Lpmarena.com- Tepat tiga hari lalu, Rabu (11/10) civitas akademika UIN Sunan Kalijaga dikejutkan oleh pemberitaan berjudul “UIN Kalijaga Larang Pengenaan Pakaian Ala Arab di Kampus”. Berita tersebut dipublikasikan oleh media online, RMOL.CO.
Berita yang telah tersebar ke grup-grup Whatsapps tersebut, tertulis pernyataan Wakil Rektor III, Waryono Abdul Ghafur. “Saya melarang keras mahasiswa memakai cadar. Saya sampaikan, kita hidup di Indonesia pakailah pakaian Indonesia,” seperti dilansir dari RMOL.CO, saat Waryono membuka acara dialog pelibatan birokrasi kampus dan Lembaga Dakwah kampus dalam pencegahan terorisme di UIN Sunan Kalijaga.
Pernyataan tersebut menuai beragam tanggapan dari mahasiswa. Ada yang menganggap berita tersebut adalah berita plintiran. Namun, tak sedikit yang menanggapi isu tersebut merupakan persoalan yang serius.
Umi Kalsum misalnya, menyampaikan kekhawatirannya saat di konfirmasi ARENA, Jumat (13/10) melalui Whatsapps. Mahasiswi Sastra Inggris dan berpakaian ala Arab tersebut khawatir apabila larangan pengenaan pakaian ala Arab di kampus UIN Sunan Kalijaga benar diterapkan. Namun, lebih jauh tentang pelarangan penggunaan cadar sebagaimana di berita tersebut Umi tidak mau memberikan tanggapan. Sebab, sejauh ini belum ada penyataan resmi yang datang dari kampus semisal website UIN.
Setelah diklarifikasi kepada Waryono terkait pernyataannya dalam berita tersebut, dia menjelaskan bahwa pada saat itu, dia berbicara soal berpakaiaan yang menutup aurat dalam konteks ke-Indonesiaan. “Statemen saya tidak kemudian ekstrim mengatakan bahkan melarang pakaian ala Arab atau semacamnya,” tegasnya, Jum’at (13/10) di ruang kerja Waryono.
Sambil memperlihatkan tata tertib kampus dalam hal berpakaian, terkait dengan isu tentang larangan berpakaian ala Arab di UIN Sunan Kalijaga, harus dikembalikan pada tata tertib. Waryono menjelaskan bahwa pakaian ala Arab dengan cadar menjadi hal baru dalam kebudayaan muslim Indonesia. Sedangkan cadar dalam konteks tata tertib berpakaian UIN Sunan Kalijaga dianggap berlebihan oleh Waryono.
Menurut Waryono tata tertib itu sudah menjelaskan pakaian yang boleh digunakan dan yang dilarang. Sudah ada standar yang di tentukan dalam hal berpakaian, khususnya di lingkup UIN Sunan Kalijaga. Seperti harus pakaian yang sopan, tidak robek-robek dan, semacamnya. Itu sudah sesuai dengan standar pakaian muslim Indonesia pada umumnya.
Waryono lebih mengkhawatirkan akan adanya budaya klaim berpakaian yang paling benar. Yang menganggap budaya berpakaian di luar Indonesia merasa paling Islami. “Sebenarnya di maksud dapat menimbulkan konflik tersebut adalah: pakaian apapun tidak boleh kemudian truth claim, mengklain paling benar, kalau sudah berpakaian ala arab terus menganggap paling benar,” kata Waryono.
Tanggapan LDK UIN Suka
Maulidia Putri, anggota Departemen PSDI Lembaga Dakwah Kampus UIN Sunan Kalijaga mengungkapkan rasa sakit hatinya atas berita tersebut. Pasalnya, banyak anggota LDK berpakaian ala Arab dan beberapa bercadar. “Kalau orang yang tidak paham gimana mereka, ya ngiranya begitu, seperti yang diungkapkan Pak Waryono,” katanya.
Tolak ukur pakaian ke-Indonesiaan dan ke-Araban yang disinggung Waryono dipertanyakan ulang oleh Putri. Padahal pakaian merepresentasikan kepercayaan orang beragama wujud ekspresinya orang beragama.
“Dalam Undang – Undang pasal 29 ayat 2 itu kan disinggung kan kita dibebaskan dalam beragama untuk berekspresi sesuai yang kita percayai. Itu kan ada yang memaknai sunnah, mubah, dan lain-lain itu kan menurut kepercayaan agama, bukan budaya,” kata Putri saat diwawancarai ARENA di Masjid UIN Suka, (13/10).
Menurut penuturan Putri, LDK UIN Sunan Kalijaga sendiri tidak diundang dalam serasehan yang dihadiri Waryono tersebut. Yang diundang hanya Forum Silaturrohmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Jogja dan LDK – LDK yang sudah legal.
“Aku dapat info dari temen PH-nya LDK. Kan LDK itu tidak dilegalkan ya di UIN. Kita buat kajian aja langsung dibubarin. UIN sendiri nggak pro pada LDK. Kalau yang acara itu tu kita nggak diundang,” ujar Putri.
Kecurigaan Waryono terkait truth claim berlebihan. “Selalu mereka itu kaya disudut-sudutin padahal nggak ada bukti konkrit kalau mereka melakukan kerusakan di mana dan lain sebagainya. Ya kalau menurut saya nggak adil penilaian seperti itu. Temen-temen sendiri malah baik-baik saja, nilai akademisnya bagus.”
Sejauh ini di LDK sendiri tidak pernah diajarkan mengkafir-kafirkan dan menyalahkan-nyalahkan orang. “Sejauh ini ya biasa-biasa aja. Aku sejauh ini tidak terlalu fanatik atau gimana-gimana gitu,” tutur Vezila Afifah Islami, anggota Departemen Media Jaringan.
Justifikasi terorisme yang diberikan kepada LDK adalah bentuk penilaian secara sepihak yang tidak berdasarkan fakta. “Semacam kepanikan sendiri dari pihak-pihak birokrasi. Belum terbukti atau nggak ada buktinya. Kita pernah ngapain atau dakwah kita kayak mana sih. Bahkan temen–temen yang nggak ikut LDK pun sampai kaget,” imbuh Putri.
Reporter: Hedi Basri dan Akmal
Redaktur: Wulan