam yang sejatinya memiliki spirit dan doktrinasi pembebasan, kini digerakkan pada tataran praktis kehidupan sosial-masyarakat dalam kesehariannya, untuk membangun dan memercik sebuah kesadaraan kritis-revolusioner, sekaligus mewujudkan suatu pola tatananyang lebih baik. Tanpa kekerasan dan penindasan.
Jika idealnya Islam dimuka bumi ini adalah sebagai “Rahmat” bagi seluruh umat manusia, maka memposisikan gugusan Islam sebagai agama penebar kasih sayang merupakan sebuah kaharusan. Karena dalam gugusan Islam sendiri terdapat nilai-nilai universal kemanusian. Islam menjadi sumber pembebasan bagi kaum tertindas (mustadafiin) untuk melakukan perlawanan sosial terhadap tirani kapital dan neoliberalisme yang telah membelenggu dan mengeksploitasi masyarakat Indonesia selama ini. Sebagaimana anjuran Alqur’an, surat an-Nisa’: 75, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: Ya Tuhan Kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”.
*Penulis merupakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.