Home BERITA Selir Sulandri: Korban Feodal yang Bernasib Sendu

Selir Sulandri: Korban Feodal yang Bernasib Sendu

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com- Selir Sulandri merupakan sebuah cerita pendek karya I Made Iwan Darmawan yang berkisah tentang tokoh Sulandri yang menjadi selir dari seorang raja di Bali. Sulandri hidup dengan kemewahan di kerajaan, tapi jiwanya tidak merdeka. Hingga sebagai wujud kesetiaan pada raja, Sulandri harus melemparkan tubuhnya di atas kobaran api bersama raja, ketika raja meninggal (tradisi mesatia).

Konflik yang dialami Sulandri dari berbagai sisi dibahas secara mendalam dalam acara diskusi sastra nasional di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM pada Rabu (6/9). Mendatangkan dua pembicara yang bergelut di bidang sastra, yakni Linda Christanty dan Iwan Saputra di Hall PKKH UGM.

Linda membandingkan cerpen Selir Sulandri dengan novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, yang mengkritik tentang kehidupan feodal Jawa dan segala laku-laku penindasan yang dilakukan seorang raja pada perempuan. “Begitu berkuasanya kaum feodal, meski dia sudah tidak ada, orang lain harus mengalami,” ujarnya.

Sulandri yang berasal dari kasta sudra dan harus menikah secara paksa saat umurnya masih belasan, menurut Linda merupakan bentuk pemerkosaan. Kondisi itu sangat terasa di dalam dialog Sulandri bersama burung merpati: “Benar aku sudah mati saat akil balik tiba. Masa kanak-kanakku telah terbunuh saat darah mengalir di pahaku, bukan?”

Linda menarik kasus pemerkosaan menjadi masalah global yang juga dihadapi oleh negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Juga negara Islam seperti Pakistan, angka pemerkosaan masih tinggi. Tak jarang, agama dan ayat suci dijadikan alat pembenaran. “Teks-teks suci dijadikan alat legitimasi untuk menindas,” kritiknya.

Iwan Saputra menganggap posisi penulis laki-laki dalam membuat cerpen tentang perempuan memiliki dua sisi. Pertama memang diniatkan sebagai kritik terhadap budaya patriarki, kedua justru mengabadikan patriarki itu sendiri. “Melanggengkan budaya patriarki, alat negosisasi biar aman.”

Di dalam Selir Sulandri, Iwan menggolongkan cerpen tersebut pada golongan pertama. Di mana, penulis tak hanya melakukan kritik penindasan terhadap perempuan, tapi juga kritik akan kasta-kasta yang terjadi di dalam masyarakat.

Savia, salah satu peserta diskusi berkomentar bahwa cerpen Selir Sulandri kental berbicara perempuan sebagai korban. Menjadi selir memiliki konteks yang berkaitan dengan seksualitas dan kekuasaan. “Sulandri simbol seksualitas raja. Kental banget seksualitas dan kekuasaan,” katanya.

Reporter: Isma Swastiningrum   

Redaktur: Wulan