SAJAK PETANI I
Parau subuh di corong surau
Petanda petaniku berlari santai memaku
jalan setapak
Mengeja kerikil dari gelombang pagi yang tak sampai
Barangkali lolongan sang jantan berbuah sesuap
Mengilhami anak bini kala lelap
Kerikil berdzikir
Memutar tasbih sajak tani
Semenjak Mikail kembali pada tuhannya,
Di ufuk jarak
Tinggallah ia sepeninggal jejak
Menyambung lelaku sawah, padi, dan anyaman kerak
Tunai pada irigasi mata air
:air matamu
Sawah menyisa cerita
Sesubur rahimmu seabad lampau
Tertimbun tikus semesta
Yogyakarta, 5 September 2017
AKU TAK AKAN MATI
Demi waktu
Merugilah puisi yang terabai
Terpenjara dalam turbin semesta
Labirin pemisah bait dan sajak,
Bolehlah kau jumawa
Melepas rima pada gemerincing padang sabana
Semenjak kau ucap, tidak pada yang terucap
Membantingnya dalam jejak yang sama
Tetapi
Aku tak akan mati
Dan memang benar, aku harus kembali
Memutar arah tepat di jalan pagi
Tempat kumemulai segala dari lini
Mimbar merah sepenggala tinggi
Oh, Sayang
Aku tak akan mati
Memberi kasih
Karena semestaku, lunak di kaki
Yogyakarta, 4 September 2017
SAJAK PETANI II
Malam ini kutandu waktu ke peraduan mega
Berkafan angin, keranda senja
Sesaat kepergianmu; berpulang menuruti kuasa maut
Meninggalkan keluarga di paruh kecut
Dari belakang, satu persatu pelayat sibuk berdeklamasi
Berucap zikir, tahmid dan takbir kemanusiaan
Semacam badai
:lautan bertubi dari setangkai kehidupan petani
ya, petaniku terkasih
tenangkanlah diri
beradu dalam alam zabani
lupakanlah urusan duniawi
anak cucu dan bini takkan lupa
kembalimu sebab siapa (?)
Aku bahkan lupa ini lantunan keberapa
Semilir yang tak sudi menjadi saksi
Memaksa kuberhitung dalam deret tasbih
Mengepalai caping yang tertinggal sore tadi,
Adakah kau biarkan benih padi tumbuh sendiri menjemput mati
Ladang kering, irigari tak mengalir
Sebab tak ada yang sudi bertamu
Air pun malu
Ah, petaniku!
Yogyakarta, 7 September 2017
Rodiyanto. mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang selalu takut saat hendak pulang kampung. Sebab baginya, Jogja-Sumenep adalah petaka yang mau atau tidak, harus dinikmati.
Ilustrasi: https://luk.staff.ugm.ac.id/itd/lukisan/02.html