Lpmarena.com-“Permasalahan pokoknya adalah pemenuhan kebutuhan hidup dan upaya kesejahteraan hidup,” ucap Gatot Saptadi, Asisten Pembangunan dan Ekonomi DIY dalam seminar perburuhan yang mengangkat tema Membongkar Tabir Gelap Ketenagakerjaan di DIY.
Seminar yang diadakan oleh Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) tersebut berlangsung di Aula Gedung DPD RI DIY, Senin (19/06). Selain Gatot, seminar dinarasumberi oleh Umi Akhiroh (Hakim Ad Hoc Phi), Ariyanto Wibowo (Disnakertrans DIY), dan Irsad Ade Irawan (Direktur PSM dan Wasekjend ABY).
Gatot melihat, kesejahteraan buruh ternyata tak bisa dicapai jika buruh hanya mengandalkan upah. Hal di luar upah yang diterima buruh, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, sampai kebutuhan transportasi juga perlu untuk diperjuangkan. “Saya melihatnya, peluang justru di luar upah yang bisa dimanfaatkan. Misal Rusunawa di Mangkubumi, ini terobosan,” ungkapnya.
Gatot menjelaskan pemerintah memiliki komitmen bahwa pembangunan ketenagakerjaan termasuk dalam visi Pemda. Meski dalam pelaksanaannya masih perlu sinkronisasi. “Jangan melihat pekerja ada di luar pemerintah,” ujarnya.
Lebih lanjut, adanya perbedaan sosial dan ekonomi antara pengusaha dan pekerja membuat pemerintah harus menyesuaikan posisinya. Meski Gatot menyayangkan pengusaha dan pekerja banyak timpangnya. Ketika kondisi yang tak seimbang ini terjadi, yang bisa membantu adalah hukum. Pengusaha dan pekerja semestinya membuat perjanjian yang dirembug bersama, Pendekatan yang dilakukan bukan sub-ordinat atas-bawah, tapi kekeluargaan. Posisi pekerja adalah pemilik saham, sekecil apapun itu.
Ketika membahas peraturan upah di PP No. 78/2015 yang menjadi aturan hukum, bagi Gatot, upah diperoleh dari proses produksi yang kemudian dipasarkan. Dari hasil pemasaran, ada margin keuntungan yang digunakan untuk mengupah pekerja. Di mana keseimbangan gaji mestinya dilakukan menurut asas keadilan.
Irsad Ade lebih banyak menjelaskan data-data terkait kondisi perburuhan dan kesejahteraan di Yogyakarta saat ini. Irsad mengkritik pola pikir yang menyatakan, “Buruh lebih banyak menuntut, tapi tidak produktif.” Padahal menurut data dari Pusat Studi Masyarakat dan Badan Pusat Statisik (BPS) menunjukkan level produktifitas buruh tinggi sekali. Malahan, perusahaan menerapkan “Politik Dompet Tipis”.
Dari data BPS, per tahun peroduktifitas buruh senilai 17.500 Triliun, yang itu dibagi 50.508 buruh, dibagi lagi 12 bulan. “Setiap buruh di DIY dalam satu bulan menghasilkan 24, 854 juta, tapi UMK DIY 2017 membuat dompet jadi tipis,” kata Irsad sembari menunjukkan UMK di seluruh kabupaten di DIY yang rata-rata sekitar 1,4 juta.
Lemahnya Pengawasan
Ariyanto Wibowo menjelaskan, jumlah perusahaan di Yogyakarta dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Ada sekitar 4000-an perusahaan, yang tertinggi berada di Kota Yogyakarta kemudian disusul Sleman dengan selisih sebanyak 60 perusahaan.
Namun, di tengah perkembangan itu, kasus-kasus yang masuk di kantor pengupahan tersebut juga banyak. Sayangnya itu hanya diawasi oleh pengawas kota yang menjadi satu di provinsi. “Kita melakukan penyelidikan terhadap hal-hal yang normatif,” tuturnya.
Sayangnya, ketika dicek di lapangan, tidak sesuai dengan laporan. Pihak perusahaan telah melakukan kewajibannya. Lalu dicarilah di mana letak kekurangannya? Di lapangan ternyata ditemukan ada oknum-oknum yang mem-back up hubungan industrial. “Apa yang dilapor ternyata disebabkan oleh oknum-oknum,” jelas Ariyanto.
Hal ini diamini oleh Umi Akhiroh bahwa masalah tersebut terjadi di seluruh Indonesia. Perempuan yang juga pernah aktif di Ombudsman tersebut juga sering menangani kasus-kasus perburuhan. Bahkan ketika melakukan pengawasan langsung, ada buruh yang mengatakan padanya, “Ini mbak yang sering ambil amplop di perusahaan.”
Selain itu, kesejahteraan buruh juga terkendala dengan adanya upah-upah siluman yang terlalu tinggi. Upah siluman itu diberikan pada berbagai pihak, semisal partai politik untuk kebutuhan kampanye, polisi, dan pihak-pihak lainnya.
Serikat Buruh Terancam
Serikat buruh yang menjadi elemen penting dalam memperjuangkan hak-haknya mulai dilemahkan. Irsad menyoroti tentang jaminan kebebasan berserikat buruh yang terancam di Yogyakarta.
Metode pemberangusannya berbagai macam. Ada yang lewat PHK, mutasi, skorsing, dan lain-lain. Kasusnya ditunjukkan Irsad lewat perusahaan-perusahaan yang diinisialkan, seperti pada PT C, PT SS, Hotel PM, dan lainnya.
Padahal menurut Gatot, serikat pekerja memiliki daya tawar sendiri. Gatot membandingkan posisi pekerja Indonesia dengan pekerja yang ada di Eropa, seperti Inggris dan Polandia yang memiliki serikat pekerja yang bagus dan berdampak pula pada kebijakan yang bagus. “Di Eropa nilai tawarnya bisa bagus karena ada partai pekerja,” tuturnya.
Umi juga mengomentari, ada dua cara yang dilakukan perusahaan dalam melemahkan serikat buruh. Yakni cara halus dengan memberikan jabatan, sehingga buruh tak bisa aktif di serikatnya. Serta cara kasar dengan melakukan pemecatan/PHK.
Untuk itu, Umi menekankan pada serikat buruh untuk membaca kelebihan, kekurangan, peluang, dan hambatan yang mungkin terjadi. “Ketika berjuang, kita harus analisis SWOT. Lihat peta mana lawan kita dan kawan. Kalau nggak, kita akan terjebak di perjuangan,” ucap perempuan yang juga pendiri ABY ini.
Melihat berbagai persoalan buruh yang telah dijelaskan, Irsad pun menawarkan beberapa rekomendasi. Di antaranya: (1) adanya kebijakan Upah Minimum Sektoral/UMS, yang didukung dengan pengadaan workshop UMS kepada seluruh serikat buruh, (2) implementasi skala upah, (3) terkait pengawasan: membentuk komite pengawasan bersama, (4) terkait perumahan: implementasi program perumahan pemerintah., (5) serta adanya perda ketenagakerjaan yang mengatur informasi ketenagakerjaan dan perencanaan tenaga kerja, perluasan kesempatan kerja, jaminan sosial, fasilitas kesejahteraan, intensif untuk perusahaan dan buruh, pengawasan dan perlindungan, buruh kontrak dan outsourcing.
Reporter: Isma Swastiningrum
Redaktur: Wulan