Oleh: Wulan Agustina Pamungkas*
“Welcome to the resistance campus!” begitu barangkali yang akan saya ucapkan kepada para adik-adik unyu yang dalam hitungan hari akan memulai petualangan barunya sebagai ‘mahasiswa’ yang katanya ‘agent of change’ di kampus yang orang bilang “kampus perlawanan”. Apakah masih relevan hingga saat ini sebutan tersebut untuk kampus kita tercinta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta? Silakan bung dan nona nilai sendiri. Well, kali ini aku nggak akan berbicara banyak tentang apa itu kampus perlawanan, atau berbagi macam permasalahan yang saat ini terjadi di kampus tercinta. Aku mau sedikit membahas tentang siswa yang katanya ‘maha’ atau orang biasanya menyebutnya ‘mahasiswa’.
Dari waktu ke waktu peran mahasiswa kian mengalami perubahan. Muncul tendensi di mana mahasiswa tidak lagi bercitra sebagai ‘agent of change’ (agen perubahan), kaum intelektual, maupun pembela rakyat. Peran dan posisi mahasiswa saat ini dianggap masyarakat tidak jelas lagi. Dari mahasiswa yang secara masif melawan kesewenang-wenangan kekuasaan menjadi kaum-kaum hedon dengan gaya hidup yang menonjolkan tampilan fisik, trendi-trendian, dan gaul-gaulan. Tiap minggu berganti merk sepatu demi menyandang status ‘mahasiswa kekinian’, rambut klimis dengan pomade demi menarik lawan jenis, gonta-ganti warna gincu biar dibilang sosialita baru, obrolan warung kopi hanya sebatas obrolan tentang lelaki tertampan di kampus perlawanan. Astagfirullah, semoga kita tidak termasuk jenis di dalam golongan yang merugi tersebut.
Mungkinkah kita sebagai mahasiswa yang mulai kehilangan jati diri dan idealisme, atau hal tersebut terjadi akibat konstruk media yang kian hari kian memprihatinkan? Whatever you think, but I will describe something for you.
Pernah sesekali menonton televisi? Atau jangan-jangan bung dan nona atau adik-adik unyu merupakan salah satu manusia di muka bumi yang kerap menghabiskan waktu berada di depan televisi menonton berjudul-judul sinetron sekuel? Hati-hati! Televisi, sebagai media yang berkepentingan mengabdi pada pemilik modal (kapitalis) mulai membabat habis pandangan tentang mahasiswa sebagai kaum intelektual yang sering melakukan perubahan maupun gerakan protes sosial. Melontarkan kritik-kritik tajam hingga merubah sistem pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Menggulingkan rezim pemerintahan yang sewenang-wenang.
Televisi hendak menebarkan pandangan bahwa mahasiswa adalah mereka yang dengan bersuka menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, dan menjadikan kampus sebagai menara gading kekuasaan pasar modal. Kita ambil contoh beberapa tayangan di layar kaca. Beberapa tema besar hampir tak pernah lepas menyoal kalangan mahasiswa. Di dalamnya mahasiswa diangkat dalam kisah sinetron, opera sabun, juga tak ketinggalan reality show. Yang mengenaskan, semuanya hanya mengangkat kehidupan sebagian mahasiswa yang melulu ngurusin per-Cinta-an.
Contohnya beberapa sinetron yang ada, dari mahasiswa yang jadi sopir angkot yang akhirnya jadian sama anak juragan, mahasiswa yang nyamar jadi pembantu yang kemudian direbutin sama anak majikan, atau mahasiswa ganteng, tajir yang suka gonta-ganti pacar. Well, seolah-olah kampus hanya tempat untuk melakukan aktivitas cinta-cintaan. Padahal sebagai seorang yang juga menyandang status mahasiswa banyak aktivitas lebih elegan yang kerap kali dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Melakukan aksi turun jalan dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional misalnya.
Tidak hanya dalam ranah kampus, forum diskusi pun kerap kali terbentuk atas dasar kesadaran mahasiswa maupun mahasiswi dalam membaca realita yang terjadi. Kajian Gender, Feminisme, Sosiologi, Filsafat. Belum lagi gerakan-gerkan mahasiswa yang berkumpul dari berbagai macam kampus, membaur demi satu kepentingan bersama. Well, semua itu jarang atau malah tidak pernah ditampilkan dalam layar kaca.
Seolah mahasiswa hanya orang-orang yang mementingkan urusan pribadi. Memikirkan diri sendiri, jauh dari perannya sebagai ‘agent of change’. Identik dengan kisah dramatis, trendi-trendian, cinta-cintaan. Sekali lagi, hal tersebut adalah jelas ulah kapitalis. TV, media ingin membentuk peran baru bagi mahasiswa. Menjadikan keberadaan mahasiswa hanya sebagai perantara budaya pasar dan sasaran bagi produk-produk kapitalistik. Negara, tidak lagi serius dalam membenarkan sejarah mahasiswa Indonesia. Dan kita, jangan- jangan merupakan salah satu diantara banyaknya korban Media.
Tidak hanya televisi barangkali yang patut diwaspadai, media sosial (medsos)? Tentu. Coba kita hitung kembali, berapa media sosial yang terpasang pada gawai yang saat ini kita genggam. Mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan barangkali masih banyak lagi. Tiap hari berbagai macam iklan maupun informasi dapat dengan mudahnya diakses. Mulai dari iklan pelangsing tubuh, pembesar payudara, hingga obat pemerpanjang alat kelamin. Berbagai baju dari model belahan di samping, di tengah, di depan, di belakang hingga berbagai macam warna jilbab dari warna hitam, kuning, sampai abu-abu monyet ditawarkan. Membentuk pribadi jadi hedonis. Ulah siapa? Bung dan Nona barangkali sudah cukup dewasa untuk menjawabnya.
Dari beberapa keburukan yang saya ungkapkan tadi (Astagfirullah), bukan berarti media baik televisi, maupun medsos sama sekali tidak memiliki sisi baik. Sebagai siswa yang katanya ‘maha’, seharusnya kita mampu memilah-milah mana yang kiranya perlu untuk dikonsumsi dan mana yang baiknya diabaikan saja. Seperti sebuah semboyan junjungan kampus tercinta Sunan Kalijaga, Angalaras Ilining banyu angeli ananging ora keli, yang ketika diartikan akan bermakna Selaras Dengan Aliran Air Mengalir Namun Tidak Hanyut. Atau jika saya terjemahkan sendiri bermakna kita boleh saja, atau malah harus mengikuti arus, tapi kita tidak boleh hanyut dalam arus tersebut.
Sama halnya dengan era modern seperti sekarang ini, kita sebagai mahasiswa boleh saja bahkan harus berfikir terbuka dan mengikuti perkembangan yang ada. Terbuka dengan adanya kemajuan teknologi, media, media sosial. Memiliki gawai, menggunakan Path, Facebook, Instagram, Twitter, dan lain sebagainya. Tetapi jangan sampai terbawa arus, hanyut dalam konstruk media, sehingga kehilangan jati diri dan idealisme sebagai seorang siswa yang katanya ‘maha’.[]
*Seorang manusia yang bangga menjadi per(empu)an. Pengagum lelaki gondrong yang produktif menulis dan berpuisi. Suka ngemil lipstik.