Oleh: Muhammad Abdul Qoni’ Akmaluddin*
Perjalanan teori memang tak selamanya seperti yang direncanakan. Banyak realitas yang mengkhianati konsep yang telah dibangun kokoh. Mungkin kalimat ini sebagai pembuka untuk menjawab tulisan yang telah disampaikan saudara Tri Muryani mengenai sebuah kewajaran dominasi kelas untuk menguasai jalannya sistem https://lpmarena.com/2017/09/05/bukan-dosa-besar-pmii/.
Bukan lagi bicara soal kultur ataupun bicara soal otoritas, tapi berbicara teori dan konsep yang telah disepakati untuk menjadi basis gerakan. Demokrasi dan toleransi tentunya, yang telah mendarah daging dalam tubuh sebuah sistem yang besar. Bahkan menjadi bahan seminar atau diskusi dibeberapa ruang. Akan tetapi, dalam praktiknya hal tersebut malah menjadi momok tersendiri dalam ‘ia’ melakukan sebuah gerakan. Istilah pepatah mengatakan “Senjata makan tuan”, begitu kira-kira saya mendefinisikan. Tetapi itu seolah-olah menjadi hal yang lumrah. Biasa-biasa saja, bahkan tidak bermasalah. Suatu hal yang konyol kan? Memang untuk introspeksi diri itu lebih sulit daripada mengintrospeksi orang lain. Pepatah kuno pernah mengatakan, “Gajah dipelupuk mata tak tampak, tapi kutu disebrang lautan tampak”.
Fakta-fakta yang saya berikan di awal tulisan saya kira sudah mewakili pembicaraan di atas. Tulisan ini tidak bermaksud menjadi alat pembantaian, namun besar harapan mampu menjadi bahan evaluasi bersama tentang tindakan yang telah dilakukan. Bukan pula saya hendak memihak salah satu organ ataupun ormawa. Toh, saya bukan anggota dari keduanya. Saya hanya ingin membuka mata kawan-kawan agar dapat menerima sebuah kebenaran. Dan yang terpenting, mau mengakui kebenaran orang lain. Apalagi mereka juga mempunyai standar kebenaran dalam melakukan sebuah tindakan. Hal tersebut juga bukan melanggar norma sosial atau agama yang berlaku.
Menerapakan teori menjadi basis gerakan bukalah sesuatu hal yang salah. Hal tersebut malah menjadi anjuran supaya gerakan yang kita bangun mempunyai landasan epistemologi yang jelas, sehingga arah dari gerakan menjadi teratur. Bukan soal dosa atau tidak, dan kewajaran atau bukan, tapi soal independensi dan tekad untuk memperjuangkan serta menjalankan landasan yang telah dibangun.
Saya mencoba mengistilahkan basis seperti pondasi dan masyarakatnya tetap sebagai masyarakat. Ketika pondasi sudah dibangun kokoh, akan tetapi masyarakat yang ada di dalamnya menghancurkan pondasi tersebut itu artinya bangunan yang dicita-citakan kokoh pun akan roboh dengan kekonyolan. Kenapa saya mengatakan itu sebagai perilaku yang konyol ? Karena pondasi yang sudah dibangun sendiri dengan kokoh malah dihancurkan sendiri, hanya karena alasan untuk mencari sesuatu yang di luar dari kepentingan organisasi.
Analisis mengunakan pendekatan historis mungkin bisa dijadikan bahan perenungan. Melihat sejarah Indonesia sebagaimana yang dilakukan Orde Baru (Orba). Tindakan represif yang dilakukan Presiden Soeharto terhadap masyarakat sipil, yang pada akhirnya dipatahkan dengan jalan reformasi. Bagi Soeharto dan pengikutnya, tindakan yang dilakukan tersebut (red: tindakan represif) merupakan sebuah tindakan yang biasa dan penuh dengan kewajaran. Padahal bagi masyarakat sipil hal tersebut sangat menyakitkan. Sampai-sampai masyarakat sipil bersatu untuk menumbangkan masa pemerintahan tersebut dengan sangat tidak terhormat. Ini analisis sederhana mengunakan pendekatan sejarah yang pernah terjadi di Indoneisa.
Apakah dulu tindakan Orba tidak mengunakan konsep Pancasila yang diamini sebagai konsep matang negara karena mengedapankan musyawarah mufakat dalam hal ini adalah demokrasi, toleransi dan keadilan?
Apakah sejarah kelam Indenesia ingin diterapakan di kampus tercinta? Bukannya itu sebuah tindakan yang termasuk ke-dzolim-an atau juga ‘dosa’? Artinya ketika kita menginginkannya, kita ingin memupuk ke-dzolim-an? Bukannya Islam melarang manusia untuk berbuat kedzoliman dan munyuruh kita merbuat ma’ruf?
Sebagai insan akademik bukannya cita-cita terbesar adalah untuk menciptakan sebuah keadilan? Keadilan yang melibatkan semua orang bukan keadilan versi kelompok tertentu. Keadilan yang menengok kultur yang ada dalam masyarakat luas bukan dalam logika manusia tertentu.
Analisis sosiologi mengatakan perilaku sesorang bukan hanya ditentukan oleh logika seseorang akan tetapi berdasarkan nilai yang ada dalam masyarakat. Karena bulum tentu logika kita itu sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakat. Dan kebenaran menurut kita belum tentu benar menurut orang lain. Artinya untuk mengetahui kultur masyarkat, kebutuhan masyarakat, perlu dibuka ruang-ruang yang demokratis maupun dialogis. Supaya permasalahan dapat diselesaikan bersama. Sehingga kebijakan yang diputuskan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas bukan bermanfaat bagi golongan tertentu. []
*Penulis adalah mahasiswa bingung yang sedang mencari kesibukan.