Oleh: Doel Rohim*
Pertemuan Pers Mahasiswa (persma) dikalangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri dan Swasta (PTKIN-S) se-Indonesia pada 27 Juli di Yogyakarta merupakan sejarah baru dalam beberapa dekade terakhir. Sepengetahuan penulis, moment seperti ini baru pertama kali terjadi semenjak Orde Baru runtuh. Karena biasanya agenda konsolidasi yang juga memiliki cakupan yang luas hanya dilakukan oleh SEMA dan DEMA untuk membicarakan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kampus ataupun negara.
Walau demikian, pertemuan yang melibatkan hampir semua persma PTKIN-S yang ada di Indonesia ternyata tidak sesuai dengan ekspetasi kita (red. rekan-rekan) bersama. Perlu disadari, bahwa agenda yang diadakan oleh pihak Kementerian Agama ini adalah agenda politis yang cenderung akan berimplikasi pada pengkerdilan persma itu sendiri.
Pengkerdilan disini bisa diartikan sangat luas. Bisa jadi persma di kalangan PTKIN-S yang selama ini dikenal dengan kekritisannya berusaha disusupi dengan berbagai ideologi yang mengarah pada hilangnya kekritisan persma PTKIN-S itu sendiri. Mungkin hal tersebut bisa dianggap berlebihan, tetapi kalau kita lihat tema yang diangkat dalam pertemuan kemarin yaitu Pelatihan Jurnalistik dengan materi yang ada didalamnya serta pengisi acaranya, penulis rasa dugaan itu bisa dibenarkan.
Terlepas dari hal di atas, poin penting dari adanya agenda tersebut bukanlah bagimana isi materi yang ada di dalamnya atau bagaimana akomodasi yang diberikan panitia kepada para peserta. Tetapi bagaimana agenda tersebut menjadi titik awal dari sejarah panjang persma untuk dapat ikut andil dalam mewarnai persoalan sosial di internal kampus maupun di luar kampus untuk dapat disuarakan. Hal ini penulis rasa penting, melihat selama ini persma seolah tercerai berai membentuk fokusnya masing-masing, sehingga orientasi perjuangannya juga tidak dapat disatukan dalam satu wadah yang jelas di dalam bingkai sosio–historis persma pada awal terbentuknya.
Jika melihat lagi masa silam, kembali ke awal terbentuknya persma, persma sempat menjadi kekuatan politik yang mempunyai tempat strategis dalam menyuarakan kebobbrokan rezim Orde Baru. Seperti yang diungkapkan oleh Muridan dalam bukunya, Sejarah Runtuhnya Orde Baru yang menyatakan bahwa persma sebagai kekuatan politik yang sangat getol mengkritisi rezim tersebut. Melihat pada konteksnya, persma jelas mendapat ruang strategis dalam ranah perjuanganya, karena ketika media-media nasional seperti yang kita ketahui dibungkam oleh rezim Orde Baru, persma muncul dan mendapat panggung untuk menyuarakan persoalan sosial yang tidak terakomodir oleh media nasional. Dari situlah sampai hari ini persma masih dianggap penting dalam sejarah runtuhnya Orde Baru.
Walaupun demikian apa yang saya sampaikan diatas bukan bermaksud mengingat-ingat romantisme masa lalu yang realitasnya sangat berbeda dengan saat ini. Karena bagaimanapun juga kondisi sosial jelas sudah berubah, dalam artian lain rezim telah runtuh dan hari ini kita masuk pada era demokrasi terbuka, dengan arus informasi yang sangat masif . Namun, bukan berarti tidak ada persoalan di era keterbukaan seperti saat ini, malah sebaliknya tantangan semakin rumit untuk dijelaskan di tengah hegemoni kesadaran yang tidak terbantahkan. Kolonialisasi dan imperialisasi bukan tidak ada lagi, tetapi berubah bentuk masuk kerelung kesadaran di setiap individu sehingga membentuk mentalitas rapuh seperti realitas masyarakat kita sekarang ini.
Oleh sebab itu, agenda pertemuan yang baru beberapa hari dilakukan ini dapat dijadikan bentuk refleksi di setiap persma masing-masing. Seperti yang dialami penulis, persoalan persma memang tidaklah mudah untuk dapat diselesaikan hanya dengan satu kali diskusi dengan meneguk segelas kopi. Tetapi, bisa jadi dengan ratusan gelas kopi serta membutuhkan beberapa puluh jam untuk melakukan diskusi. Karena seperti pengalaman penulis dan beberapa riset kecil yang dilakukan terhadap persma, terkait persoalan yang sedang dialami persma, penulis mengambil data bahwa pola persoalan yang dialami di setiap persma bisa dikatakan sama. Mulai dari masalah kaderisasi yang mencakup militansi dan kualitas personal anggota dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik, serta kualitas produk yang selama ini masih bersifat berkala (kala-kala terbit kala-kala tidak). Hal tersebut menjadi persoalan klasik di setiap persma selama ini, dilihat dari internal persma itu sendiri.
Melihat dari kaca mata eksternal, persoalan persma pun tidak kalah banyak. Kita bisa lihat dari bagaimana bergaining position dari persma dalam mengarap setiap isu. Apakah selama ini persma mendapat legitimasi perlindungan atas kerja-kerja jurnalistiknya? No. Selama ini teman-teman persma dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik masih dianggap sebagai “anak latian jadi wartawan”, sehingga Dewan Pers nasional tidak wajib memberi perlindungan. Maka tidak heran ketika anak persma tersandung masalah ketika peliputan yang berujung panangkapan polisi, seperti yang dialami salah satu kawan LPM yang ada di Medan advokasinya sangat alot bahkan dibiarkan masuk dalam penjara. Hal ini seharusnya dapat disiasati ketika jejaring diantara persma itu kuat, minimal terkoneksikan satu sama lain. Sehingga dapat menciptakan counter pemberitaan dari media mainstream, yang terkadang justru menyudutkan pihak persma.
Jika berbicara tentang “hubungan jaringan diantara persma”, seperti yang penulis ungkapkan di awal, bahwa hubungan persma yang dulu sempat saling terjaring satu sama yang lain, setelah Orde Baru semua kontestasi yang sudah terbentuk seolah runtuh. Persma bergerak sendiri-sendiri, mencari ruangnya masing-masing sehingga jejaringnya terputus dan baru dengan acara yang belum lama ini terselenggara, sedikit tersambungkan kembali.
Alasan kenapa berjejaring di kalangan persma, apa lagi di kalangan PTKIN-S itu sendiri penting, karena menurut hemat penulis persoalan yang dialami PTKIN-S yang berhubungan dengan birokrasi kampus, penulis rasa sama. Semuanya berada di bawah induk Kementerian Agama. Oleh sebab itu, jaringan yang sudah ada ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menjalin komunikasi dengan persma satu dengan yang lainnya. Melakukan pembacaan isu bersama-sama untuk memcahkan persoalan di kampus masing-masing.
Terakhir, adanya pertemuan kemarin bukan lantas selesai pada tataran tukar menukar contact atau nomor ponsel diantara awak LPM PTKIN-S semata. Tetapi yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana jaringan yang sudah terbentuk ini, bisa menjadi suatu wadah yang produktif yang sisi kemanfaatannya dapat dirasakan di setiap LPM masing-masing. Entah itu di ranah hubungan kultural diantara LPM ataupun pada tataran gerakan strategis taktisnya. Untuk itu perlu kiranya persma bersama-sama mendiskusikannya. Menemukan strategi dan langkah kedepannya. Barangkali dunia virtual bisa menjadi wadah yang tepat.
Senja di Jogja bukankah masih mengoda teman-teman persma untuk sekedar ngopi dan mendiskusikannya?
*Penulis merupakan Pimpinan Umum LPM Arena.